Kamis, 15 Mei 2014

METODOLOGI STUDI ISLAM


METODOLOGI STUDI ISLAM

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Dirasah Islamiyah

Disusun Oleh:
Lina Fatinah
1123020052
Mu’amalah/I/B








FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012









KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas segala curahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam pembuatan makalah ini, penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang dapat bermanfaat dengan sebaik-baiknya.
Penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar lebih baik lagi untuk selanjutnya.
Akhir kata, terima kasih penyusun ucapkan kepada Bapak Dosen atas perhatiannya.





Bandung, 30 Oktober 2012





Penyusun




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.     Latar Belakang................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................... 1
C.     Tujuan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A.    Islam Dalam Wacana Agama-Agama................................................................... 2
B.     Hubungan Tauhid Dengan Ilmu Pengetahuan...................................................... 6
C.     Islam Dan Kebudayaan Islami.............................................................................. 8
D.    Islam Dan Kebudayaan Indonesia........................................................................ 10
E.     Hakikat Al-Quran sebagai Sumber Agama Islam................................................. 13
F.      Hakikat Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam........................................................ 14
G.    Hakikat Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam....................................................... 17
H.    Hakikat Ritual dan Institusi Islam........................................................................ 21
BAB III PENUTUP............................................................................................ 22
A.    Kesimpulan............................................................................................................ 22
B.     Saran..................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 24

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan Indonesia terdapat perkembangan agama, budaya, dan ilmu pengetahuan. Perkembangan agama meliputi aspek al-quran, hadits, ritual Islam dan tidak terlepas dari para mujtahid dalam melakukan ijtihad. perkembangan ini seiring dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi di seluruh belahan dunia. Faktor perkembangan agama terutama agama islam tidak terlepas dari agama-agama lain dan perkembangan agama Islam juga berpengaruh terhadapa kebudayaan serta kebudayaan dan agama pun berpengaruh bagi ilmu pengetahuan. Maka dari itu, ketiga aspek tersebut saling berkaitan untuk menjadi bahan penelitian.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana  Islam dalam Wacana Agama-agama ?
2.      Bagaimana  Hubungan Tauhid dengan Ilmu Pengetahuan ?
3.      Bagaimana  Islam dan kebudayaan Islami ?
4.      Bagaimana  Islam dan kebudayaan Indonesia
5.      Bagaimana  Hakikat Al-Quran sebagai Sumber Agama Islam ?
6.      Bagaimana  Hakikat Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam ?
7.      Bagaimana  Hakikat Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam ?
8.      Bagaimana  Hakikat Ritual dan Institusi Islam ?
C.    Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi  Ujian Tegah Semester mata kuliah Dirasah Islamiah, selain itu agar kita dapat mengetahui bagaimana agama Islam didepan agama-agama lain, dan bagaimana kita dapat mengaplikasikan tauhid di dalam kehidupan sehari-hari, mengerti akan kebudayaan Islam, mengerti kebudayaan Islam yang ada di Indonesia, dapat mengaplikasikan Al-Quran, hadis, dalam kehidupan sehari-hari, mengerti ijtihad, ritual dan institusi Islam, oleh karena itu diharapkan mahasiswa/mahasiswi dapat memaknai agama dalam kehidupannya bukan hanya sebagai sebuah identitas atau jati diri saja.

Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan hanya pada dataran eksoterik[1][2], melainkan juga pada dataran esoteris[2][3].
Kebenaran dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran sosiologis. Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal, dan tidak majemuk, yakni sesuai dengan realitas. Tetapi, pencapaian kebenaran pada setiap orang berbeda. Dalam konteks agama, semua agama—Yahudi, Kristen, Islam, Budha, Hindu, termasuk aliran kepercayaan—ingin mencapai Realitas Tertinggi (the Ultimate Reality). Kristen dan Islam menerjemahkan Realitas Tertinggi sebagai Allah (dengan pelafalan yang sedikit berbeda), Yahudi sebagai Yehova, juga dengan keyakinan yang lain. Ini berarti bahwa yang dikejar sebagai Realitas Tertinggi itu sebenarnya adalah satu. Itulah yang menyebabkan Frithjof Schoun mengatakan bahwa semua agama itu sama pada alam transendental[3][4]. Pada alam itu, semua agama mengejar Realitas Tertinggi. (Husein Shahab dalam Andito [ed.], 1998: 21)
Sisi kedua adalah sisi sosiologis. Ditinjau dari sisi sosiologis, proses pencapaian dan penerjemahan Realitas Tertinggi membuat klaim tentang kebenaran menjadi berbeda. Islam mengatakan bahwa agamanyalah yang paling benar; begitu juga, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan aliran kepercayaan menyatakan demikian. Padahal, perbedaan yang terjadi secara hakiki bukan terletak pada Realitas Tertinggi. Di sinilah mulai timbul konflik kebenaran, baik ekstra-agama maupun intra-agama.
Dalam Al-Qur’an terdapat tuntunan yang banyak membicarakan Realitas Tertinggi yang menunjukan bahwa ia, secara filosofis, tidak menerima kebenaran selainnya. Namun di sisi lain (sosiologis), ia juga dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum wa liy al-din)[4][5].




Di samping itu, para pemikir Muslim cenderung moderat[5][6] dan sangat toleran.
Atas dasar dua kebenaran tersebut, sebaiknya Relitas Tertinggi dijadikan ugeran atau patokan. Jika Realitas Tertinggi pada hakikatnya adalah satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama adalah juga satu. Yang sebaiknya dipertahankan bukan simbol agama, melainkan kebenaran yang sebenarnya dikejar oleh setiap agama. (Husein Shahab dalam Andito (ed.), 1998: 23)
Menurut Sugiharto, tantangan yang dihadapi setiap agama sekarang ini sekurang-kurangnya ada tiga. Pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai disorientasi nilai dan degradasi moralitas, agama ditantang untuk tampil sebagai suara moral yang otentik. Kedua, agama harus menghadapi kecenderungan pluralisme, mengolahnya dalam kerangka “teologi” baru dan mewujudkannya dalam aksi-aksi kerja sama plural. Ketiga, agama tampil sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. (Bambang Sugiharto dalam Andito (ed.), 1998: 29-30)
Ketiga tantangan di atas menjadi lebih sulit dijawab karena beberapa faktor. Pertama, kemelut dalam masing-masing tubuh agama seringkali muncul ke permukaan. Sikap agresif yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain sering kali merupakan ungkapan yang tidak disadari akibat ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri. Kedua, paham tentang kemutlakan Tuhan juga memudahkan orang untuk mengidentikkan kemutlakan itu dengan kemutlakkan agamanya. Ketiga, keyakinan bahwa segala tindakan seperti di atas akan dibalas oleh Tuhan dengan pahala, menyebabkan kekerasan terhadap pemeluk agama lain justru dianggap sebagai bagian dari keutamaan moral—suatu ironi yang bukan saja kontradiktif[6][7], melainkan juga berbahaya, baik bagi pemeluk agama lain




 
Pluralisme berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwah dianggap “tidak relevan.” Eklektivisme adalah sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat elektik.
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis, agama kemudian tampil dalam format plural.
Di negara kita, Indonesia, kelihatannya umat Islam masih didominasi pandangan eksklusivisme. Hal ini, di satu sisi dipandang wajar, karena warisan historis tentang persentuhan Islam-Kristen, terutama Perang Salib. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan format-format lain sebagai alternatif wajah keberagamaan Islam di Indonesia.
B.     HUBUNGAN TAUHID DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan Tuhan dan cegahan melakukan tindakan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, meskipun antara yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda.
Dalam Al-qur'an (Al-Ikhlas: 1-4), Allah berfirman: "katakanlah: "Dia-lah Allah Yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak melakhirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".
Sebagaimana dikatakan di atas, sisi kedua adalah cegahan syirik. Dalam Al-Qur'an (Luqman: 13), Allah berfirman: "Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya ketika ia memberi pelajaran kepada anaknya: Hai anakku, jangalah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.")
Perintah mengesakan Tuhan mengandung arti bahwa manusia hanya boleh tunduk kepada Tuhan. Ia tidak boleh tunduk pada selain-Nya karena ia adalah puncak ciptaan-Nya. Karena ia hanya boleh tunduk kepada Tuhan, manusia oleh Allah dijadikan sebagai khalifah (Al-baqarah : 30). Karena manusia adalah khalifah di bumi, maka alam selain manusia ditundukkan oleh Allah untuk manusia. seperti firman Allah dalam Ibrahim : 32-33, An-Nahl :12-13.
Firman Allah di atas, menunjukkan bahwa bumi, langit, laut serta segala yang ada dibumi dan laut telah ditundukkan Allah untuk kepentingan manusia. Apabila tunduk kepada selain ALlah, berarti manusia telah menyalahi fungsinya sebagai khalifah, tunduk kepada alam berarti tunduk kepada selain Allah, tunduk kepada selain Allah berarti syirik (mempersekutukan Allah).
Dengan demikian, tauhid mendorong manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam karena sudah dituntukkan untuk manusia. Perintah mengesakan Tuhan di barengi dengan cegahan mempersekutukan Tuhan. Jika manusia mempersekutukan Tuhan, berarti ia dikuasai oleh alam, padahal
manusia adalah yang harus menguasai alam karena alam telah ditundukkan oleh Allah.
Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram tunduk kepada alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam dan dari hukum alam ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan.
Dengan demikian, sumbangan atau peran Islam dlaam kehidupan manusia adalah terbentuknya suatu komunitas yang berkecenderungan progresif, yaitu suatu komunitas yang dapat mengendalikan, memelihara dan mengembangkan kehidupan melalui pengembangan ilmu dan sains. Penguasaan dan pengembangan sains bukan saja termasuk alam saleh, melainkan juga bagian dari komitmen keimanan kepada Allah.

C.    ISLAM DAN KEBUDAYAAN ISLAMI
Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya (Nurcholish Madjid dalam Yustion dkk. (Dewan Redaksi, 1993: 172-3)
Dalam pandangan Harun Nasution (lihat Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18), agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab suci itu memerlukan penjelasan baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama.
Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18)

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN ISLAMI
Cultural universalSistem ----------------------------Kemasyarakatan

Cultural activity---------------------------------------Perkawinan 
Trait complex------------------------------------------Khitbah

Items----------------------------------------------------Muda-mudi yang hendak menikah











Sistem kemasyarakatan dalam Islam kita disebut sebagai culture universals karena ia terjadi disetiap tempat dan setiap waktu. Perkawinan kita sebut cultural activity karena perkawinan merupakan unsur yang lebih kecil daripada unsur sistem kemasyarakatan. Salah satu kegiatan dalam perkawinan adalah khitbah (lamaran atau pinangan). Ia sebut trait complex karena merupakan unsur yang lebih kecil dari perkawinan. Dalam khitbah terdapat muda-mudi yang hendak menikah; mereka disebut items karena dalam khitbah masih terdapat unsur wakil pelamar (biasanya tidak langsung oleh yang bersangkutan), benda-benda yang dibawa ketika melamar seperti daun sirih, pinang, ragi, dan kapur sirih. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pada tingkat praktis, agama Islam merupakan produk budaya karena ia tumbuh dan berkembang melalui pemikiran ulama dengan cara ijtihad; di samping itu, ia tumbuh dan berkembang karena terjadi interaksi sosial di masyarakat.

 
D.    ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
1.      Persentuhan Islam dengan Kebudayaan Melayu dan Jawa
Dalam Islam terhadap ajaran tauhid, sesuatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu, dan manusia haraus mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada-NYA. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur dengan penjelasan yang berbeda. Di pesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat lailaha illa Allah sering ditafsirkan sebagai berikut: pertama, la mujudu illa Allah (tidak ada yang “wujud” kecuali Allah); kedua, la ma'buda illa Allah (tidak ada yang disembah kecuali Allah); ketiga, la maqsud illa Allah (tidah ada yang dimaksud kecuali Allah); dan keempat, la mathlub illa Allah (tidak ada yang diminta kecuali Allah).
Indonesia pernah mengalami dualisme[7][11] kebudayaan, yaitu antara kebudayaan keraton dan kebudayaan populer. Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan sebagai kebudayaan tradisional.
Konsep kekuasaan Jawa sungguh berberbeda dengan konsep kekuasaan islam. Dalam kebudayaan Jawa dikenal konsep Raja Absolut, islam justru mengutamakan konsep Raja Adil, al-Malik al-Adil. Akan tetapi, sesuatu hal yang perlu dicatat adalah kebudayaan karaton diluar jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh, misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik al-Adil. Ini berarti kebudayaan keraton di Jawa lebih mengutamakan kekuasaan, sedangkan kebudayaan kerabudayaan keraton diluar pulau Jawa lebih mengutamakan keadilan. Perbedaan lain antara kebudayaan masyarakat berdasarkan atas kemutlakan kekuasaan raja, ketertiban masyarakat berdasarkan atas kemutlakan kekuasaan raja, sedangkan dalam islam, ketertiban sosial akan terjamin jika peraturan-peraturan syariat ditegakan.




[1][2] Eksoterik: pengetahuan yang boleh diketahui atau dimengerti oleh siapa saja
[2][9] Kumpulan orang, sifat, atau benda yang berhubungan
[3][10] Ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut watak masing-masing
[4][5] Terjemahan ayat Al-Qur’an surat Al-Kafirun:6 “Untukmu agamamu, untukku agamaku”
[5][11] paham bahwa dl kehidupan ini ada dua prinsip yg saling bertentangan



Dengan kata lain, kebudayaan karaton di Jawa mementingkan kemutlakan kekuasaan raja untuk ketertiban sosial, sedangkan Islam mementingkan hukum yang adil untuk diteganya ketertiban sosial. Karna terjadi perbedaan yang begitu tajam, yang sering terjadi ketegangan antara Isalam dengan kebudayaan keraton jawa. (Kuntowijoyo,1991: 232)
2.      Inovasi Dan Pengaruh Islam Dalam Sastra, Seni, Dan Arsitek
Ekspresi astentik Islam di Indonesia, paling tidak, dapat dilihat dalam dua bidang: sastra dan arsitek. Kecendrungan sastra sufistik (transendental) telah muncul di Indonesia sekitar tahun 1970. kemunculan sastra berkecendrungan sufistik ditandai munculnya karya-karya yang ditulis pada tahun tuju puluhan, di antaranya Godlod dan Alam Makrifah kumpulan cerpen Danarto; Khotbah di atas bukit karya kuntowijoyo, dan Arafah karya M. Fudoli Zaini. Disusul karya-karya berikutnyaseperti Sanu Infinitina Kembar (1985) karya Motinggo busye (alm) (Abdul Hadi WM dalam Yustino dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 74)
Eksperesi estetik Islam lainnya tergambarkan dalam arsitek masjid-masjid tua. Citra masjid tua adalah contoh dari interaksi agama dengan teradisi arsitek pra-Islam diIndonesia dengan konstruksi kayu dan atap tumpang bentuk limas. Umpamanya Masjid Demak, Masid Kudus, Masjid Cirebon, dan masjid Banten sebagai cikal-bakal masjid di Jawa. Sedangkan di Aceh dan Medan, corak masjid tua memperhatikan sistem atap kubah. Menurut para ahli, masjid-masjid tua di Aceh dan Medan merupakan penerus dari gaya masjid Indo-Persi dengan ekspresi struktur bangunan yang berbeda dengan corak masjid atap tumpang (Wiyoso yodoseputro dalam Yustino dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 11-3)
Menurut Nurcholish madjid (dalam budhy Munawar Rachman (ed.), 1994: 463-4), asitektur masjid indonesia banyak diilhami oleh gaya arsitektur kuil Hindu yang atapnya bertingkat tiga. Seni arsitektur sering ditafsirkan sebagai lambang tiga jenjang perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau pemulaan (purwa), tingkat menengah (madya), tingkat terakhir yang maju dan tinggi (wusana).

Damnbar itu dianggap sejajar dengan vertikal islam, iman, dan ihsan. Selain itu, hal itu dianggap sejajar dengan syari'at, thariqat, dan ma'rifat.
3.      Islam Dan Adat Melayu Di Sulawesi Selatan Dan Aceh
Pengaruh islam dalam kebudayaan Sulawesi selatan antara lain tergambarkan dalam sulapa eppa'e (pepatah orang tua kepada anaknya yang hendak merantau. Bunyi sulapa eppa'e adalah sebagai berikut.
Abu bakkareng tettong riolo
Ummareng tettong di atau
Bagenda Ali tettong ri abeo
Usmang tettong ri munri
Kun fayakun
Barakka la illaha illa'llah
muhammadun rasulullah

Abu Bakar berdiri didepan
Umar berdiri sebelah kanan
Baginda Ali berdiri sebelah kiri
Usman berdiri di belakang

Kesusastraan Aceh banyak berbentuk pepatah, pantun, syair, dan hikayat. Salah satunya sastra dalam bentuk pepatah adalah:
Uang habis, gaseh pun kurang
mana mau pakai lagi, aku sudah hina
(Tgk. H.Muslim Ibrahim dalam Yustino dkk.,(Dewan Redaksi), 1993: 277)
Itulah akultarasi Islam denmgan kebudayaan Indonesia Yang didominasi oleh kebudayaan Melayu dan Jawa. Kebudayaan Melayu lebih mudah menerima Islam, sedangkan kebudayaan Jawa --yang oleh kuntowijoyo dibagi menjadi dua: budaya keraton dan budaya populer-- cenderung berwajah ganda, terutama budaya keraton, dalam menerima islam. Budaya karaton Jawa yang mewarisi tradisi Hindu-Budha berintegrasi dengan budaya Islam sehingga para abdi dalem membuat sesuatu silsilah membuktikan bahwa raja adalah keturunan para dewa di satu sisi, dan di sisi lain mereka juga mengaku sebagai keturunan para nabi. Lebih dari itu, raja di Jawa ada yang mengaku sebagai wali Tuhan untuk menanamkan loyalitas rakyat kepadanya dan pempertahankan atatus quo.
E. Hakikat Al-Quran sebagai Sumber Agama Islam
1.  Definisi Al-Quran
                                    Al-Quran berarti bacaan. Atau dalam pengertian lain Al-Quran adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mu’jizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantara Malaikat Jibril, ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Naas.
            2. Keutamaan Al-Quran
                                    Sungguh banyak hadis-hadis yang menunjukan kelebihan-kelebihan Al-Quran dan keagungannya. Diantaranya ada yang berhubungan dengan keutamaan mempelajari dan mengajarkannya, ada yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan membaca dan memperhatikannya, dan ada pula yang berhubungan dengan keutamaan tentang penghafalan dan pemantapannya, sebagaimana tidak sedikit tertera dalam kitab Allah tentang ayat-ayat yang menyerukan kepada orang mukmin untuk menghayati dan menerapkan hkum-hukumnya, di samping seruan untuk mendengarkan bacaannya dengan penuh perhatian ketika dibacakan ayat-ayatnya.
            3. Proses Pembukuan Al-Quran
Al-Quran dijadikan sebagai sumber hukum utama dalam agama Islam, setelah Nabi Muhammad s.a.w meninggal dunia, terjadi banyak sekali perang, yang dimana perang tersebut melibatkan para penghafal Al-Quran yang menjadi korban jiwa, mulai dari itu para sahabat mengumpulkan Al-Quran, yang tempatnya tidak beraturan, mulai pada zaman Abu Bakar, dimana Al-Quran dikumpulkan berupa mushhaf, yang masih gundul sekali belum ada syakal ataupun tanda bacanya, setelah itu para sahabat mulai menyebarkan Al-Quran , tetap banyak para sahabat yang pada pembacaan Al-Quran masih berbeda dam menimbulkan konflik, untuk itu Usman mencoba kembali merevisi Al-Quran yang masih berupa mushhaf, dengan memberi tanda banca dan syakal.
F. Hakikat Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam
1. Pengertian Hadis
                                    Hadits menurut bahasa yaitu jadid, lawan qadim = yang baru, Qarib = yang dekat; yang belum lama lagi terjadi, seperti dalam perkataan “haditsul ahdi bi’l-Islam”= orang yang baru memeluk agama Islam. Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah segala ucapan Nabi, segala perbuatan Nabi, dan segala keadaan Nabi.
                                    Sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat, bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan  Nabi dan taqrir Nabi : melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan dan taqrir tabi’in. Sedangkan menurut istilah ahli ushul Hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi, yang bersangkut paut dengan hukum. 
            2. Sejarah Kodifikasi Hadits
                                    Penulisan resmi hadits dalam dalam kitab-kitab hadits, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayah, yaitu pada zaman Umar bin Abd al-Aziz. Penulisan secara resmi disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd al-Aziz kepada para pakar hadits untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan Hadits yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi.
                                    Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut masa Wahyu dan Pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-takwin). Pada periode ini Nabi melarang para sahabat untuk menulis Hadits, karena disamping adanya rasa takut bercampur antara Hadits dan Al-Quran, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah pada Al-Quran. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisatif menuliskannya untuk berbagai alasan.
                                    Periode kedua adalah pada zaman khulafa rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan Hadits dan penyedikitan riwayat (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-usaha para sahabat di dalam membatasi hadits dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Periode ketiga adalah penyebaran Hadits ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadits secara resmi (‘ashr al-kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah perintah resmi dari kalifah Umar bin Abd. Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (‘ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 Hijriah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah Ma’mun sampai al-Mu’tadir (201-300 H)
                                    Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan (‘ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlagsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiah ke tangah Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M. Periode ketujuh adalah periode persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahd al-syarh wa al-jamu’ wa al-takhrij wa al-baths). Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadits-hadits. Ulama pada periode ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyususn hadits sesuai dengan topik pembicaraan.
3. Fungsi Hadits
                                    Umat Islam sepakat bahwa Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Quran. Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang tedapata dalam Al-Quran maupun Hadits. Keberadaan Hadits sebagai sumber hukum ke dua setelah Al-Quran, selainketetapan Allah, ysng dipahami dari ayat-Nya secara tersirat, juga merupakan ijma’ (konsensu) seperti terlihat dalam prilaku sahabat. Misalnya penjelasan Usman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam salat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Saw.
4. Istilah-istilah untuk Hadits
                                    Kebanyakan para Muhadditsin, baik yang termasuk aliran modern maupun yang termasuk aliran kuno (salaf), berpendapat bahwa istilah Al-Hadits, Al-Khabar, Al-Atsar dan As-Sunnah. Al-Hadits hanya terbatas kepada apa yang datang dari Nabi Muhammad s.a.w. saja, sedangkan Al-Khabar terbatas kepada yang datang dari selainnya. Karena itu, orang yang tekun kepada ilmu Hadits saja disebut dengan Muhsddits, sedang orang yang tekun pada Khabar disebutnya dengan Akhbary. Ada pula pendapat yang membedakannya dari segi umum dan khusus muthlaq, yakni tiap-tiap Hadits itu Khabar, tetapi sebaliknya bahwa tidak tiap-tiap Khabar itu dapat dikatakan Hadits. Di samping ada yang mengatakan, bahwa istilah Atsar itu ialah yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang orang sesudahnya, juga ada pendapat yang mengatakan, bahwa istilah Atsar itu lebih umum penggunaannya dari pada istilah Hadits dan Khabar, karena istilah Atsar itu mencakup segala berita dan prilaku para sahabat, tabi’in dan lainnya.
            5. Unsur-unsur Hadits
                                    Hadits terbagi kedalam 3 unsur, yaitu:
a.      Sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l-Hadits kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
b.      Matan adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir, baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.
c.       Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterima dari seseorang (gurunya) atau Nabi.
G. Hakikat Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam
            1. Pengertian Ijtihad
                                    Dari segi bahasa, arti ijtihad ialah  mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan “ijtihad” tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan unruk menetapkan hukum-hukum syari’at.
            2. Syarat-syarat Ijtihad
                        Orang yang berijtihad harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
a.       Mengetahui nas Al-Quran dan hadits. Kalau tidaj mengetahui salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad.
b.      Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga  ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan ijma’, kalau ia memegani ijma, dan memendangnya sebagai dalil syara’.
c.       Mengetahui bahasa Arab  sehingga dapat mengerti idem-idemnya. Mujtahid juga harus mengerti pembicaraan yang jelas, yang zhahir, yang mujmal, uang hakikat, yang majaz, yang ‘aam, yang khas, yang mukhkam, yang mutasyabih, yang mutlaq, yang muqaiyad, yang mantuq, dan yang mathum.
d.      Mengetahui ilmu ushul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu ushul fiqih menjadi dasar dan pokok ijtihad.
e.       Mengetahui nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.
3. Hukum Ijtihad
a. Wajib ‘ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa sedang    peristiwa tersebut akam hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian pula wajib ‘ain, apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Wajib kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu peristiwa dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang selain dia sendiri masiha ada mujtahid lain, apabila semuanya meninggalkan ijtihad, maka mereka berdosa.
c. Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu peristiwa yang belum terjadi, baik dinyatakan atau tidak.
4. Tingkatan-tingkatan Mujtahid
Ibnu Qayyim membagi para mujtahid dalam 4 tingkat:
a.       Mujtahid yang mengetahui Kitabullah, Sunnah Rasulnya dan pendapat-pendapat sahabat. Dialah mujtahid untuk menetapkan hukum dalam segala rupa kejadian.
b.      Mujtahid yang terkait dalam madzhab  imam yang diikutinya
c.       Mujtahid dalam madzhab imam yang diikuti berusaha menguatkan madzhab dengan dalil dan mengetahui dengan baik fatwa-fatwa imamnya.
d.      Orang yang mempelajari suatu madzhab, mahrajny, fatwa-fatwanya dan segala cabang-cabang hukumnya, serta mengaku dirinya muqallid.
5. Ijtihad bagi Nabi-nabi
                        Para ulama telah sepakat bolehnya berijtihad bagi Nabi-nabi dalam hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan dunia dan soal-soal peperangan. Nabi pernah hendak berdamai dengan Bani Ghathafan dengan memberikan buah kurma Madinah. Adapun ijtihad Nabi-nabi dalam hukum-hukum syari’at, maka menjadi perselisihan. Menurut golongan Asy’ari, Nabi-nabi tidak boleh berijtihad sebab mereka bisa menanti wahyu.
                        Menurut Jamhur, Nabi-nabi boleh berijtihad. Kalau seseorang boleh berijtihad sedang ia tidak terhidar dari kemungkinan luput, mengapa Nabi-nabi tidak boleh berijtihad, pada hal mereka terjamin dari keluputan
6. Ijtihad bagi Sahabat-sahabat
Para ahli usul tidak sama pendapatnya tentang kebolehn ijtihad bagi  sahabat-sahabat dimasa Rasul. Pendapat yang kuat membolehkan ijtihad sahabat-sahabat, baik dikala berdekatan dengan Rasulullah ataupun ketika berjauhan.
Nabi berkata kepada Amr bin Ash: “Putuskan beberapa perkara” Amr berkata: “Apabila saya boleh berijtihad sedang tuan masih ada ?” Jawab Nabi: “Ya, apabila benar, kamu mendapat dua pahala”. Apabila tidak benar kamu mendapat satu pahala. Nabi pernah menyerahkan putusan tentang Yahudi Bani Quraizhah kepada Sa’ad.
7. Ijtihad Sumber Dinamika
                        Sekarang ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian yang seksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas ditunjuk oleh nas. Melihat banyaknya persoalan-persoalan yang muncul ke permukaan, umat Islam dituntut untuk keluar dari masaalah itu, yaitu dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.
                        Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil zhanni al-wurud atau zhanni al-dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil tersebut merupakan kerja ijtihad dalam rangka menyelesaikan persoalan kehidupan manusia yang senantiasa berubah dalam nuansa perkembangan. Ijtihad juga adalah saksi bagi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.
H. Hakikat Ritual dan Institusi Islam  
           1. Ritual Islam
                                    Secara umum ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua ritual, yaitu: ritual yang mempunyai dalil dan sunah dan ritual yang tidak mempunyai dalil dan sunah. Selain perbedaan tersebut ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dalam segi ini ritual dlam Islam dapat dibedakan menjadi:
a.       Primer adalah ritual yang wajib dilakukan umat Islam, umpamanya solat wajib lima waktu dalam sehari semalam, berdasakan Al-Quran.[5][1]
b.      Sekunder adalah ibadah shalat sunnah, umpamanya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah, salat tahajud dan shalat duha.[5][2]



[5][1]. “tegakanlah salat sejak matahari tergelincir hingga gelap malam (dan dirikanlah salat) subuh......” (QS al-Isra         (17): 78).
[6][2] . ibadah ini memiliki dalil dari al-Sunnah, tetapu ulama menyebutnya ibadah sunah. Oleh karena itu, meninggalkan ibadah tersebut tidak diancam dengan siksa.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
a.    Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Kata yang pertama, religion, yang biasa dialihbahasakan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagaman atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata benda”; ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Sedangkan religiositas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.
b.    Manusia harus menguasai alam dan haram tunduk kepada alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam dan dari hukum alam ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan.
c.    Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa dan cita-cita manusia. Yang dapat berubah setiap waktu, ruang dan tempat. Dengan adanya budaya, kehidupan manusia menjadi lebih terarah dan mendapat tempat yang semestinya dimata manusia itu sendiri.
Islam bukan produk budaya, seperti apa yang sering kita dengar sekarang ini. Namun budaya timbul merupakankan efek dari adanya agama itu sendiri.
d.   Salah satu akulturasi yang ada dan berkembang di indonesia yaitu sebuah kesenian. Dan salah satunya yaitu tari saman yang ada di  aceh. Tarian yang di padukan dari tarian khas aceh di tambah dengan sedikit dari budaya arab yaitu di dalam tarian tersebut di sisipkan sebuah syair yang di tujukan kepada Allah, seperti pujian-pujian kepada-Nya.

B.       Kesimpulan
Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu kita dalam proses pembelajaran mata kuliah Dirasah Islamiah, selain itu saya sebagai penulis makalah ini meminta maaf apabila pada pada isi makalah ini banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna, dengan itu saya, mengharapkan kritik dan saran, agar dikemudian hari dapat menyusun makalah dengan lebih baik lagi.





DAFTAR PUSTAKA

Hakim Atang Abd. Jaih Mubarok 2011. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT.      REMAJA   ROSDAKARYA.
Ashari. Endang Saefudin 1986. Wawasan Islam. Jakarta: CV. RAJAWALI.
Ash-Shabuny. Muhammad Aly 1996. Pengantar Study Al-Quran. Bandung:  PT. Alma’arif.
Ash-Shiddieqi. Hasbi 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman. Facthur 1970. Ikhtisar Mushtalahul Hadits. Bandung: PT ALMA’ARIF.
Hanafie.  Abu 1981. Usul Fiqih. Jakarta: WIDJAYA.
Ash-Shiddieqi. Hasbi 1974. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.
Ingatjalinus.blogspot.com/2007/04/hubungan-tauhid-dengan-ilmu-pengetahuan
yahyaandri.blogspot.com/2011/01/islam-dan-kebudayaan
sinforan.blogspot.com/2012/01/islam-dan-kebudayaan-indonesia
blackbiox.blogspot.com/2012/03/akulturasi-kebudayaan-islam
bocahsastra.wordpress.com/2012/01/06/islam-dan-kebudayaan-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar