Jumat, 16 Mei 2014

PEREKONOMIAN DALAM ISLAM


PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Ekonomi Mikro Syariah.

Disusun oleh:

                 Lina Fatinah                   1123020052







 
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
 
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis telah mampu menyelesaikan makalah berjudul "Perekonomian dalam Islam". Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Teori Ekonomi Mikro Syariah.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Vinna Sri Yuniarti, S.E.,M.M selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun makalah ini.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi penulis dan bagi pembaca. Amin.


Bandung, 8 Desember 2013


Penulis


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .........................................................................          i
DAFTAR ISI.........................................................................................          ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................          1
1.1. Latar Belakang Masalah.....................................................          1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................          2
1.3. Tujuan Makalah..................................................................          2
1.4. Manfaat Penulisan..............................................................          3
1.5. Prosedur Penulisan.............................................................          3
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................           3
2.1. Sejarah Ekonomi Islam......................................................          4
2.2. Pengertian Ekonomi Islam dan Paradigma Sistemnya.......          5
2.3. Asas Sistem Ekonomi Islam...............................................          7
2.4. Tujuan Ekonomi Dalam Islam ...........................................          7
2.5. Prinsip-Prinsip Ekonomi dalam Islam................................          8
2.6. Karakteristik Ekonomi Islam.............................................          8
2.7. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Dalam Islam........................          11
2.8. Konsep Dasar Ekonomi Islam............................................          14
2.9. Filantrofi Islam...................................................................          17
2.10. Pandangan Islam Terhadap Ekonomi...............................          25
2.11. Politik Ekonomi Islam......................................................          26
2.12. Kaidah Umum Perekonomian..........................................          28
2.13. Metodologi Ekonomi Islam.............................................          29
BAB III PENUTUP..............................................................................          33
A.       Kesimpulan...............................................................................          33
B.       Saran.........................................................................................          35
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................          36



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.     Latar Belakang Masalah
Masalah ekonomi merupakan masalah yang universal, karenanya seluruh dunia menaruh perhatian yang besar terhadap permasalahan ekonomi. Dalam realita kehidupan, manusia berusaha mengerahkan tenaga dan juga pikirannya untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya, seperti sandang, pangan dan tempat tinggal. Pengerahan tenaga dan pikiran ini penting untuk menyempurnakan kehidupannya sebagai individu maupun sebagai seorang anggota suatu masyarakat. Segala kegiatan yang bersangkutan dengan usaha yang bertujuan untuk memenuhi keperluan ini dinamakan ekonomi.
                Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis, tidak dari sudut pandang sosialis, dan juga tidak merupakan gabungan dari keduanya. Islam memberikan perlindungan hak kepemilikan individu, sedangkan untuk kepentingan masyarakat didukung dan diperkuat, dengan tetap menjaga keseimbangan kepentingan publik dan individu serta menjaga moralitas. Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta.
        Islam memperbolehkan seseorang  mencari kekayaan sebanyak mungkin. Islam menghendaki adanya persamaan, tetapi tidak menghendaki penyamarataan. Kegiatan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu banyak harta dikuasai pribadi. Di dalam bermuamalah, Islam menganjurkan untuk mengatur muamalah di antara sesama manusia atas dasar amanah, jujur, adil, dan memberikan kemerdekaan bermuamalah serta jelas-jelas bebas dari unsur riba. Islam melarang terjadinya pengingkaran dan pelanggaran larangan-larangan dan menganjurkan untuk memenuhi janji serta menunaikan amanat.
            Berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli, menunjukkan adanya masyarakat muslim yang dengan sadar memilih berintegrasi pada perekonomian dalam  perbankan  syari‘ah  sebagai implementasi ketaatan beragama, sekaligus sebagai usaha memenuhi kebutuhan ekonomi.
Sebagai muslim kita yakin bahwa melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, telah diatur garis besar aturan untuk menjalankan kehidupan ekonomi, dan untuk mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah telah menyediakan sumber daya Nya dan mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya, sebagaimana firman-Nya dalam:
QS. Al Bagaroh (2) ayat 29:
“ Dia lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikan Nya tujuh langit, dan dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Sebagai muslim, kita dituntut untuk menerapkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dari aspek ekonomi. Maka mempelajari sistem ekonomi Islam secara mendalam adalah suatu keharusan, dan untuk selanjutnya disosialisasikan dan diterapkan.

Makalah ini disusun dari berbagai sumber dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tentang ekonomi Islam. Untuk memudahkan pemahaman, pendekatan yang digunakan adalah melalui analisis ruang lingkup ekonomi islam yang mencangkup sejarah, pengertian, paradigm system, asas system ekonomi islam, tujuan, prinsip-prinsip, karakteristik, dasar-dasar system, konsepan dasar, filantrofi islam, pandangan islam terhadap ekonomi, politik ekonomi, kaidah umum perekonomian dan metodologi ekonomi islam.


1.2.    Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Ekonomi Islam?
2.    Apa Pengertian Ekonomi Islam dan Paradigma Sistemnya?
3.    Apa  Asas Sistem Ekonomi Islam?
4.    Apa  saja Tujuan Ekonomi Dalam Islam?
5.    Apa  Prinsip-Prinsip Ekonomi dalam Islam?
6.    Apa Karakteristik Ekonomi Islam?
7.    Apa Dasar-dasar Sistem Ekonomi Dalam Islam?
8.    Bagaimana Konsep Dasar Ekonomi Islam?
9.    Apa saja Filantrofi Islam?
10.Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Ekonomi?
11.Bagaiamana Politik Ekonomi Islam?
12.Apa Kaidah Umum Perekonomian?
13.Apa Metodologi Ekonomi Islam?

1.3.     Tujuan Makalah
Tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui Sejarah Ekonomi Islam
2.    Untuk mengetahui Pengertian Ekonomi Islam dan Paradigma Sistemnya
3.    Untuk mengetahui Asas Sistem Ekonomi Islam
4.    Untuk mengetahui Tujuan Ekonomi Dalam Islam
5.    Untuk mengetahui Prinsip-Prinsip Ekonomi dalam Islam
6.    Untuk mengetahui Karakteristik Ekonomi Islam
7.    Untuk mengetahui Dasar-dasar Sistem Ekonomi Dalam Islam
8.    Untuk mengetahui Konsep Dasar Ekonomi Islam
9.    Untuk mengetahui Filantrofi Islam
10.    Untuk mengetahui Pandangan Islam Terhadap Ekonomi
11.    Untuk mengetahui Politik Ekonomi Islam
12.    Untuk mengetahui Kaidah Umum Perekonomian
13.    Untuk mengetahui Metodologi Ekonomi Islam

1.4.      Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis,  makalah ini bermanfaat sebagai sumber pengetahuan mengenai Perekonomian dalam Islam dengan luas.

1.5.     Prosedur Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini, penulis akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara jelas. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Ekonomi Islam
Sebenarnya ada dua macam sejarah ekonomi. Pertama adalah sejarah pemikiran ekonomi yang merefleksikan evolusi pemikiran tentang ekonomi. Dan kedua adalah sejarah perekonomian yang menggambarkan bagaimana perekonomian itu bisa menjadi perekonomian suatu bangsa, misalnya Inggris atau Jepang, bias pula suatu kawasan misalnya Eropa Barat, Timur jauh atau Asia Tenggara, dan bahkan perekonomian dunia berkembang.
Pemikiran ekonomi Islam berusia setua Islam itu sendiri. Sepanjang 14 abad sejarah Islam kita menemukan studi yang berkelanjutan tentang isu ekonomi dalam pandangan syari’ah. [1] Sebagian besar diskusi ini hanya terkubur dalam literatur tafsir Al-Qur’an, sarah Hadits, dasar-dasar hukum Ushul fiqih dan Hukum Fiqih. Belum ada usaha yang dilakukan untuk mengkaji lebih dalam materi-materi ini dan menyajikannya secara sistematis. Studi ini dan studi filsafat moral dan histografi mendapatkan perhatian ketika ilmu social yang baru dilahirkan tersebut menjadi kurikulum di Universitas Negara muslim dan para sarjana mulai menjari warisan Islam di bidang ini.
Beberapa usaha telah dilakukan akhir-akhir ini untuk mempelajari ilmu ekonomi yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Karena isi kedua sumber ini bersifat ketuhanan, ekonomi Islam hanya berupa interpretasi manusia itu sendiri yang dalam hal ini menampakkan ciri khas pemikiran ekonomi dalam Islam. Pengajaran ekonomi di dalam Al-Qur’an dan Sunnah bersifat Universal, tetapi manusia mencoba menginterpretasikan dan mengaplikasikannya sesuai dengan kepentingan pada waktu dan tempat usaha-usaha tersebut dilakukan.
Tetapi yang jelas banyak aktivitas pengaturan ekonomi yang dilakukan selama masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang berhubungan dengan subjek ini seperti administrasi tanah kharaj. [2] Pengumpulan dan pembayaran zakat, serta cara para penguasa dan penasehat menggunakan Baitul Maal dalam menangani permasalahan ekonomi pada masa mereka. Satu hal yang dapat ditangkap dengan jelas adalah bahwa perhatian mereka pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan merupakan objek utama yang menginspirasikan ekonomi Islam sejak permulaan dulu.

2.2. Pengertian Ekonomi Islam dan Paradigma Sistemnya
Pengertian masa kini ekonomi ialah satu kajian yang berkenaan dengan perilaku manusia dalam menggunakan sumber dayanya untuk memenuhi keperluan mereka. Sedangkan dalam pengertian Islam, ekonomi adalah satu sains sosial yang mengkaji masalah masalah ekonomi manusia yang didasarkan kepada asas asas dan nilai nilai Islam. Ekonomi Islam seringkali dimasukkan sebagai cabang ilmu yang mempelajari metode memahami dan memecahkan  masalah ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam. Perilaku manusia  sebagai komunitas sosial yang didasarkan pada ajaran Islam inilah yang menjadi dasar pembentukan  perekonomian Islam itu sendiri. Dengan demikian ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam (tadbîr syu’un al-mâl min wijhah nazhar al-islam) (An-Nabhani, 1990).
Ekonomi Islam secara epistemologis kiranya dapat dibagi menjadi dua disiplin ilmu; Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Ekonomi Islam normatif ini oleh Taqiyuddin an-Nabhani (1990) disebut sistem ekonomi Islam (an-nizham al-iqtishadi fi al-Islâm). Kedua, ekonomi Islam positif, yaitu studi konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa.
.           Islam menempatkan  etika  sebagai kerangka dalam  ilmu ekonominya. Dengan demikian  ekononomi Islam dikonsepkan sebagai kerangka  nilai yang integratif yang ditujukkan untuk pencapaian kemenangan (falah) di mana ekonomi Islam  tidak hanya sebagai ulasan deskriptif  empiris  atas perilaku umat Islam, namun  juga   membentuk suatu perekonomian yang membawa umat manusia dalam pencapaian  kemenangan  hidupnya yang hakiki ( P3EI, 2008:26).
Pada bagian dasarnya atau landasan teori ekonomi Islam terbangun atas beberapa pokok prinsip, yakni prinsip tauhid, al-Adl, nubuwah, khilafah dan ma’ad (Chapra, 2000:6). Adapun paradigma sistem ekonomi Islam terbagi dalam 2 (dua) bagian; paradigma umum, yaitu aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya. Kedua adalah paradigma khusus (cabang) sebagai sejumlah kaidah umum yang lahir dari aqidah Islam  yang menjadi landasan bagi bangunan sistem ekonomi Islam.
Paradigm system ekonomi islam
Syaikh Taqiyuddinan-Nabhani (2001) menggunakan istilah lain yang maknanya hampir sama dengan paradigma, yaitu al-qa’idah fikriyah, yang berarti pemikiran dasar yang menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lainnya.Dengan pengertian itu, paradigma sistem ekonomi Islam ada 2 (dua), yaitu:
Pertama paradigma umum, yaitu Aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya.
Kedua, paradigma khusus (cabang), yaitu sejumlah kaidah umum dan mendasar dalam Syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam, yang secara khusus menjadi landasan bangunan sistem ekonomi Islam
Paradigma khusus ini terdiri dari tiga asas(pilar), yaitu: 
(1) kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah, 
(2) pemanfaatankepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan 
(3) distribusi kekayaankepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas), Melalui mekanisme syariah.
Paradigma sistem ekonomi islam sngat berbeda dan bertentangn dengan paadigma sistem ekonomi kapitalis yaitu sekuralisme ( pemisahaan agama dari kehidupan ) sedangkan Aqidah Islamiyahsebagai paradigma umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah agamadan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa kecuali,termasuk aspek ekonomi.

2.3. Asas Sistem Ekonomi Islam
Kegunaan ( utility ) adalah kemampuan suatu barang untuk memuaskan kebutuhan manusia. Karena itu, kegunaan ( utility ) tersebut terdiri dari dua hal : pertama, adalah batas kesenangan yang bias dirasakan oleh manusia ketika memperoleh brang tertentu. Kedua, keistimewaan keistimewaan yang tersimpan pada zat barang itu sendiri, termasuk kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan manusia, dan bukan hanya kebutuhan orang tertentu saja. Kegunaan ( utility ) ini kadang lahir dari tenaga manusia, atau lahir dari harta kekayaan, atau lahir dari harta kekayaan, atau dari kedua duanya sekaligus.
Sesuai dengan fitrahnya, manusia bisa berusaha untuk memperoleh harta kekayaan tersebut untuk dikumpulkan. Oleh karena itu, manusia dan harta kekayaan adalah sama sama merupakan alat yang bisa dipergunakan untuk memuaskan kebutuhan kebutuhan manusia. Dua duanya merupakan kekayaan yang bisa diraih oleh manusia untuk dikumpulkan. Jadi, kekayaan itu sebenarnya merupakan akumulasi dari kekayaan dan tenaga.

2.4. Tujuan Ekonomi dalam Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah SWT dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya.Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1.      Penyucian jiwa agar setiap muslim bias menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2.      Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3.      Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncaksasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
a)   Keselamatan keyakinan agama ( al din)
b)   Kesalamatanjiwa (al nafs)
c)   Keselamatanakal (al aql)
d)   Keselamatankeluargadanketurunan (al nasl)
e)   Keselamatanhartabenda (al mal)2

2.5. Prinsip-Prinsip Ekonomi dalam Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1.    Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah SWT kepada manusia.
2.    Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3.    Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama.
4.    Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5.    Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6.    Seorang mulsim harus takut kepada Allah SWT dan hari penentuan di akhirat nanti.
7.    Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8.    Islam melarang riba dalam segala bentuk.

2.6. Karakteristik Ekonomi Islam
Ada beberapa karakteristik ekonomi Islam sebagaimana disebutkan dalam al-Mawsuah al-Ilmiyah wa al-Amaliyah al-Islamiyah dalam Ghufran, yang dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama: Harta kepunyaan Allah dan manusia khalifah harta. Karakteristik pertama ini terdiri dari dua bagian, yaitu semua harta, baik benda maupun alat produksi adalah milik (kepunyaan Allah), dan manusia adalah khalifah atas harta miliknya. Hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah.
Kedua: Ekonomi Islam terikat dengan akidah, syariat (hukum) dan moral. Hubungan ekonomi Islam dengan akidah Islam tampak jelas dalam banyak hal, seperti pandangan Islam terhadap alam semesta yang disediakan untuk kepentingan manusia. Di antara bukti hubungan ekonomi dan moral dalam Islam adalah:
a.    Larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat.
b.    Larangan melakukan penipuan dalam transaksi.
c.    Larangan menimbun emas dan perak atau sarana-sarana moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, karena uang sangat diperlukan buat mewujudkan kemakmuran perekonomian dalam masyarakat. Menimbun uang berarti menghambat fungsinya dalam memperluas lapangan produksi dan penyiapan lapangan kerja buat para buruh.
d.    Larangan melakukan pemborosan, karena akan menghancurkan individu dalam masyarakat.
Ketiga: Keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan. Islam adalah agama yang menjaga diri, tetapi juga toleran (membuka diri). Selain itu, Islam adalah agama yang memiliki unsur keagamaan (mementingkan segi akhirat) dan sekularitas (segi dunia).
Keempat: Keadilan dan keseimbangan dalam melindungi kepentingan individu dan masyarakat. Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai batasan-batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik. Hanya keadilan yang dapat melindungi keseimbangan antara batasan-batasan yang ditetapkan dalam sistem islam untuk kepemilikan individu dan umum.
Kelima: Bimbingan Konsumsi. Dalam konsumsi Islam mempunyai pedoman untuk tidak melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
Keenam: Petunjuk Investasi. Kriteria atau standar dalam menilai proyek investasi, memandang ada lima kriteria yang sesuai dengan Islam untuk dijadikan pedoman dalam menilai proyek investasi.
Ketujuh: Zakat. Zakat adalah sedekah yang diwajibkan atas harta seorang muslim yang telah memenuhi syarat, bahkan ia merupakan rukun Islam yang ketiga. Zakat merupakan sebuah sistem yang menjaga keseimbangan dan harmoni sosial di antara muzzaki dan mustahik. Zakat juga bermakna komitmen yang kuat dan langkah yang konkret dari negara dan masyarakat untuk menciptakan suatu sistem distribusi kekayaan dan pendapatan secara sistematik dan permanen.
Kedelapan: Larangan riba. Islam telah melarang segala bentuk riba karenanya itu harus dihapuskan dalam ekonomi Islam. Pelarangan riba secara tegas ini dapat dijumpai dalam al-Quran dan hadist. Arti riba secara bahasa adalah ziyadah yang berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan, membengkak, dan bertambah, akan tetapi tidak semua tambahan atau pertumbuhan dikategorikan sebagai riba.
Kesembilan: Pelarangan Gharar. Ajaran islam melarang aktivitas ekonomi yamg mengandung gharar. Gharar adalah sesuatu dengan karakter tidak diketahui sehingga menjual hal ini adalah seperti perjudian.
Kesepuluh: Pelarangan yang haram. Dalam ekonomi Islam segala sesuatu yang dilakukan harus halalan toyyiban, yaitu benar secara hukum Islam dan baik dari perspektif nilai dan sesuatu yang jika dilakukan akan menimbulkan dosa. Haram dalam hal ini bisa dikaitkan dengan zat atau prosesnya dalam hal zat, Islam melarang mengonsumsi, memproduksi, mendistribusikan, dan seluruh mata rantainya terhadap beberapa komoditas dan aktivitasnya.


2.7. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Dalam Islam
Sistem Ekonomi menurut pandangan Islam mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi.  Sebagaimana dikutip oleh Muhammad (2007:12-13), menurut an-Nabhany (1990) asas yang dipergunakan untuk membangun sistem ekonomi dalam pandangan Islam berdiri dari tiga pilar (fundamental) yakni
Bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah), lalu bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta  bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ul tsarwah bayna an-naas).
Pilar Pertama : Pandangan Tentang Kepemilikan (AI-Milkiyyah)
Dalam pandangan Islam kepemilikan (property) dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
(1). Kepemilikan individu (private property);
(2) kepemilikan umum (collective property); dan
(3) kepemilikan negara (state property) (Sami, 1990: 28)


1)  Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut. An-Nabhaniy (1990) mengemukakan sebab-sebab kepemilikan yang terbatas pada lima hal, yakni bekerja, warisan, kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup, harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat, harta-harta yang diperoleh dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin as-Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil orang. Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
a.    Benda-benda yang merupakan fasilitas umum,
dimana kalau tidak ada di dalam suatu negeri    atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan kesulitan dan orang akan berpencar-pencar dalam mencarinya
b. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat dikiasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
c. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi.
3). Kepemilikan Negara (state property)
Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara untuk memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. (Solahudin, 2001:32)
Pilar Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasi harta tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya (Siddiqi,1985 &Naqvi, 1981). Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta. Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang haram seperti minuman keras, babi.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak negara, karena negara adalah wakil ummat. Adapun mengelola kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara (state property) dan kepemilikan individu (private property) telah jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, penggadaian dan sebagainya.
Pilar Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi-transaksi yang wajar (Sholahudin, 2001: 32-33).
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, yaknimekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi. Mekanisme ekonomi yang ditempuh sistem ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya dengan sejumlah cara, yakni :
1. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu.
2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan (tanmiyah al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
3. Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
4. Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja dengan menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
5.  Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6.  Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
7.  Pemanfaatan secara optimal hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi tersebut adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.

2.8. Konsep Dasar Ekonomi Islam
          Ekonomi Islam merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari metode untuk memahami dan memecahkan masalah ekonomi yang didasarkan atas ajaran agama Islam. Perilaku manusia dan masyarakat yang didasarkan atas ajaran agama Islam inilah yang kemudian disebut sebagai perilaku rasional Islam yang akan menjadi dassar pembentukan suatu perekonomian Islam.
A.      Tujuan Hidup
            Pada dasarnya setiap manusia selalu menginginkan kehidupannya di dunia ini dalam keadaan bahagia, baik secara material maupun spiritual, individual maupun sosial. Namun, dalam praktiknya kebahagiaan multi dimensi ini sangat sulit diraih karena keterbatasan kemampuan manusia dalam memahami dan menerjemahkan keinginannya secara komprehensif, keterbatasan dalam menyeimbangkan antar aspek kehidupan maupun keterbatasan sumber daya yang bisa digunakan untuk meraih kebahagiaan tersebut. Masalah ekonomi hanyalah merupakan satu bagian dari aspek kehidupan yang diharapkan akan membawa manusia kepada tujuan hidupnya.
B.       Sistem Ekonomi Islam
    Secara definisi, ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk mengalokasikan dan mengelola sumber saya untuk mencapai falah berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.
      Muhammad Abdul Manan (1992) berpendapat bahwa  ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
       Menurut Suhrawardi K. Lubis (2004:14) bahwa sistem ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yan dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah dalam rangka pengorganisasian faktor produksi, distribusi, dan pemanfaatan barang/jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan Islam.
        Sistem ekonomi Islam adalah sebuah sistem yang tidak lahir dari hasil ciptaan akal manusia, akan tetapi sebuah sistem yang berdasarkan wahyu Allah SWT. Dengan kata lain, sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits yang dikembangkan oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat dan ahli dalam bidangnya.
        Subjek ekonomi dalam Islam seringkali dikaitkan dengan kata muamalah dalam ilmu fiqih. Kata muamalah sendiri berarti kerjasama antar sesama manusia, sehingga pengertiannya dapat menjadi luas. Menurut Muhammad Daud (2002:50-51) bahwa dalam ruang lingkup hukum  Islam tidak membadakan (dengan tajam) antara hukum perdata dan hukum pidana, karena menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan  pada hukum publik ada segi-segi perdatanya, maka hukum muamalah dalam arti luas adalah sebagai berikut:
a.    Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat- akibatnya.
b. Wiratsah, segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian waris.
c. Muamalat dalam arti khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
d.  Jinayat, memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud atau ta’zir.
e.   Al-Ahkam as-Sulthaniyah, membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan pemerintahan, tentara, pajak, dan lain-lain.
f.  Suyar, mengatur tentang urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama lain dan negara lain.
g.  Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara.
        Dari sistematika pembagian hukum islam di atas, dapat diketahui bahwa sistem ekonomi Islam, masuk dalam ruang lingkup mu’amalah.
       Ekonomi tidak dapat dipisahkan dari subjek seputar kepemilikan dan pengelolaan terhadap harta benda. Kepemilikan ialah pemberian yang bersifat social dan diakui suatu hak kepada seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Pemberian ini mencerminkan hak potensial untuk memanfaatkan barang tertentu dan pada yang sama mengesampingkan pihak yang lain  dari pemberian hak yang sama. Kepemilikan menunjukkan hubungan sosial dan yang diakui antara individu atau kelompok dalam masyarakat dan mencerminkan hak milik sah pemilik atas barang dan pada saat yang sama menghalangi pihak lain dari hak seperti itu (Muhammad H. Behesti, 1992:9)
       Menurut Rofiq Yunus al-Masry (1993:41) kepemilikan terbagi dua, yaitu kepemilikan yang bersifat umum dan kepemilikan yang bersifat khusus (privat). Kepemilikan khusus adalah hak milik perorangan atau kelompok. Jenis kepemilikan seperti ini telah diakui dalam Islam, sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang menyebutkan amwaalakum/harta-hartamu, amwaalahum/harta-harta mereka, amwaal al-yatiim/harta anak yatim, atau buyuutakum/rumah-rumah kamu. Sebagaiman pula terdapat dalam Al-Qur’an perintah untuk membayar zakat, mengeluarkan infaq. Sedangkan kepemilikan umum adalah wakaf yang dimiliki oleh seluruh kaum muslimin, setiap muslim boleh mengambil manfaat, namun tidak dapat dijual, dihapus atau dihadiahkan.
C.    Filsafat Ekonomi Islam
             Menurut Ahmad M. Saefuddin dalam Muhammad Daud (1988:5-6) ada tiga filsafat ekonomi Islam, yaitu:
1)   Semua yang ada di alam semesta langit, bumi serta sumber-sumber alam yang ada padanya, bahkan harta kekayaan yang dikuasai manusia adalah milik Allah SWT, karena Dialah yang menciptakannya. Semua ciptaan Allah itu tunduk pada kehendak dan ketentuan-ketentuan-Nya. Manusia sebagai khalifah-Nya berhak mengurus dan memanfaatkan alam semesta untuk kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan lingkungannya.
2) Allah Maha Esa, Dialah pencipta segala makhluk yang yang ada di alam semesta. Salah satu ciptaanNya adalah manusia yang diberi alat kelengkapan sempurna lebih dari makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan kewajiban sebagai khalifah Allah di bumi ini.
3)   Beriman kepada hari kiamat, keyakinan pada hari kiamat ini merupakan asas penting dalam sistem ekonomi Islam karena dengan keyakinan itu, tingkah laku ekonomi manusia di bumi ini akan dapat terkendali, sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya termasuk tindakan ekonominya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
       Dari ketiga pokok filsafat ekonomi Islam melahirkan nilai-nilai dasar ekonomi islam, yaitu nilai dasar kepemilikan, keseimbangan, dan keadilan.

2.9. Filantrofi Islam
Andi Agung Prihatna dalam buku Revitalisasi Filantrofi Islam Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf Di Indonesia (2005:6) menyatakan bahwa istilah filantrofi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia). Secara harfiah filantropi adalah konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (assiciation) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Di dalam Al-Qur’an perintah berderma mengandung makna kemurahan hati, keadilan sosial, saling berbagi dan saling memperkuat. Aktivitas berderma inilah yang disebut sebagai filantrofi Islam.
            Di dalam sistem ekonomi Islam terdapat lembaga sosial ekonomi yang dapat menjembatani dua kelompok sosial, yaitu golongan kelas atas dan golongan kelas bawah.
                   Adapun lembaga-lembaga sosial ekonomi dalam Islam adalah sebagai berikut:
A.    Shadaqah atau Sedekah
        Shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Adapun secara terminologi syariat shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai'in bisyai'i atau menetapkan/menerapkan sesuatu pada sesuatu. Sikapnya sukarela dan tidak terikat pada syarat-syarat tertentu dalam pengeluarannya baik mengenai jumlah, waktu dan kadarnya.
        Shadaqah memiliki makna yang sangat luas karena bersedekah tidak harus berupa materi atau benda, tetapi juga dapat bersifat non materi, misalnya tersenyum dan bermuka cerah ketika  bertemu, menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, serta segala perbuatan yang baik dan bermanfaat.
B.     Infaq
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam. Dengan kata lain, infaq merupakan sumbangan sukarela atau seikhlasnya (berupa materi). Misalnya, untuk menolong orang orang yang kesusahan; membangun masjid, jalan, jembatan; dan sebagainya.
         Infaq dikeluarkan setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Ali Imron: 134

 ۗ لنَّاسِا عَنِ لْعَافِينَاوَ الْغَيْظَلْكَاظِمِينَاوَءِالضَّرَّاوَ اءِ لسَّرَّ ا فِي نَويُنْفِقُينَ الَّذِ
لْمُحْسِنِينَ ايُحِبُّ للَّهُاوَ
Artinya: Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Terkait dengan infaq ini Rasulullah SAW bersabda: ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : "Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran". (HR. Bukhori)
C.    Hibah
Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan. Dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hibah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup.
         Menurut Hussein Syahatah (1998:248) hibah adalah ungkapan tentang pengalihan hak kepemilikan atas sesuatu tanpa adanya ganti atau imbalan sebagai pemberian dari seseorang kepada orang lain dengan memenuhi rukun-rukunnya, yaitu:
1.  Orang yang memberi, yaitu pemilik benda yang dihibahkan, disyaratkan harus merdeka, dewasa, berakal sehat, tidak dipaksa, tidak berhutang, dan pengelolaan hartanya tidak dilarang.
2.      Barang yang dihibahkan, yaitu suatu barang yang menjadi objek hibah.
3.   Orang yang menerima hibah, yaitu orang yang menerima barang hibah dari orang yang memberi hibah.
4.   Ucapan hibah, yaitu sesuatu yang diucapkan dari orang yang memberi hibah yang menunjukkan terjadinya hibah dengan format yang ditetapkan.
 D.    Qurban
            Qurban berasal dari bahasa Arab, qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar) yang berarti mendekati atau menghampiri. Qurban atau disebut juga Udhhiyah atau Dhahiyyah secara harfiah berarti hewan sembelihan.
            Qurban dalam fiqih Islam yaitu hewan yang dipotong dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, berkenaan dengan tibanya Idul adha atau yaumun nahr pada tanggal 10 Dzulhijjah dan pada hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah). Disebut hari nahr (atas dada),  karena pada umumnya waktu dulu hewan yang dipotong itu adalah onta yang cara pemotongannya atau penyembelihannya dalam keadaan  berdiri dengan ditusukkannya pisau ke lehernya dekat dada onta tersebut. Kemudian di kalangan kita popular dengan sebutan “qurban” artinya sangat dekat, karena hewan itu dipotong dalam rangka taqarrub kepada Allah.
            Qurban sangat dituntut dalam Islam. Dalil yang menerangkan ibadah qurban ialah:
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: "Maka bersembahyanglah kamu karena Tuhanmu dan berqurbanlah karena-Nya".
Artinya: "Daging dan darah binatang qurban atau hadiah tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepadaNya ialah amal yang ikhlas berdasarkan taqwa dari kamu".
E.     Waris
            Warisan adalah segala sesuatu baik yang bersifat materi maupun maknawi, yang telah meninggal dunia dan dibagikan kepada ahli waris berdasarkan peraturan-peraturan tertentu. Sebagian ulama mengungkapkan warisan dengan istilah faraidh, artinya warisan itu merupakan bagian tertentu bagi ahli waris. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
(٧  : النساء) مَفْرُوضًا نَصِيبًا كَثُرَ أَوْ مِنْهُ قَلَّ مِمَّا ….”
Artinya:  “…. baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (An-Nisa’ : 7)
F.     Wasiat
         Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dilaksanakan setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Jika diberikan kepada ahli waris maka wasiatnya tidak sah kecuali semua ahli waris yang lebih berhak menerima warisan itu ridha dan rela memberikan kepadanya setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia.

“Dari Abu Umamah beliau berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat bagi seorang ahli waris”.
(HR. Lima Ahli Hadits selain Nasai).                                                   
G.    Zakat
            Secara bahasa zakat berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Secara istilah zakat adalah sebagian harta yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula (Didin Hafidhuddin, 1998:13).
            Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Setiap muslim yang memenuhi syarat tertentu, berdasarkan dalil sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an
Surat at-Taubah : 103
صَلَاتَكَ إِنَّ عَلَيْهِمْ وَصَلِّ بِهَا وَتُزَكِّيهِمْ تُطَهِّرُهُمْ دَقَةًصَأَمْوَالِهِمْ مِنْ خُذْ
 (التوبة : ١٠٣)  سَمِيعٌ عَلِيمٌ وَاللَّهُ لَهُمْ سَكَنٌ
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
b.      Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "بني ا لاسلم على خمس شهدة ان لااله الاالله وان محمدارسول الله, وايقام الصلاةوايتاءالزكاة وحخ البيت وصوم رمضان
      Hadits adalah sebagaimana diriwiyatkan oleh Bukhori dan Muslim yang artinya Islam itu berdiri di atas lima dasar yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, naik haji, dan puasa ramadhan.
            Zakat bukan hanya kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan akan mendapat dosa, tetapi lebih dari itu zakat memiliki tujuan yang jelas. dengan terlaksananya lembaga zakat secara baik dan benar diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dapat berkurang. Di samping itu dengan pengelolaan zakat yang professional berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq zakat juga dapat dipecahkan.
            Macam-macam zakat, antara lain:
1.         Zakat mal (zakat harta), yaitu bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib dikeluarkan untuk golongan tertentu setelah dipunyai selama jangka waktu tertentu dalam jumlah minimal tertentu pula.
2.         Zakat fitrah (zakat jiwa), yaitu zakat wajib dikeluarkan oleh setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, setiap tahun menjelang hari raya Idul fitri.

         Adapun secara lebih terperinci dapat dikemukakan hikmah zakat yang dirangkum dari pernyataan Hussein Syahatah (1998) adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai sarana pendidikan bagi jiwa manusia untuk bersyukur kepada Allah SWT
2.      Melatih manusia untuk dapat merasakan penderitaan dan kesulitan fakir dan miskin
3.   Sebagai sarana untuk menanamkan dalam jiwa manusia sifat jujur, amanah, pengorbanan, ikhlas, mencintai sesama dan persaudaraan
4.      Membentuk masyarakat saling menanggung, menjamin dan saling menyayangi
5.  Mewujudkan pembangunan perekonomian sebab zakat dapat menanggulangi masalah-masalah penimbunan harta melalui anjuran mengola dan mengembangkan harta
6.  Untuk menanggulangi pengangguran, karena pengeluaran harta zakat kepada fakir dan miskin menambah kuatnya daya beli dan tuntutan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan pokok tentunya itu akan meningkatkan produktifitas dan kesempatan kerja
7.  Harta zakat dapat mengetaskan kemiskinan, karena zakat dapat mengubah orang-orang fakir menjadi orang-orang yang dapat memanfaatkan harta zakat.
            Benda yang wajib dizakati, yaitu:
1.      Emas, perak, dan uang
2.      Hasil bumi dan buah-buahan
3.      Harta perniagaan
4.      Barang tambang
5.      Hewan ternak
            Syarat-syarat wajib zakat, yaitu:
1.      Kemilikan yang sah dan pasti
2.      Berkembang biak secara alami atau usaha
3.      Mencapai nisab
4.      Melebihi kebutuhan pokok
5.      Bersih dari hutang
6.      Mencapai haul yaitu perputaran satu tahun.
            Orang-orang yang berhak menerima zakat disebut mustahiq. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah: 60
الرِّقَابِ وَفِي قُلُوبُهُمْ وَالْمُؤَلَّفَةِعَلَيْهَا وَالْعَامِلِينَ وَالْمَسَاكِينِ لِلْفُقَرَاءِ الصَّدَقَاتُإِنَّمَا
حَكِيمٌ عَلِيمٌ وَاللَّهُ اللَّهِ مِنَ فَرِيضَةً السَّبِيلِ وَابْنِ اللَّهِ سَبِيلِ وَفِي وَالْغَارِمِينَ
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
H.    Wakaf
       Wakaf berasal dari kata “waqofa” artinya menahan, dalam hal ini menahan harta untuk diwakafkan. Secara etimologi berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT. Harta yang telah diserahkan oleh Wakif kepada Nazhir (untuk waktu selamanya), kepemilikannya berpindah kepada Allah SWT. Harta tersebut bukan milik wakif dan juga bukan milik nazhir. Sedangkan harta yang diserahkan oleh Wakif kepada Nazhir agar dimanfaatkan (untuk waktu tertentu), masih menjadi milik Wakif, sehingga harus dikembalikan kepada Wakif setelah jangka waktu pemanfaatan harta wakaf berakhir.
            Harta wakaf (baik untuk waktu selamanya maupun untuk waktu tertentu) tidak dapat dijual, dihibahkan, diwariskan atau apapun yang dapat menghilangkan kewakafannya. Peran Nazhir adalah hanya mengelola harta wakaf tersebut agar jangan berkurang, dan mengupayakannya berkembang sehingga hasil (keuntungannya) dapat digunakan untuk keperluan sosial (mauquf alaih).
            Di dalam Islam wakaf adalah salah satu bentuk sedekah yang dianjurkan meskipun perintahnya tidak disebutkan secara tegas sebagaimana halnya zakat, namun para ahli dipandang sebagai landasan perintah untuk berwakaf, yaitu:
1.      Al-Qur’an
 Surat al-Hajj : 77
آمَنُوا ارْكَعُو وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وافْعَلُ الْخَيْرَ يَاايُّهَاالَّذِيْنَ ءَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku´lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
  Surat Al-Baqarah : 267
الْأَرْضِ مِنَ لَكُمْ أَخْرَجْنَا وَمِمَّا كَسَبْتُمْ مَاطَيِّبَاتِ مِنْ أَنْفِقُوا آمَنُوا يَاايُّهَاالَّذِيْنَ
اوَاعْلَمُوفِيهِاتُغْمِضُو أَنْ إِلَّا بِآخِذِيهِ وَلَسْتُمْ تُنْفِقُونَ مِنْهُ لْخَبِيثَ اتَيَمَّمُوا وَلَا
حَمِيدٌ غَنِيٌّاللَّهَ أَنَّ
                  Artinya: Hai orang-orang beriman, berinfaklah dari hasil kerja kalian yang baik-baik dan hasil bumi yang kalian dapatkan seperti pertanian, tambang dan sebagainya. Janganlah kalian sengaja berinfak dengan yang buruk-buruk. Padahal kalian sendiri, kalau diberikan yang buruk seperti itu, akan mengambilnya dengan memicingkan mata seakan tidak ingin memandang keburukannya. Ketahuilah Allah tidak membutuhkan sedekah kalian. Dia berhak untuk dipuji karena kemanfaatan dan kebaikan yang telah ditunjuki-Nya.
2.      Hadits
              Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Umar bin Khatab mempunyai tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW, untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut, ia berkata Wahai Rasulullah saya memperoleh tanah di Khaibar, yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah itu, apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya? Nabi SAW menjawab, jika mau kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasilnya), Ibnu Umar berkata maka Umar menyedekahkan tanah itu (dengan mensyaratkan) tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan ia menyedekahkan hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa dari orang yang mengelola untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma'ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. Rawi berkata, saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa menyimpanya sebagai harta hak milik. (H.R. al-Bukhari, Muslim, al Tharmidzi, al-Nasa'i).
                   Tujuan wakaf:
1.    Untuk kepentingan umum
2.    Untuk menolong fakir miskin
3.    Untuk kepentingan anggota keluarga sendiri.

2.10. Pandangan Islam Terhadap Ekonomi
Pandangan Islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah pemnfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana-sarana yang memberikan kegunaan (utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan perolehan kegunaan (utility) adalah masalah lain. Karna itu kekayaan dan tenaga manusia, dua-duanya merupakan, sekaligus sarana yang bisa memberikan kegunaan (utility) atau manfaat sehingga, kedudukan kedua-duanya dalam pandangan Islam, dari segi keberadaan dan produsinya dalam kehidupan, berbeda dengan kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan manfaatnya. [6]
Karena itu, Islam juga ikut campurtngan dalam masalah pemanfaatan kekayaan dengan cara yang jelas. Islam, misalnya mengharamkan beberapa pemanfaatan harta kekayaan, semisal khamer dan bangkai. Sebagaimana Islam juga mengharamkan pemanfaatan tenaga manusia, seperti dansa, (tari-tarian) dan pelacuran. Islam juga mengharamkan menjual harta kekayaan yang haram untuk dimakan, serta mengharamkan menyewa tenaga untuk melakukan sesuatu yang haram dilakukan. Ini dari segi pemanfaatan harta kekayaan dan pemanfaatan tenaga manusia. Sedangkan dari segi tata cara perolehannya, Islam telah mensyariatkan hokum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh kekayaan, seperti hokum-hukum berburu, menghidupkan tanah mati, hokum-hukum kontrak jasa, industry serta hukum-hukum waris, hibbah, dan wasiat.
Oleh karena itu, amatlah jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep) tentang system ekonomi, sedangkan ilmu ekonomi tidak. Dan Islam telah menjadikan pemnfaatan kekayaan serta dibahas dalam ekonomi. Sementara, secara mutlak Islam tidak menyinggung masalah bagaiamana cara memproduksi kekayaan dan factor prodok yang bisa menghasilkan kekayaan.


2.11. Politik Ekonomi Islam
Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hokum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia. Sedangkan politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (bacis needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan taip orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagi individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islma memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah Negara. [7] Pertamakali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru berikutnya, Islam memandangnya dengan kafa sitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam memndangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan gaya hidup tertentu pula.
Oleh karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah Negara semata, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang menikmati kehidupan tersebut.
Ketika mensyariatkan hukum-hukum ekonomi pada manusia. Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut kepada pribadi. Dengan itu, hokum-hukum syara’ telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer tiap warga Negara Islam secara menyeluruh, sebagai sandang, pangan, dan papan. Caranya adalah mewajibkan bekerja tiap laki-laki yang mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Kalau orang tersebut suh tidah mampu bekerja, maka Islam mewajib kepada anak-anaknya, serta ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Atau bila yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada, maka baitul mal-lah yang wajib memenuhinya.
Jelaslah bahwa Islam tidak memisahkan antara manusia dan eksistensinya sebagai manusia, serta antara eksistensinya sebagai manusia dan pribadinya. Islam juga tidak perah memisahkan antara anggapan tentang jaminan pemenuhan kebutuhan primer yang dituntut oleh masyarakat dengan masalah mungkin-tidaknya terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier mereka. Akan tetapi Islam telah menjdikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan apa yang dituntut oleh masyarakat sebagai dua hal yang seiring, yang tidak mungin dipisahkan antara satu dengan yang lain.  Justru Islam menjandikan apa yang ditutuntut oleh masyarakat tersebut sebagai asa (dasar pijakan) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum  mencari rezeki tersebut. Adalah fardhu. Allah swt. Berfirman:
“Maka, berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.”
(QS. Al-Mulk: 15) 
Banyak hadist yang mendorong agar mencari harta. Dalam sebuah hadist: Bahwa Rasulullah saw telah menyalami tangan Sa’ad bin Mu’adz r.a., dan ketika itu kedua tangan Sa’ad ngapal (bekas-bekas karena dipergunakan kerja). Kemudian hal itu ditanyakan oleh Nabi saw., lalu Sa’ad menjawab: “Saya selalu mengayunkan skrop dan kapak untuk mencari nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah saw. menciumi tangan Sa’ad dengan bersabda: “ (Inilah) dua telapak tangan yang disukai oleh Allah swt.” Rasulullah saw juga bersabda:
“Tidaklah seseorang makan sesuap saja yang ebih baik, selain ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”   [8]

2.12. Kaidah Umum Perekonomian
Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampaklah bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa memanfatkan yang ada. Dan inilah yang sesungguhnya, menurut pandangan Islam, dianggap masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas bagaimana cara memperoleh kekayaan masalah mengelola kekayaan yang dilakukan oleh manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah mereka. Atas dasar inilah, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dibangun di atas tiga kaidah, yaitu kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia. [9]
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, sebenarnyamerupakan milik Allah, dimana Allah swt adalah Pemilik kepemilikan tersebut, di satu sisi. Serta Allah sebagai Dzat yang telah dinyatakan sebagai Pemilik kekayaan, di sisi lain. Dalam hali ini Allah swt berfirman:
“Dan berikanlah kepada mereka, harta dari Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.”
 (QS. An-Nur:33)
 Sedangkan tentang pengolahan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak Negara, karena Negara adalah wakil ummat. Hanya masalahnya, As –Syari’ telah melarang Negara untuk memgelola kepemilikin umum (collective property) tersebut dengan cara barter (mubadalah) atau dikapling untuk orang tertentu, sementara mengelola denganselain kedua cara tersebut, asal tetap  berpijak kepada hokum-hukum, yang telah di jelaskan oleh syara’, tetap diperbolehkan. Adapun mengelola yang berhubungan dengan kepemilikan Negara (state property) dan kepemilikan individu (private property) Nampak jelas dalam hokum-hukum muamalah, seperti jual-beli, penggadaian dan sebagainya. As-Syari’  juga telah memperbolehkan Negara dan individu untuk memenej masing-masing kepemilikannya, dengan cara barter (mubadalah) atau diberikan (silah) untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hokum-hukum yang telah di jelaskan oleh syara’.


2.13. Metodologi Ekonomi Islam
Pencapaian ekonomi Islam sebagaimana disinggung di atas adalah  terwujudnya kemenangan dalam pemenuhan kebutuhan  hidup  dunia akhirat. Persoalan pertama yang muncul adalah  bagaimana  cara  mencapainya yang lebih dikenal dengan  metodologi yang digunakan dalam pencapaiannya, yaitu Islam yang didasarkan   pada   al Quran  dan  Sunah Nabi, dapat dijadikan dari kedua sumber ini pengetahuan dan kemampuan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Ada beberapa  bahasan tentang bab ini yakni, tentang   rasionalitas Islam, kedudukan dan peran etika  dan syariah Islam dalam ekonomi.
1.  Konsep rasionalitas Islam. Dalam pembahasan ekonomi  selalu dilandaskan pada asumsi mengenai perilaku ekonominya, maka dalam pengambilan keputusan diasumsikan adanya perilaku berpikir, bertindak dan  bersikap secara rasional (P3EI, 2008:27).
            Terminologi  rasionalitas  dibangun atas kaidah-kaidah  logika   yang dapat diterima  akal secara universal dan  tidak dilakukan  pengujian untuk membutikannya sebagai  aksioma. Weber  menyebutkan  bahwa   rasionalitas merupakan konsepsi kultural  yang bersifat unik  sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya.  Rasionalitas  Islam kiranya dapat dijabarkan  secara terinci  sebagai berikut :
1.  Setiap  perilaku   ekonomi   adalah  diarahkan pada  pencapaian  maslahah.  Beberapa ketentuan kaidahnya adalah bahwa Maslahah  yang lebih  besar lebih disenangi  daripda yang  lebih  kecil. Lalu maslahah kiranya dapat diikhtiarkan  secara  jangka panjang dan berkesinambungan.
2.  Setiap pelaku  ekonomi  selalu  berusaha   untuk  tidak melakukan   kemubaziran (non-wasting)
3.  Setiap  pelaku  ekonomi selalau  berusaha  untuk  tidak meminimumkan  resiko (risk aversion). Resiko merupakan  bagian yang tidak menyenangkan dan  dapat menyebabkan penurunan maslahah yang diterima. Ada beberapa  bahasan tentang aksioma  resiko, yaitu  resiko yang bernilai, resiko yang tidak bernilai
4.  Setiap  pelaku  ekonomi   dihadapkan  pada  situasi  ketidakpastian
5.  Setiap  pelaku berusaha  melengkapi  informasi  dalam  upaya   meminumkan resiko
            Dalam ajaran Isam terdapat beberapa  nilai aksioma  universal yang diajarkan, yaitu  adanya  kehidupan setelah mati,  kehidupan   akhirat  sebagai akhir  atas  segala kehidupan dan  sumber  informasi yang sempuran  adalah  kitab suci Quran dan  Sunah.
Aksioma-aksioma ini menjadi  penting  bagi pelaku yang memiliki rasionalitas  Islam dalam  jangka  waktu yang   tak terbatas. Dalam basis  ajaran Islam, maka  berdasar pada aksioma quasi concavity bahwa pelaku ekonomi pasti akan melakukan   harmonisasi   maslahah   di dunia dan  akhirat  dengan  cara  mengorbankan kenikmatan  di dunia  ini demi kenikmatan   di akhirat.
1.  Etika, rasionalitas dan hubungannnya dengan syariah, fiqh dan ekonomi Islam.
            Aspek  moral merupakan standar  perilaku  yang dapat  diterima oleh  masyarakat. Hal yang dianggap   rasional oleh  paham  konvensional dapat  pula  dianggap  tidak  rasional  bagi  Islam dan sebaliknya. Bagi  paham  relativisme  (utilarianisme) sebagai  contohnya adalah minuman keras merupakan tindakan rasional yang  tidak mendatangkan  kerugian masyoritas,  tetapi   minum-minuman keras  bagi Islam dapat menjauhkan diri dari maslahah  yang  diterima baik secara  agama,  fisik maupun intelektual. Ekonomi Islam  memberikan aturan  bagi perilaku  ekonomi  berdasarkan rasional ekonomi, maka  etika  perilaku  ekonomi  didasarkan pada  ajaran Islam tidak  hanya kesepakatan  sosial.
Adapun sikap rasional  islami diperoleh  karena adanya  sumber yang berasal dari  fakta  empiris dan ayat  Quran.  Dalam hal ini  syari`ah Islam berfungsi sebagai   sumber informasi  yang bersal  dari  Allah  dan  rasulnya, sedangkan fungsi yang lainnya adalah memberikan kontrol  terdapat  perilaku manusia dari  tindakan  rugi yang jauh  dari kemenangan pencapaian  tujuan  hidup (falah). Beberapa  kaidah pokok Fiqh tersebut  adalah :
a)      Pada dasarnya  setiap muamalah adalah  diperbolehkan kecuali terdapat   larangannya    terdapat   daam al Quran dan Sunnah
b)      Hanya Allah yang mempunyai kuasa  menghalalkan dan mengharamkan  sesuatu.
c)      Sesuatu yang  najis  dan merusak  adalah  haram
d)     Sesuatu yang menyebabkan pada  haram  juga  dihukumi  haram
e)      Tujuan seseorang  tidak padat mengubah yang haram menjadi  halal.
f)       Halal dan haram  adalah berlaku  bagi siapapun  muslim yang berakal,  merdeka
g)      Keharusan  adanya  skala  prioritas  dalam pengambilan   keputusan
1. Menghindari   kerusakan yang   lebih didahulukan dari mencari  kebaikan
2. Kepentingan sosial  dan luas  diutamakan daripada kepentingan individu yang sempit
3. Manfaat   yang kecil  dapat dikorbankan   untuk kemanfaatan yang  lebih besa
4. Bahaya  yang   kecil dapat  dikorbankan   untuk menghidari  bahaya yang lebih besar.
5. Kaidah-kaidah tersebut di atas  dapat dijadikan   pedoman teori  dan praktek  ekonomi Islam (P3EI, 2008 :35).
Adapun yang menjadi kerangka teori dalam ekonomi Islam adalah  adanya unsur  kebenaran dan  dan kebaikan. Dalam pandangan Islam  kebenaran dan  kebaikan  ada yang  mutlak dan ada yang relatif, kebenaran yang  mutlak   hanya  berasal  dari  Allah; al Quran dan Sunnah  sedangkan yang bersifat relatif  bersumber dari   fenomena  alam semesta. Dari pembahasan di atas tampak bahwa Islam dengan aturan syariah maupun nilai etis dan ajaran moral yang ditetapkan telah memiliki landasan konsep yang jelas pada ranah ekonomi secara menyeluruh dan memadahi dalam upaya pencapaian tujuan, falah umat Islam. Persoalan yang muncul dalam hemat saya adalah bentuk reaktualisasi dari konsep dasar yang terkandung didalamnya cenderung masih lemah dan  membutuhkan tahapan pelaksanaan lanjutan, yakni upaya harmonisasi dengan  konsep ekonomi konvensinal lainnya sejauh bahwa konsepsi-konsepsi yang diakomodasi dari luar konsep Islam tersebut memiliki keselarsan nilai serta memberikan daya dukung  yang positif.
Dengan pola yang komperhensif pada perpaduaan antara nilai-nilai agama ke dalam interaksi sosial-ekonomi, ekonomi Islam tampaknya jauh akan lebih akomodatif dalam merespon dinamika perkembangan masyarakat. Dengan demikian darapannya adalah landasan etis dan komprehensifnya aturan yang tertuang di dalam ekonomi Islam ini  akan mampu menjadi jembatan  atas perseteruan sistem ekonomi lain yang sementara lalu diagung-agungkan sebagai sebuah  sistem  ekonomi yang mapan dan final.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan dari uraian di atas sebagai berikut:
1.    Pemikiran ekonomi Islam berusia setua Islam itu sendiri. Sepanjang 14 abad sejarah Islam kita menemukan studi yang berkelanjutan tentang isu ekonomi dalam pandangan syari’ah.
2.    Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perspektif Islam (tadbîr syu’un al-mâl min wijhah nazhar al-islam) (An-Nabhani, 1990).
3.    Paradigma sistem ekonomi islam dibagi dua bagian, yaitu paradigma umum dan paradigma khusus. Paradigma umum yaitu Aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran, sedangkan paradigma khusus terbagi kedalam tiga pilar yaitu kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah, pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan distribusi kekayaankepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas), Melalui mekanisme syariah.
4.    Segala aturan yang diturunkan Allah SWT dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya.Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
5.    Prinsip ekonomi islam secara garis besar yaitu; Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah SWT kepada manusia, Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama, ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja, ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang, seorang mulsim harus takut kepada Allah SWT dan hari penentuan di akhirat nanti, zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab), dan Islam melarang riba dalam segala bentuk.
6.    Ada beberapa karakteristik ekonomi Islam sebagaimana disebutkan dalam al-Mawsuah al-Ilmiyah wa al-Amaliyah al-Islamiyah dalam Ghufran, antara lain; Pertama, harta kepunyaan Allah dan manusia khalifah harta, kedua, Ekonomi Islam terikat dengan akidah, syariat (hukum) dan moral, ketiga, keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan, keempat, Keadilan dan keseimbangan dalam melindungi kepentingan individu dan masyarakat, kelima, bimbingan Konsumsi, keenam, petunjuk investasi, ketujuh, zakat, kedelapan, laragan riba, kesembilan, pelarangan gharar, kesepuluh, pelarangan yang haram.
7.    Sistem Ekonomi menurut pandangan Islam mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi.  Sebagaimana dikutip oleh Muhammad (2007:12-13), menurut an-Nabhany (1990) asas yang dipergunakan untuk membangun sistem ekonomi dalam pandangan Islam berdiri dari tiga pilar (fundamental) yakni bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah), lalu bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta  bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ul tsarwah bayna an-naas).
8.    Konsep dasar ekonomi islam mencakup tujuan hidup, system ekonomi islam dan filsafat ekonomi islam.
9.    Di dalam sistem ekonomi Islam terdapat lembaga sosial ekonomi yang dapat menjembatani dua kelompok sosial, yaitu golongan kelas atas dan golongan kelas bawah. Adapun lembaga-lembaga sosial ekonomi dalam Islam adalah sebagai berikut; shadaqah, infaq, hibah, qurban, waris, wasiat, zakat dan wakaf.
10.    Menurut Islam, sarana-sarana yang memberikan kegunaan (utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan perolehan kegunaan (utility) adalah masalah lain. Karna itu kekayaan dan tenaga manusia, dua-duanya merupakan, sekaligus sarana yang bisa memberikan kegunaan (utility) atau manfaat sehingga, kedudukan kedua-duanya dalam pandangan Islam, dari segi keberadaan dan produsinya dalam kehidupan, berbeda dengan kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan manfaatnya.
11.    Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (bacis needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan taip orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagi individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu.
12.    Hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dibangun di atas tiga kaidah, yaitu kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia.
13.    Persoalan pertama yang muncul adalah  bagaimana  cara  mencapainya yang lebih dikenal dengan  metodologi yang digunakan dalam pencapaiannya, yaitu Islam yang didasarkan   pada   al Quran  dan  Sunah Nabi, dapat dijadikan dari kedua sumber ini pengetahuan dan kemampuan dalam pengambilan keputusan ekonomi.

B.    Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
An-Nabhani,Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persektif Islam, Risalah Gusti, 1996, Surabaya.
Achyar Eldine, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, wacana
Behesti, Muhammad H. 1992. Kepemilikan dalam Islam, Penerjemah: Luqman Hakim, dkk. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Dr. Yusuf Qhardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam
Drs. Zainul Arifin, MBA Prinsip-prinsip Operasional Bank IslamWednesday, 22 November 2000 www.tazkiaonline.com
Ghufron A. Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002).
Imtihana, Aida, dkk. 2009. Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum. Palembang: Universitas Sriwijaya
Karim, M.A S.E, Adiwarman. Ir.,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, The International Institut of Islamic Thought Indonesia, 2001, Jakarta
Lubis, Suhrawardi K. 2004. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Lubis, Ibrahim, H. Drs, Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Kalam Mulia, 1995 Jakarta.
Mannan, M. Abdul. 1970. Islamic Economics: Theory and Practice. dalam Delhi. Sh. M. Ashraf.
Mustafa Edwin Nasution, Nurul Huda, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Juli 2006.
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik, Tazkia Institute dan Gema Insani, Maret 2001.
N.Gregory Mankiw, Principles of Economics, Harcourt College Publishers
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. 2009. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers
Prihatna, Andi Agung. 2005. Revitalisasi Filantrofi Islam Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, Editor:  Chaidar S. Bamualim, dkk. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah.
Sholahuddin, M. S.E, M.Si., Asas-asas Ekonomi Islam, PT.Raja Grafindo Persada, 2007, Jakarta.
Administrator. Pengertian dan Hikmah Qurban (online). Tersedia: http://rumah-yatim.org/indonesia/index.php/Panduan-Qurban/Pengertian-dan-hikmah-Qurban.html (7 Desember  2013)
Hanif. (2009). Ekonomi dalam Islam (online). Tersedia: http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2009/10/07/ekonomi-dalam-islam (7 Desember 2013)
Islam Wiki. (2012). Wasiat Pengertian dan Hukum Wasiat (online). Tersedia: http://islamwiki.blogspot.com/2012/11/wasiat-pengertian-dan-hukum-wasiat.html  (7 Desember 2013)
http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2009/10/07/ekonomi-dalam-islam (7 Desember 2013)
http://cananana.wordpress.com/2010/11/09/perekonomian-dalam-islam/
(7 Desember 2013)
http://databaseartikel.com/ekonomi/keuangan-ekonomi/20118980-jual-beli-dalam-islam-jenis-atau-macamnya.html (7 Desember 2013)
http://dwianggaraputra.blogspot.com/2012/06/contoh-makalah-agama-tentang-ekonomi.html (7 Desember 2013)
http://kismawadi.blogspot.com/2009/10/latar-belakang-ekonomi-islam.html (7 Desember 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar