Kamis, 29 Mei 2014

Hukum Perdata: Batas Kedewasaan dan Pendewasaan Menurut

BAB II
KEDEWASAAN DAN PENDEWASAAN

A.    Pengertian Kedewasaan dan Pendewasaan
Kedewasaan selalu dihubungkan dengan kematangan mental, kepribadian, pola pikir dan prilaku sosial, namun dilain hal kedewasaan juga erat hubungannya dengan pertumbuhan fisik dan usia. Kedewasaan juga kadang dikaitkan dengan kondisi sexual seseorang walaupun kemampuan reproduksi manusia tidak selalu ditentukan oleh faktor usia.  Kedewasaan merupakan perpaduan yang seimbang antara jiwa, raga dan intelektual. Ukuran kedewasaan memang sangat relatif, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Kedewasaan menurut pandangan sosiologi belum tentu sama dengan kedewasaan menurut pandangan hukum, begitu juga kedewasaan menurut pandangan adat belum tentu sama dengan kedewasaan menurut pandangan agama.
Dari beberapa ukuran yang umum digunakan antara lain adalah keseimbangan mental dan kemapanan sosial sebagai indikator kedewasaan, sedangkan hukum pada umumnya mengukur suatu kedewasaan dengan patokan usia dan tindakan perkawinan dan Hukum Islam menentukan kedewasaan dari tanda/ciri biologis tertentu untuk menentukan seseorang telah memasuki pase “akil baligh”, misalnya pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah (ejaculation) sedangkan perempuan ditandai dengan datangnya masa haid (menstruasi). Dalam perspektif adat jawa istilah kedewasaan relevan dengan istilah ”kemandirian” yang artinya mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab atau dikenal dengan istilah ”mencar” dan ”kuat gawe”.  Pada umumnya masyarakat adat memandang seseorang dianggap telah dewasa jika telah mampu memelihara kepentingannya sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh beberapa pakar hukum adat antara lain:
-    Ter Haar, dewasa adalah cakap (volwassen), sudah kawin dan hidup terpisah meninggalkan orang tuanya; -    Soepomo, dewasa adalah kuwat gawe, cakap mengurus harta keperluannya sendiri;
-    Djojodigoeno, dewasa adalah secara lahir, mentas, kuwat gawe, mencar, volwassen
-   Wayan P. Windia, ahli hukum adat Bali dari FH Unud menyatakan bahwa pada hukum adat Bali, jika seseorang telah mampu negen (nyuun) sesuai beban yang diujikan, mereka dinyatakan loba sebagai orang dewasa. Misalnya, ada warga yang mampu negen kelapa delapan butir atau nyuun kelapa enam butir. Ia otomatis dinyatakan sudah memasuki golongan orang dewasa. 
Kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang adanya kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya bantuan pihak lain. Apakah ia, orang tua si anak atau wali si anak. Jadi seseorang adalah dewasa apabila orang itu diakui oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, dengan tanggung jawab sendiri atas apa yang ia lakukan jelas disini terdapatnya kewenangan seseorang untuk secara sendiri melakukan suatu perbuatan hukum.
Pendewasaan (handlichting) adalah suatu pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa. Istilah “kedewasaan” menunjuk pada keadaan sudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk pada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan dewasa.   Secara hukum proses pendewasaan dapat dilakukan dengan dua cara antara lain:
•    Pendewasaan Secara Penuh Menurut Pasal 421 KUH Perdata untuk mendapatkan pendewasaan secara penuh anak harus sudah berumur 20 (dua puluh) tahun, yang memberikan status pendewasaan terhadap anak tersebut adalah Presiden (Menteri Kehakiman) setelah melakukan perundingan dengan Mahkamah Agung. Pasal 420 KUH Perdata mengatur bahwa permohonan pendewasaan tersebut diajukan disertai dengan Akta Kelahiran dan akan didengar keterangan dari kedua orang tuanya yang hidup terlama, wali badan harta peninggalan (BHP) sebagai wali pengawas dan keluarga sedarah/semenda (Pasal 422 KUH Perdata) 
•    Pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas) Untuk diperbolehkan mengajukan permohonan pendewasaan terbatas seseorang harus berusia genap 18 (delapan belas) tahun. Instansi yang memberikan pendewasaan tersebut adalah Pengadilan Negeri setempat (tempat tinggal si pemohon) tetapi jika orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian tidak setuju, pendewasaan terbatas tidak akan diberikan. (Pasal 426 KUH Perdata). 
Lahirnya Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menimbulkan suasana baru dalam Hukum Keluarga Indonesia. Karena undang-undang tersebut tidak hanya mengatur tentang bidang perkawinan saja, tetapi juga bidang lain yang termasuk bidang Hukum Keluarga, seperti status anak, kedewasaan, serta tanggung jawab orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tua, dan tentang perwalian anak. Meskipun, pengaturan tentang Hukum Keluarga dalam Undang-undang Perkawinan hanya garis besarnya saja dan masih memerlukan peraturan pelaksana yang akan mengaturnya lebih lanjut, tetapi dapatlah dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mengatur dasar-dasar hukum Hukum Keluarga Nasional.

B.    Ketentuan Tentang Batas Kedewasaan Menurut Undang-Undang
Penentuan batas usia kedewasaan dalam beberapa undang-undang memang terkesan semberawut karena antara yang satu dengan yang lain sama sekali tidak mengandung korelasi, padahal jika ditarik benang merah dari setiap tujuan penentuan batas usia kedewasaan, maka pada akhirnya akan menunjuk pada pengertian tanggungjawab, yaitu untuk menjamin bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan oleh karenanya dapat di tuntut dihadapan hukum jika tindakannya itu merugikan pihak lain. 
Dibawah ini akan diuraikan beberapa ketentuan undang-undang tentang batas usia kedewasaan sebagai berikut:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Pdt) Pasal 330 Ayat (1) menyebutkan ”belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dulu telah kawin” sedangkan pada Ayat (2) disebutkan bahwa ”apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa” 
2.    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 50 Ayat (1) menyebutkan ”Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali” sedangkan mengenai batas kedewasaan untuk melangsungkan perkawinan ditentuakan dalam Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.” Pasal 7 Ayat (1) ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
3.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45 menyebutkan ” Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”
4.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 171 menyebutkan ”Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah: a.    anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin b.    orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali Pasal 153 Ayat (5) menyebutkan ”Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang”
5.    UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1 menyebutkan ”Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin” Pasal 4 Ayat (2) ”Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak”
6.    UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa ”anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”
7.    UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Kependudukan  Pasal 63 Ayat (1) menyebutkan ”Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP”
8.    UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 81 Ayat (2) menyebutkan syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.
9.    UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Pasal 13 menyebutkan ”Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”.
10.    UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 39 Ayat (1) menyebutkan bahwa: “penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:  a)    paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan  b)    cakap dalam melakukan perbuatan hukum”
11.    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 Ayat (1) menyebutkan bahwa ”batas usia anak yang mampu berdiri sendiri adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.




C.    Perbedaan Batas Kedewasaan Menurut Undang-undang

Berikut tabel perbedaan batas kedewasaan menurut undang-undang :
No    Dasar Hukum    Pasal
1    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Pasal 330
Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.Artinya dewasa adalah ketika seseorang telah berusia dua puluh satu tahun penuh atau sudah menikah.
2    UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47 ayat 1
Anakyang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Artinya dewasa ketika sudah diperbolehkan menikah, usianya 18 tahun.
3    UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 26
Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Artinya batas usia dewasa menurut aturan ini adalah 18 tahun ke atas.
4    UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Pasal 1 angka 8
Anak didik pemasyarakatan adalah:
a.    Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.    Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c.  Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
5    UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Pasal 1
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)  tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
6    UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 angka 5
Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Artinya batas usia dewasa menurut aturan ini adalah 18 tahun ke atas.
7    UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat (1)
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya batas usia dewasa menurut aturan ini adalah 18 tahun ke atas.
8    UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pasal 1 ayat (4)
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
9    UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 4
Warga Negara Indonesia adalah: a–g ...
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
10    UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 1 angka 5
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Tabel 1: Umur Anak/belum dewasa

Dasar Hukum    Pasal
Kompilasi Hukum Islam    Pasal 9 ayat [1]
Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Artinya dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggungjawab atas dirinya.
SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977    Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:
a.     Dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu;
b.  Dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru;
c.  Dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.
   
Tabel 2: Umur Dewasa

















BAB III
STUDI KASUS

A.    Perkawinan Dibawah Umur yang Dilakukan Syekh Puji
Akhir tahun 2008 yang lalu, Indonesia dihebohkan dengan pernikahan seorang pendiri pondok pesantren di Jawa Tengah. Pujiyono Cahyo Widiyanto atau lebih terkenal dengan nama Syekh Puji, pendiri Pondok Pesantren Miftahul Jannah di daerah Bedono, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, gencar menjadi bahan pemberitaan karena menikahi seorang wanita yang masih belia. Pemilik P.T. Sinar Lendoh Terang yang memproduksi kerajinan kuningan untuk pasokan dalam dan luar negeri ini menikahi Lutfiana Ulfa yang masih berusia 12 tahun.
Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni menilai Syekh Puji bisa dikenakan sanksi sesuai pelanggaran yang ia lakukan. Hal senada juga disampaikan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr Asrorun Niam.Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi sampai turun tangan berupaya memisahkan kedua sejoli tersebut.Bahkan kabarnya kepolisian juga mulai melakukan pemeriksaan yang memungkinkan Syekh Puji di bui.
Setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan para tokoh dalam penolakan terhadap perbuatan Syekh Puji tersebut, yaitu:
1.    Pelanggaran terhadap undang-undang nomor 1 tahun 1974 (perdata)
    Alasan ini diantaranya dikemukakan oleh Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni. Menteri agama menjelaskan, di Indonesia orang Islam terikat dengan dua ukuran. Di satu sisi sebagai Muslim dia terikat pada syariat, sementara di sisi lain sebagai warga negara dia terikat pada hukum positif, dalam hal ini UU Perkawinan. Karena itu, ia setuju dengan langkah Komnas Perlindungan Anak yang akan menuntut Syekh Puji karena perkawinan yang dia lakukan terhadap anak usia 12 tahun. "Dalam UU Tahun 1974 mengenai Undang-Undang Perkawinan disebutkan batas minimal usia perkawinan", katanya.


2.    Pelanggaran terhadap terhadap hukum Islam
    Alasan ini menjadi perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang mengatakan bahwa menikahi gadis belia tidak diperbolehkan. Peristiwa Rasulullah SAW. menikahi Aisyah yang masih belia menurut mereka adalah kekhususan untuk Nabi SAW.
    Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. Asrun Niam mengatakan: "Perkawinan dia secara hukum fikih memang (sah), tetapi haram karena bisa menimbulkan dhoror (bahaya)". Ia mengatakan, secara syariah apa yang dilakukan Syekh Puji memang tidak dilarang, dengan catatan bocah tersebut sudah mengalami menstruasi. Namun, dari sudut pandang hukum positif yang mengacu pada UU Perkawinan, pernikahan Syekh Puji tidak sah.Selain itu, juga menimbulkan masalah dalam perlindungan anak. Mengenai pernikahan yang dilakukan Syekh Puji dengan pernikahan siri (bawah tangan), menurut  Niam, pernikahan itu meski sah secara agama, dapat meniadakan hak-hak perdata pihak perempuan.
    Dari sini dapat dilihat, bahwa alasan Dr. Asrun Niam mengatakan tidak bolehnya menikahi gadis belia ataupun nikah sirri bukan karena dilarang agama secara syar’i, namun karena rawan menimbulkan dhoror (bahaya). Hal senada juga diungkapkan oleh Kiai Husein Muhammad.
    Alasan ini menjadi perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang mengatakan bahwa menikahi gadis belia tidak diperbolehkan. Peristiwa Rasulullah SAW. menikahi Aisyah yang masih belia menurut mereka adalah kekhususan untuk Nabi SAW.
    Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. Asrun Niam mengatakan: "Perkawinan dia secara hukum fikih memang (sah), tetapi haram karena bisa menimbulkan dhoror (bahaya)". Ia mengatakan, secara syariah apa yang dilakukan Syekh Puji memang tidak dilarang, dengan catatan bocah tersebut sudah mengalami menstruasi. Namun, dari sudut pandang hukum positif yang mengacu pada UU Perkawinan, pernikahan Syekh Puji tidak sah. Selain itu, juga menimbulkan masalah dalam perlindungan anak. Mengenai pernikahan yang dilakukan Syekh Puji dengan pernikahan siri (bawah tangan), menurut  Niam, pernikahan itu meski sah secara agama, dapat meniadakan hak-hak perdata pihak perempuan.
    Dari sini dapat dilihat, bahwa alasan Dr. Asrun Niam mengatakan tidak bolehnya menikahi gadis belia ataupun nikah sirri bukan karena dilarang agama secara syar’i, namun karena rawan menimbulkan dhoror (bahaya).
3.    Pelanggaran undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (pidana)
    Alasan ini diantaranya dikemukakan oleh Ketua Komnas Pelindungan Anak Seto Mulyadi dan Rudi Satrio Mukantardjo, ahli hukum pidana Universitas Indonesia (UI).Ia juga menuding pernikahan Syekh Puji merupakan bentuk perdagangan anak danbisa mengarah kepada eksploitasi dan kekerasan ekonomi. Untuk itu Syekh Puji bisa dijerat Pasal 74 - 90 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Selain melanggar UU Perlindungan Anak, Syekh Puji juga bisa dijerat Pasal 288 KUHP karena menikahi anak di bawah umur.Dalam pasal tersebut dinyatakan, barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanitayang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yangbersangkutan belum waktunya untuk dikawin.apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Dari sisi Hukum Islam
    Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. Asrun Niam mengakui bahwa pernikahan Puji–Ulfa sah secara hukum Islam. Beliau hanya mempermasalahkan pernikahan tersebut rawan menimbulkan dharoror. Bicara maslahadharor juga relatif. Tidak sedikit juga yang memandang positif pernikahan mereka.
Dari Sisi Hukum Perdata
Ditinjau dari sisi hukum perdata Republik Indonesia,  jelas apa yang dilakukan oleh Syekh Puji telah melanggar Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Diantara yang dilanggar dari undang-undang tersebut adalah:
1.    Dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, sedangkan perkawinan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa tidak tercatat di Pengadilan Agama setempat atau nikahnya secara sirri.
2.    Dalam pasal 3 ayat (1) disebutkan: “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”, sedangkan Syekh Puji sudah mempunyai seorang istri ketika menikahi Ulfa.
3.    Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”, sedangkan Lutfiana Ulfa dinikahi oleh Syekh Puji dalam usia 12 tahun.
    Walaupun telah melanggar Undang-undang Perkawinan, namun semata pelanggran ini tidak dapat menyebabkan Syekh Puji dikenai sanksi sebagaimana yang dikemukakan para tokoh di atas, karena yang dilanggarnya adalah hukum perdata. Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat.Artinya selama pihak-pihak yang terkait dengan pernikahan tersebut tidak mempermasalahkannya maka tidak menjadi masalah. Pihak Syekh Puji dan Ulfa sendiri tidak ada yang meributkan pernikahan tersebut.
    Dampak yang timbul dari pernikahan tersebut hanya sebatas pada masalah legalitas karena pernikahan tersebut tidak tercatat, seperti masalah warisan, status anak, perwalian dan lain lain.
    Pelanggaran tersebut serta dampaknya sebenarnya dapat diselesaikan berdasarkan undang-undang perkawinan itu juga selama semua pihak memang berkeinginan menyelesaikan masalah dan bukannya membesar-besarkan masalah. Penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
1.    Untuk masalah pencatatan perkawinan, sebenarnya dapat diselesaikan dengan pembaharuan perkawinan tersebut di hadapan pejabat yang berwenang agar pernikahannya bisa sah secara hukum. Dalam pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan: “Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri”. Ayat (2): “Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami-istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinannya yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinannya harus diperbaharui supaya sah”. Pasal-pasal ini membuka peluang “nikah ulang” untuk melegalkan status pernikahan secara hukum R.I.
2.    Untuk menikahi anak di bawah umur yang dilarang oleh UU Perkawinan pasal 7 ayat (1), sebenarnya kemungkinannya masih bisa diselesaikan dengan ayat (2) dalam pasal yang sama yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Seperti diketahui, Syekh Puji telah mengajukan langkah dispensasi ini.Artinya syekh Puji juga ada upaya untuk menyelesaikan masalah secara legal.
3.    Untuk tuduhan pelanggaran pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, karena istri Syekh Puji pun sudah mengijinkan suaminya nikah lagi. Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini juga memberi jalan untuk suami yang ingin berpoligami.
Dari Sisi Hukum Pidana
    Dari sudut hukum pidana Syekh puji dituduh melanggar pasal 74 - 90 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sedangkan menurut tudingan Ketua Komnas PA pernikahan Syekh Puji merupakan bentuk perdagangan anak dan bisa mengarah kepada eksploitasi dan kekerasan ekonomi.
    Rudi Satrio Mukantardjo, ahli hukum pidana Universitas Indonesia (UI) juga menyatakan bahwa Syekh Puji juga bisa dijerat Pasal 288 KUHP karena menikahi anak di bawah umur. Dalam pasal tersebut dinyatakan, barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
    Bila dicermati teks dari pasal tersebut, Puji baru bisa dipidana “apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka”.Artinya Syekh Puji tidak bisa seketika dikenakan tindak pidana semata karena pernikahannya dengan gadis belia. Selain itu, pengertian “belum waktunya untuk dikawin” masih relatif.



BAB IV
KESIMPULAN

Kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang adanya kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya bantuan pihak lain, apakah ia, orang tua si anak atau wali si anak. Sedangkan pendewasaan (handlichting) adalah suatu pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.
Adapun ketentuan tentang batas kedewasaan menurut undang-undang adalah sebagai berikut:
•    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Pdt) Pasal 330.
•    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
•    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45.
•    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 171.
•    UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
•    UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
•    UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Kependudukan.
•    UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
•    UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.
•    UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 39.
•    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Dari studi kasus pernikahan syekh Puji dengan Ulfa, bahwa syekh Puji telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang nomor 1 tahun 1974 (perdata), pelanggaran terhadap terhadap hukum Islam, dan pelanggaran undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (pidana)
Kasus ini menunjukkan bahwa undang-undang perdata kita, khususnya masalah perkawinan, masih rawan pelanggaran. Ini mungkin karena undang-undang ini belum cukup memenuhi aspirasi masyarakat. Selain itu mungkin karena tidak ada bingkai pidana yang menjamin aturan ini akan dipatuhi. Kasus ini juga menunjukan betapa besarnya pengaruh media dalam proses hukum. Kasus nikah sirri bukan hanya sekali ini.Kasus poligami juga bukan hal baru.Tidak sedikit kiyai yang berpoligami.Kasus nikah dini juga rasanya bukan kasus baru. Walaupun sebenarnya masih bisa diselesaikan secara baik-baik dalam bingkai hukum yang ada, namun seolah semua pihak begitu ngotot agar pernikahan ini jangan sampai diteruskan. Bahkan masalah berkembang dari kasus perdata menjadi kasus pidana juga. Ini tidak lepas dari peran media yang terlanjur menghukumi. Semestinya seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh opini yang dibentuk media dan tidak semestinya tokoh masyarakat turut membantu terbentuknya opini yang tidak semestinya.
Dari sudut hukum pidana Syekh puji dituduh melanggar pasal 74 - 90 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sedangkan menurut tudingan Ketua Komnas PA pernikahan Syekh Puji merupakan bentuk perdagangan anak dan bisa mengarah kepada eksploitasi dan kekerasan ekonomi. Pembahasan ini menunjukkan bahwa Syekh Puji tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Ada undang-undang yang dilanggarnya (perdata), namun sebenarnya masih bisa diselesaikan secara baik-baik. Sementara Pasal-pasal pidana yang ditujukan kepadanya terkesan sangat dipaksakan.







DAFTAR PUSTAKA

•    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bugerlijk Wetboek, Staatsblad 1874 No.23)
•    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
•    UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
•    UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
•    UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
•    UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
•    UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
•    UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
•    UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
•    UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
•    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
•    SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. 2003. PT. Intermajasa, Jakarta.
Silitonga, Ferry. Arti Kedewasaan. Kompasiana. 2010
Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) Terbitan NLRP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar