Jumat, 16 Mei 2014

METODE-METODE IJTIHAD


MAKALAH
METODE-METODE IJTIHAD
(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqh)



Disusun Oleh:
Lina Fatinah
1123020052



JURUSAN MU’AMALAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012


 
METODE-METODE IJTIHAD
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menuntut umat Islam untuk membuka cakrawala berpikir sehingga tidak tertinggal jauh dari yang lain.Dalam hokum Islam nalar atau ra’yu merupakan suber hukum pelengkap.Dalam mencapai hokum Islam yang selaras dengan perkembangan inilah para ulama ushul fiqih mengembangkan berbagai metode. Keragaman metode disebabkan oleh penafsiran mereka terhadap nas dan juga karena perbedaan tempat dan waktu, namun semua metode ini ditujukan untuk mencapai tujuan hokum Islam, yaitu mewujudkan maslahat dan menghindarkan mafsadat.
B. RUMUSAN MASALAH
            1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
            2. Apa saja metode-metode ijtihad?
C. TUJUAN
            1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad
            2. Untuk mengetahui metode-metode ijtihad








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad dalam bahasa Arab berasal dari kata jahada yang artinya bersunggung-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha (Othman Ishak, 1980:1). Secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Al-Quran maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216).
Dalam hubungannya dalam hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada, yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Mohammad Daud Ali, 2011:116).
Hukum Islam diperoleh dari sumbernya yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, sekurang-kurangnya dilakukan dengan dua cara. Pertama, diperoleh secara langsung berdasarkan hukum yang terdapat pada ayat Al-Quran atau As-Sunnah. Cara ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran atau As-Sunah yang sudah jelas menunjukkan suatu hukum tertentu secaara qat’iy. Kedua, dilakukan dengan mengambil makna yang terkandung dalam suatu ayat Al-Quran atau As-Sunah. Hal ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran atau As-Sunnah yang bersifat dzanny dengan jalan ijtihad. Ijtihad dilakukan oleh para ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, dengan mengerahkan segenap kemampuan berfikir yang ditunjang oleh kekuatan dzikir dan doa, oleh sebab itu ijtihad menjadi sumber hukum pelengkap bagi ummat Islam.
B.     Metode-metode Ijtihad
Metode-metode yang umum dipergunakan adalah ishtihsan, al-maslahah al-mursalah, istishhab, dan ‘urf
1.      Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

2.      al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak  karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
Para  ulama fikih yang  mendukung konsep ini membagi jenis mashlahah kepada dua macam, yaitu:
A. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui syari'ah terdiri dari tiga, macam yaitu:
(1) Dharuriyyah (bersifat mutlak), yaitu kemaslahatan yang menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara [a] agama, [b] diri (jiwa, raga dan kehormatannya), [c] akal pikiran, [d] harta benda, dan [d] nasab keturunan. Kelima komponen tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau  al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).
(2) haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan-halangan. Dan apabila hal-hal tersebut tidak terwujud, maka tidak sampai menjadikan aturan hidup manusia berantakan atau kacau, melainkan hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.
(3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.
            Penempatan masalah ini sebagai suatu  sumber  hukum  sekunder, menjadikan  hukum  Islam  itu  luwes dan dapat diterapkan pada setiap kurun waktu di segala lingkungan  sosial.  Namun  perlu dicatat  ruang  lingkup  penerapan  hukum mashlahah ini adalah bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau bidang  ibadat,  karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah sendiri. Sedangkan objek kajiannya adalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash (Alquran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab fikih, demikian pernyataan Imam al-Qarafi ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah yang menerangkan bahwa mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat sesuai dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
Para  ulama fikih yang  mendukung konsep ini mencatat tiga persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).
2.  Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
3.  Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').

B. Dilihat dari segi wilayah kebutuhan, maslahah yang diakui syari'ah terdiri atas dua macam, yaitu:
[1] mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorangan) dari  setiap  manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan  setiap  manusia  dalam  hidupnya,  seperti   yang digambarkan   dalam   uraian  terdahulu  tentang  al-kulliyyat al-khams. Hal-hal ini terkait  dengan  taklif  yang  berbentuk fardhu  'ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda  (untuk makan,  pakaian  dan  tempat  tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam  tuntunan  Rasulullah saw.  (thalab-u  'l-halal  faridhatun  'ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja mencari rizki  memenuhi  kebutuhan  hidupnya sehari-hari.   Seterusnya   yang   menyangkut  mashlahah  akal pikiran, bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam hadits  lain  yang  berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi faridhatun 'ala kulli muslim). Begitu  seterusnya  menyangkut  tiap  mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan  adanya  pengakuan atas  mashlahah  dharuriyyah  yang  menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi setiap manusia.
 [2] mashlahah  'ammah  yang  menjadi kepentingan bersama masyarakat  atau  kepentingan  umum. Ini menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam  Rafi'i menjelaskan, fardhu kifayah itu adalah urusan umum yang menyangkut  kepentingan-kepentingan  (mashalih)  tegaknya urusan  agama  dan  dunia  dalam  kehidupan kita, di antaranya adalah:
[a] mencegah  madarat kekacauan, seperti persengketaan dan peperangan, kekacauan dan pertumpahan darah, serta kondisi anarkis, sehingga al-hajah ad-dharuriyyah kehidupan menjadi terancam, bahkan hancur.
[b] merealisasikan kewajiban agama, baik untuk individu maupun kelompok sosial.
[c] mewujudkan keadilan yang sempurna
Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Alquran yang terkenal dengan jam'ul Alquran. Pengumpulan Alquran ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara', tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal Alquran yang mati syahid (± 70 orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar pengumpulan Alquran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari). Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Alquran akan hilang dari permukaan dunia nanti. Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Demikian pula tidak disebut oleh syara' tentang keperluan mendirikan rumah penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama'ah, menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa'i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk kemashlahatan agama, manusia dan harta.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu belum ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan hukumnya. Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua. Sedang pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.

3.    Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab itu terbagai kepada dua macam;
i.        Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan salah satu produk hukum.
ii.       Menetapkan segala hukum yang ada pada masa sekarang, berdasarkan ketetapan hukum pada masa yang lalu. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan hukum.
Contoh istishab:
1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.
2.    Menurut firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ...
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia)." (al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.

4.    ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.



BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam menetapkan sesuatu hal pada berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa.
Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab, maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh. Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad, sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.


DAFTAR PUSTAKA

Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya.
Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Kasuwi Saiban. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar.

2 komentar:

  1. selamat sore ka mohon izin untuk mengambil beberapa artikel dari blok kka untuk tujuan penulisan tugas akhir semester ganjil.

    mohon izinnya ka

    cheers

    yulia

    BalasHapus
  2. Alhamdulillaah, ketemu juga. Makasih yah


    salam berkaspengetahuan.com

    BalasHapus