Jumat, 16 Mei 2014

RESUME BUKU ILMU USHUL FIKIH Karangan Syekh Abdul Wahab Khalaf


RESUME BUKU
ILMU USHUL FIKIH
Karangan Syekh Abdul Wahab Khalaf
Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Pengantar Ilmu Fiqih
Dosen I: Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, Lc., M.A.
Dosen II: Drs. Didi Sumardi, M.Ag.


Disusun oleh:
Lina Fatinah
1123020052
Kelas : I/MUA/B



FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012





PENDAHULUAN

Ilmu fiqih menurut istilah syar’i yaitu ilmu dengan hukum-hukum syar’i amaliah yang dipraktekan dan dikemukakan secara mendetail atau himpunan hukum syar’i amaliah diuraikan secara terperinci. Para ulama telah membuat suatu ketetapan bahwa dalil-dalil yang dipergunakan terhadap hukum-hukum syar’i yang bersangkut dengan amal perbuatan itu dikembalikan kepada empat hal, yaitu Al-Quran, sunnah, ijma dan kias. Sumber pertama yaitu Al-Quran, kemudian sunnah menafsirkan apa yang belum jelas, mengkhususkan yang umum, mengaitkan yang muthlak, untuk menjelaskan persoalan dan menyempurnakannya.
Ushul fikih menurut istilah syari’at ialah ilmu, peraturan-peraturan dan pembahasan-pembahasan yag mana dengan itulah orang sampai mempergunakan hukum-hukum syar’i amaliah (yang bersangkut dengan amal perbuatan) yang menunjukkan secara terperinci atau himpunan undang-undang dan pembahasan yang menyampaikan orang untuk mempergunakan hukum-hukum syari’at amaliah yang menunjukkannya secara terperici.
Maudhu’ yaitu judul pembahasan dalam ilmu fiqih, yaitu perbuatan mukallaf (orang yang sudah mampu memikul tanggung jawab hukum) agar dapat memikul apa yang ditetapkan syari’at terhadapnya.
Maudhu’ pembahasan dalam ilmu ushul fikhi yaitu dalil syar’i kulli agar dapat ditetapkan dengannya hukum kulli. Orang melakukan pembahasan dalam masalah kias yang bersangkut dengan hujah. Masalah a’m dan apa-apa yang disangkutkan kepadanya dan masalah amat dan apa yang ditunjukkan kepadanya. Untuk ini dapat dikemukakan contoh-contoh yang jelas.
Dalil itu berbentuk umum, yang dalam pelaksanaannya secara berangsur-angsur mengarah kepada juz-iyat. Umpamanya, amar (perintah), nahi (larangan), a’m (berbentuk umum), ijma’ sharih (terang-terangan), ijma’ sukuti (secara diam-diam). Kias itu ada yang dinashkan kepada sebabnya dan ada pula kias itu yang mengambil kesimpulan dari sebabnya. Amar kulli itu meliputi seluruh sighat yang terdapat pada sighat amar. Sighat nahi itu dibawahnya melingkupi seluruh sighat yang terdapat pada sighat nahi. Amar itu adalah dalil kulli. Nash yang terdapat pada sighat nahi itu adalah dalil juz-i.
Dalil kulli itu adalah semacam a’m dari dalil, melingkupi beberapa bagian seperti : wajib, haram, syah, dan batal. Wajib itu adalah hukum kulli yang padanya itu meliputi wajib menepati janji, wajib menjadi saksi dalam pernikahan, dan sebagainya. Haram itu adalah hukum kulli yang meliputi haram berzina, haram mencuru dan haram apa saja yang diharamkan.
Tujuan dan maksud ilmu fikih yaitu menerapkan hukum-hukum syar’i terhadap perbuatan-perbuatan orang. Fikih yaitu tempat kembali hakim dalam mengadili perkara dan mufti dalam berfatwa, tempat kembali bagi mukallaf untuk mengetahui hukum syar’i dan apa yang bersumber daripadanya, perkataan dan perbuatan.
Tujuan maksud dari ushul fikih yaitu mempraktekkan undang-undang dan melakukan penyelidikan-penyelidikan untuk menunjukkan terperinci supaya sampai kepada hukum syar’i yang menunjukkan kepadanya. Maka dengan qawa’id dan pembahasan itulah orang memahami nash-nash syar’i.
Dengan undang-undang dan pembahasan itulah orang memahami apa-apa yang disimpulkan oleh imam mujtahid, dan menimbang antara jalan pemikiran yang berbeda-beda dalam segi hukum tentang suatu peristiwa. Memahami hukum terhadap bentuknya dan menimbang diantara hukum yang berbeda-beda itu. Hal ini tidak mungkin kecuali dengan berdiri di atas dalil hukum dan minta bantuan hukum dari segi dalilnya. Hal ini tidak mungkin kecuali dengan ilmu ushul fikih. Inilah yang menjadi dasar fikih dari segi membanding-bandingkan.
Timbul hukum fikih itu bersamaan dengan timbulnya islam. Islam itu adalah himpunan dari akidah, ibadat dan hukum-hukum yang bersangkut dengan perbuatan. Sebenarnya hukum ini telah ada di zaman Rasulullah SAW. Hukum itu terambil dari apa yang terdapat dalam Al-quran dan juga hukum bersumber dari Rasul berupa fatwa dalam suatu peristiwa atau hukum yang dijatuhkan dalam suatu sengketa atau jawaban dari pertanyaan. Himpunan hukum fikih itu dalam perkembangannya pertama kali dibentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasul, bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.
Ilmu usul fikih ini baru muncul yaitu pada abad kedua Hijrah. Karena pada abad pertama, orang belum membutuhkannya. Rasul berfatwa dan menjatuhkan hukuman yaitu dengan wahyu yag diterimanya dari Allah yaitu Al-Quran dan dengan yang mengikutinya yaitu As-sunnah dan dengan ijtihadnya sendiri. Jadi, ketika itu Rasul belum membutuhkan ushul dan belum membutuhkan undang-undang dan belum mengambil kesimpulan-kesimpulan. Para sahabat berfatwa dan menjatuhkan hukuman yaitu dengan nash-nash yang mereka pelajari dengan bahasa Arab tanpa membutuhkan tata bahasa. Dengan inilah mereka memahami nash-nash itu.
Orang yang mula-mula membukukan undang-undang ilmu ini dan pembahasannya itu dikumpulkan tersendiri menjadi susunan yang kuat, tiap dalil-dalil yang dikemukakanya itu dilengkapi dengan bukti-bukti yang lengkap dalam bentuk penyelidikan ialah Imam Muhammadabi Idris As Syafi’i, meninggal pada tahun 204 Hijrah. Dia menulis risalah yang bersangkut dengan ilmu ushul ini. Diriwayatkan oleh teman-temannya sendiri, Ar Rabi’al Muradi. Kemudian ulama menyusun ilmu ini. Sedangkan jalan yang ditempuh oleh ulama Hanafi adalah jalan lain.
Adapun ulama-ulama kalam, jalannya lain. Karena mereka itu menguatkan peraturan ilmu ini. Mereka membahas, meneliti, menyelidiki dan menetapkan apa-apa yang mereka kuatkan dengan bukti-bukti tersebut. Hujah yang mereka kemukakan tentang peraturan ini tidak dibicarakan penjang lebar terhadap apa yang disimpulkan oleh imam-imam mujtahid dalam segi hukum dan tidak diikatkan dengan furu’ (cabangnya). Terhadap apa yang dikuatkan oleh akal maka di sanalah berdirinya bukti-bukti. Itulah dia usul syar’i.
Kebanyakan dari mereka ini adalah ahli-ahli yang termasyhur mazhab syafi’i dan maliki. Kitab ushul yang masyhur yang disusun orang berdasarkan metode ini ialah kitab Al-mushafa oleh Abu Hamid Al-Ghozali As Syafi’i, meninggal pada ahun 635 Hijrah. Kitab Al-Ahkam oleh Abu Hasan Al Amadi As Syafi’i, meninggal pada tahun 631 Hijrah. Kitab Al Minhaj oleh Baidhawi As Syafi’i, meninggal pada tahun 675 hijrah, dan yang paling bagus syarah (tafsir) Al Azanawi.
Ulama Hanafi juga jalannya berbeda. Karena mereka menepatkan peraturan itu. Pembahasan-pembahasan yang bersangkut dengan ushul (pokok atau yang menjadi dasar dalam ushul fiqih) menurut pendapat mereka, imam-imam mereka lah yang membina ilmu ini berasarkan ijtihad mereka.



























BAB I
DALIL-DALIL SYARIAT

Dalil dalam bahasa Arab artinya orang yang menunjuki kepada siapa saja, baik hadiah (apa yang dapat diserap oleh panca indera), maupun ma’nawi (yang berada dalam jiwa) tentang baik dan buruk. Adapun artinya menurut istilah ushul yaitu apa yang berdasarkan pandangan yang benar terhadap hukum syar’i yang berkenaan dengan perbuatan atas jalan qath’i (pasti) atau dzan (persangkaan). Menunjukkan dasar-dasar hukum, tempat pengambilan bagi syar’i, lafadz-lafadz yang mutaradif (sinonim) yang artinya sama.
Ada pula yang mengartikan dalil itu apa-apa yang diperlukan oleh syar’i yang berkenaan dengan amal perbuatana secara pasti.  Namun, yang masyhur dalam istilah ushul, dalil artinya apa yang dipergunakan daripadanya oleh hukum syar’i yang berkenaan dengan mal perbuatan secara mutlak.

Dalil Syar’i dengan Ijma
Telah ditetapkan dengan suatu ketetapan bahwa dalil syar’i yang dipergunaan oleh hukum amaliah itu dikembalikan kepada empat hal yaitu Al-Quran, sunnah, ijma, dan kias.
Bila terdapat dasar hukum yang lain harus dikembalikan kepada dasar hukum yang empat itu. Ulama-ulama kenamaan belum sependapat selain dari yang empat itu dijadikan hukum. Ada di antara Ulama itu yang berpendapat bahwa keempat dasar hukum itu hanya untuk hukum syar’i dan adapula di antara mereka itu yang menentang, yang masyhur mengenai dasar hukum itu adalah enam perkara, yaitu :
1.      Istihsan
2.      Muslahah marsalah
3.      Al-Istish-hab
4.      Al-Arfu
5.      Mazhab sahabat
6.      Syari’at yang sebelum kita
Kemudian dalil syar’i dijadikan sepuluh. Empat diantaranya telah disepakati untuk dijadikan dalil, dasar hukum. Yang enam lagi masih terdapat perbedaan pendapat.

1.      AL-QURAN
Al-Quran adalah perkataan Allah yang diturunkan oleh Ruhul Amin ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafadz bahasa Arab berikut artinya, supaya menjadi hujjah bagi Rasulullah SAW bahwa dia adalah seorang utusan Allah SWT, menjadi undang-undang dasar bagi orang-orang yang mendapat petunjuk dengan petunjuk Allah.
Di antara keistimewaan Al-Quran itu ialah lafadz dan maknanya dari Allah SWT, lafadz-lafadz berbahasa Arab itulah yang diturunkan Allah ke dalam hati nabi. Kerja Rasul itu tidak lain selain dari meneruskan dan menyampaikan. Dari sinilah bercanang-canang sebagai berikut :
1.      Apa yang diilhamkan Allah kepada Rasul itu berupa makna-makna, bukan diturunkan berbentuk lafadz-lafadznya.
2.      Menafsirkan surat atau ayat dengan lafadz bahasa Arab.
3.      Terjemah surat atau ayat dengan bahasa Asing (yang bukan bahasa Arab).
Di antara keistimewaan Al Quran itu ialah perpindahannya itu jelas, terang.
Bukti bahwa Al Quran itu adalah hujah terhadap orang dan hukum-hukum Al- Quran itu merupakan undang-undang yang wajib bagi orang mengikutnya yaitu datangnya dari Allah, berpindah kepada orang dari Allah dengan jalan yang qath’i, tidak diragukan tentang sahnya itu.

Arti a’jaz dan rukun-rukunnya
A’jaz dalam bahasa arab artinya lemah, itu dibangsakan kepada lainnya dan tetap demikian.
Jangan memantapkan a’jaz, artinya dia tetap tidak berdaya terhadap lainnya, kecuali bila cukup mempunyai tiga hal.
Pertama, bertanding. Artinya minta berlomba, bertempur dan menyanggah.
Kedua, terdapat keinginan yang membawa sikap bertanding itu kepada perlombaan, perkelahian dan penyanggahan.
Ketiga, meniadakan yang menghalangi perlombaan itu.
Al-Quran itu terdiri dari enam ribu ayat lebih. Melihat apa yang dimaksud dengan takbir, dengan kata-kata yang bermacam-macam dan metode yang bermacam-macam.judul-judulnya itu banyak yang berkaitan dengan akidah, akhlak dan menurut penyelidikan, ada yang bersangkut dengan segala yang ada dalam segi kemasyarakatan dan perasaan hati. Tidak terdapat dalam kata-katanya itu hal-hal yang tidak berfaedah.
Kedua, ayat-ayat yang tadinya tertutup sekarang disingkapkan oleh ilmu menurut penyelidikan ilmiah.
Menurut kenyataan, orang sekaranglah yang sampai kepada hakikat ilmu karena berdasarkan kepada ayat Al Quran. Pembahasan ilmiah sekarang telah menyingkapkan rahasia segala yang ada di alam ini.
Ketiga, memberitahukan tentang kejadian-kejadian yang tidak diketahui orang. Al Quran memberitahukan dari hal kejadian-kejadian di masa yang akan datang, tidak seorang pun yang mengetahuinya.
Al Quran menceritakan kisah bangsa-bangsa yang telah lenyap. Tidak ada orang yang mengetahui kisahnya itu. Ini merupakan suatu dalil yang menunjukkan bahwa Al Quran itu adalah dari Allah yang olehnya tidak ada yang tersembunyi di masa datang, masa yang lalu dan masa yang akan datang.
Ada tiga macam hukum yang terdapat dalam Al-Quran, yaitu :
Pertama, hukum i’tiqadiah, yaitu yang bersangkut apa-apa yang diwajibkan kepada mukallaf tentang i’tiqadnya kepada Allah, Malakat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat.
Kedua, hukum khulqiah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang diwajibkan kepada mukallaf, akan meningkatkan moral, budi pekerti, adab sopan santun, dan menjauhkan diri dari sikap yang tercela.
Ketiga, hukum amaliah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang bersumber dari perkataan, perbuatan, perjanjian, dan segala macam tindakan.
Hukum amaliah itu dalam Al-Quran mengatur dua macam hal .Pertama, hukum ibadat, kedua hukum muamalat. Hukum muamalat bermacam-macam:
1.      Hukum ahwalul syahsyiah, yaitu yang bersangkut dengan keluarga. Yang dimaksud ialah mengatur hubungan suami isteri dan karib kerabat. Dalilnya dalam Al Quran, kira-kira tujuh puluh ayat.
2.      Hukum mahduniah, yaitu yang bersangkut dengan muamalah pribadi, tukar-menukar dalam jual beli, upah-mengupah, rungguan, jaminan, perkongsian. Bertujuan mengatur hubungan pribadi yang bersangkut dengan harta benda.
3.      Hukum jinayah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang bersumber dari mukallaf tentang kejahatan dan apa yang sepatutnya menerima sanksi hukuman. Tujuannya ialah memelihara kehidupan orang, hartanya, nama baiknya dan hak-haknya. Dalilnya dalam Al-Quran kira-kira tiga puluh ayat.
4.      Hukum murafi’at, yaitu yang bersangkutan dengan hukum, saksi dan sumpah. Tujuannya ialah mengatur keberanian untuk mewujudkan keadilan di antara orang banyak. Dalilnya dalam Al Quran kira-kira tiga belas ayat.
5.      Hukum dusturiah, yaitu apa yang bersangkut dengan peraturan hukum dengan asal-usulnya. Tujuannya ialah untuk membatasi hubungan pemerintah dan warga negara. Menetapkan hak-hak pribadi dan masyarakat. Dalilnya dalam Al Quran, kira-kira ada sepuluh ayat.
6.      Hukum dauliah, yaitu yang bersangkut dengan pergaulan Negara islam dengan yang bukan islam, dan pergaulan orang yang bukan muslim di dalam Negara islam. Tujuannya yaitu membatasi hubungan Negara-negara islam dengan negara-negara lain di waktu damai dan waktu perang. Dalilnya dalam Al Quran kira-kira dua puluh lima ayat.
7.      Hukum iqtishadiah wat maliah yaitu yang bersangkut dengan hak orang meminta dan yang diharamkan dalam hal harta kekayaan, mengatur pemasukan dengan pegeluaran. Tujuannya ialah mengatur yang menyangkut harta antara orang kaya dan orang miskin. Dalinya dalam Al-Quran kira-kira ada sepuluh ayat.
Perlu diketahui bahwa dalil ayat Al-Quran, ada yang qathi’ dan ada pula yang dzan.

2.      SUNNAH
Sunah adalah apa yang bersumber dari rasul, perkataan, atau perbuatan atau ketetapannya.
Macam-macam sunnah:
1.      Sunah qauliah adalah hadis-hadis yang diucapkan Nabi Muhamad SAW, contoh hadis Nabi tentang jangan merusak dan jangan menyusahkan atau tentang binatang laut itu halal.
2.      Sunah fi’liah adalah perbuatan–perbuatan Nabi Muhamad SAW, seumpamanya mengerjakan sembahyang  yang lima kali sehari semalam, dengan cara-cara dan rukun –rukun.
3.      Sunah takririah adalah apa yang ditetapkan Rasullulah SAW,dari apa yang bersumber dari sebagian sahabat, berupa perkataan, perbuatan-perbuatan  dan berdiam diri saja dan tidak mengingkarinya atau dengan menyetujuinya dan menyatakan kebaikan-kebaikannya. Maka diambil pelajaran dari ketetapan ini, dan menyetujui  perbuatan yang bersumber dari Rasul itu sendiri.

Bukti-bukti terhadap Hujah Sunnah itu Banyak
Pertama, nash Al-Quran.
Kedua, ijma’ sahabat, diwaktu Nabi masih hidup dan sesudah wafatnya, wajib mengikuti sunahnya.
Ketiga, di dalam Al-Quran itu terdapat hal-hal yang diwajibkan kepada orang untuk menjalankannya. Tapi Al-Quran itu tidak menguraikan dengan terperinci tentang hukum-hukumnya dan bagaimana cara-caranya.
Menisbahkan sunnah kepada Al-Quran itu dari sudut hukum yang terdapat dalam Al-Quran. Maka jangan memakai salah satu drai tiga pertama.
1.      Adakalanya sunah itu merupakan suatu ketetapan dan menguatkan hukum yang terdapat di dalam Al-Quran.
2.      Adakalanya sunah itu merupakan engsel pintu dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran itu secara mujmal (global).
3.      Adakalanya sunah itu menetapkan hukum dan membuat hukum. Karena ada dalam beberapa hal Al-Quran itu bersikap sukut (tidak mengaturnya).

Pembagian sunah
Dengan mengambil Itibar dari sunah Rasulullah, maka sunah dapat dibagi atas tiga bagian:
1.      Sunah mutawatir yaitu apa yang dirawikan dari Rasul itu, semua orang sepakat mengatakan hadis ini tidak bohong, karana orang yang merawikannya banyak  semuanya dapat dipercaya.
2.      Sunah masyhur, yaitu orang yang merawikan hadis dari Rasullulah SAW itu hanya seorang, atau dua orang, atau tiga orang atau lebih tapi belum sampai  ke batas mutawatir.
3.      Sunah uhad.

Perbedaan sunah mutawatir, sunah masyhur dan sunah uhad :
Sunah mutawatir, tiap-tiap lingakaran (rombongan ) orang dalam silsilah sanadnya itu berturut-turut, sejak permulaan di terimanya dari rasul sampai kepada kita. Adapun sunah masyhur halaqah pertama, tidak semua sanadnya itu mutawatir. Tapi yang menerima dari Rasul itulah hanya seorang, atau dua orang, atau jama. Namun jamanya itu sebelum sampai jama mutawatir. Seluruh halaqohnya merupakan jama. Sedangkan sunat uhad yang merawikanya itu hanya seoran , atau dua orang, atau jama, tidak sampai ke batas mutawatir, yang merawikan berikutnya dan berikutnya itu sama saja.
Perkataan dan perbuatan Rasulullah yang tidak disyari’atkan
1.      Apa yang bersumber dari Nabi itu merupakan tabi’at manusia. Seperti duduk, berdiri, berjalan dan sebagainya. Karena, itu bukan bersumber dari risalahnya.
2.      Apa yang bersumber dari itu berupa pengetahuan manusia, kepintaran dan percobaan-percobaan dalam masalah duniawi seperti berdagang, bertani dan sebagainya.
3.      Apa yang bersumber dari Rasulullah SAW berdasarkan dalil-dalil syar’i yaitu hal-hal yang khusus bagi nabi SAW.

4.      IJMA’
Ijama menurut istilah ushul fikih adalah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasul terhadap hukum syar’i .
Rukun- rukun Ijma :
1.      Pada terjadinya peristiwa itu mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
2.      Sepakat atas hukum syar’i tentang suatu peristiwa.
3.      Pada kesepakatan itu dimulai yaitu tiap-tiap mujtahid mengeluarkan pendapat terang terangan tentang suatu peristiwa.
4.      Menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum.
Hujma, Hujjah bahwa Ijma wajib diikuti dan tidak boleh berbeda dengannya.
5.    Didalam al-quran, sebagaimana diketahui Allah memerintahkan kepada orang mukmin itu harus taat kepada Allah, Rasul, dan Aulil Amri.          
(An-nisa : 59, 83, 115)
6.      Hukum yang disepakati adalah hasil pendapat mujtahid umat islam.
7.      Ijma terhadap hukum Syar’i itu tidak dapat tidak harus dibina diatas rangkaian Syariat.
Macam-macam Ijma :
Ditinjau dari sudut menghasilkan hukum maka ijma terbagi kedalam dua macam:
1.      Ijma sharih (bersih atau murni) yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa.
2.      Ijma sukuti yaitu sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan pendapatnya dengan fatwa atau memutuskan suatu perkara, dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu masalah.
Adapun ditinjau dari pihak ini, maka ijma itu ada yang qath’i dan ada yang dzan.
1.      Ijma’ qath’i, yaitu ijma’ shahih dengan pengerian bahwa hukumnya itu di qath’ikan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa dengan danya khilaf (perbedaan pendapat).
2.      Ijma’ dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma’ dzanni dengan pengertian bahwa hukumnya itu masih diragukan. Dzan itu juga kuat, tidak boleh mengeluarkan peristiwa dari lapangan yang dibentuk oleh ijtihad.

8.      QIYAS
Qiyas menurut istilah ushul fikih adalah menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya dalam hal hukum yang terdapat nash untuk penyamaaan dua peristiwa pada sebab hukum ini.
Contoh-contoh Qiyas:
 Pertama, haram hukumnya meminum khamer berdasarkan firman Allah surat (Al-maidah : 90) sebabnya ialah karena memabukkan. Maka tiap-tiap air buah yang didalamnya terdapat sebab yang sama dengan khamer dari segi hukumnya maka diharamkan meminumnya.
Kedua, peristiwa ahli waris membunuh yang mewariskan sesuatu itu oleh nash ditetapkan hukumnya.
Menurut ulama-ulama bahwa qiyas merupakan hujjah Syar’i terhadap hukum akal qiyas ini menduduki tingkat ke empat hujjah syar’i sebab apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat hukum yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu diqiyaskan kepada peristiwa yang bersamaan sebelum sanksi hukum itu dijatuhkan kepadanya.
Menurut mazhab nizamiah, zahiriah dan ada beberapa cabang dari syi’ah mengataan bahwa qiyas itu tidak boleh dijadikan hujjah syar’i terhadap hukum.
Tiap-tiap kias itu terdiri dari empat rukun, yaitu :
1.      Ashal, yaitu apa yang terdapat nash dalam hukumnya itu. Dinamakan juga : muqayas alaih, mahmul alaih, dan musyabah bih.
2.      Furu, yaitu apa yang tidak terdapat nash dalam hukumnya. Maksud menyamakannya dengan ashal pada hukumnya, dinamakan : muqayas, mahmul alaih,  musyabah.
3.      Hukum ashal, yaitu hukum syar’i, yang terdapat nash pada ashal itu, dimaksud akan menjadi hukum furu.
4.      Illat, menyifatkan sesuatu yang dibina atasnya hukum ashal, dan dibina atas wujudnya pada furu’ itu disamakan dengan ashal pada hukumnya.
Dua diantara empat rukun itu, ashal dan furu’, keduanya itu waqi’, atau keduanya amar. Salah satu dari keduanya itu menunjukkan hukumnya nash. Yang satu lagi tidak ada nash yang menunjukkan hukumnya itu.
Adapun rukun yang ketiga, yaitu hukum ashal. Di sini disyaratkan supaya dita’dikan syarat itu kepada furu’. Karena bukan setiap-tiap hukum syar’i itu ditetapkan dengan nash dalam suatu masalah. Adalah syah menta’dikan dengan perantaraan kias kepada masalah lain. Malah disyaratkan pada hukum dita’dikan kepada furu’ dengan kias. Syarat-syaratnya adalah :
Pertama, hukum syar’i amaliah itu ditetapkan dengan nash.
Kedua, adanya hukum pokok.
Ketiga, hukum ashal itu tidak dikhususkan dalam dua hal. Yaitu apabila illat hukum itu tidak menggambarkan adanya pada selain ashal dan ada dalil yang menunjukkan kekhusuan hukum ashal seperti hukum yang menunjukkan dalil adanya ketentuan khusus bagi Rasul.
Adapun rukun yang keempat, yaitu illat kias. Inilah rukun yang terpenting, karena illat kias itu merupakan asas.
Illat yaitu menyifatkan sesuatu kepada dasar, dan di atasnya dibina hukumnya dan dengannya itu diketahui adanya hukum itu pada furu’.
Illat hukum yaitu perintah zahir yang dibina hukum di atasnya dan mengikat wujud dengan adam. Karena pembinaan atasnya itu mengikat dengannya, maka orang akan membenarkan tasyri’ hukum.
Syarat-syarat illat ada empat :
1.       Sifatnya itu jelas.
2.       Adanya sifat terkuat.
3.      Sifatnya itu sesuai.
4.      Yang disifatkan kepada ashal itu tidak boleh pendek.
Pembagian illat :
Bila ditinjau dari segi i’tibar (pelajaran yang dapat diambil daripadanya) syari’at illat itu dibagi atas wujudnya dan adamnya.
Dari pihak i’tibar syariat bagi penyesuaian itu, ahli-ahli ushul membagi sifat yang bersesuaian ini kepada empat macam, yaitu : penyesuaian Al-muatsar, penyesuaian Al-Mabaim, Penyesuaian Al-Mursal, dan penyesuaian Al-Malaghi. Keterangan dari keempat pembagian tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Al-manasib Al-Muatsir, yaitu menyifatkan sesuatu yang sesuai, disusun oleh syar’i hukum atas kesepakatan dan ditetapkan dengan nash, ijma’ atau i’tibar dengan ‘ain illat bagi hukum yang disusun atas kesepakatan.
2.      Al-Manasib Al-malaim, yaitu tindakan yang sesuai hukum yang disusun oleh syar’i sesuai kesepakatan.
3.      Manasib mursal, yaitu washaf yang tidak disusun oleh syar’i, yang merupakan hukum atas kesepakatan.
4.      Manasib malgha, yaitu washaf yang menjelaskan bahwa dalam membina hukum, perlu dimantapkan kemashlahatan.
Masalik al-illat (jalan-jalan yang akan menyampaikan kepada ma’rifatnya) yang masyhur, yaitu :
1.      Nash, apabila nash Al Quran dan sunnah itu menunjukkan bahwa illat hukum ialah washaf ini.
2.      Ijma
3.      Sabrun dan taqsim. Sabrun artinya percobaan (testing). Taqsim artinya mempersempit sifat-sifat, karena adanya illat dalam ashal.

5.      ISTIHSAN
Istihsan menurut bahasa ialah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Menurut istilah ushul yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari kias jalli (jelas) kepada jias khafi (yang tersembunyi) atau dari hukum kulli kepada hukum istisnai.
Berdasarkan pengertian tersebut, istihsan terbagi ke dalam dua bagian :
1.      Kias hafi itu menguatkan kias jalli.
2.      Istisna juz-iah itu dari hukum kulli dengan dalil.
Kias zahir, peristiwa ini dihubungkan antara yang mendakwa dan yang membantah. Di sini dibebankan bukti kepada yang mendakwa dan sumpah bagi yang mengingkari.
Kias khafi, peristiwa ini dihubungkan kepada setiap peristiwa yang dihadapi hakim. Antara kedua belah pihak itu saling mendakwa.
Menurut ahli-ahli fiqih mazhab hanafi, sisa yang dimakan oleh binatang buas seperti burung garuda, burung gagak, sekalipun suci dan baik namun dianggap najis secara kias.
Bentuk kias, sisa yang dimakan oleh binatang yang haram dagingnya itu seperti binatang buas, mengikut kepada hukum dagingnya.
Bentuk istihsan, burung buas itu haram dagingnya. Selain itu, air ludah yang keluar dari dagingnya bukan bercampur dengan sisa yang dimakannya itu. Maka dalam hal ini dianggap najis sisa-sisa barang yang dimakannya itu.

6.      MASHLAHAT MURSILAH
Mashlahat mursilah artinya mutlak. Dalam istilah ushul yaitu kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i hukum untuk ditetapkan dan tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i untuk mengi’tibarkannya atau membatalkannya. Dinamakan mutlak karena tidak dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang membatalkannya.
Menurut ulama-ulama terkemuka, mashlahat mursilah itu merupakan hujah syari’ah, di atasnya itu dibina syari’at hukum.
Dalil-dalil yang dikemukakan orang dalam masalah ini ada dua.
Pertama: memperbaharui kemashlahatan masyarakat dan tidak mengadakan larangan-larangan.
Kedua: ketetapan tasyri’ sahabatdan tabi’in, begitu juga imam-imam mujtahid. Nyatanya mereka mensyari’atkan hukum untuk menetapkan secara mutlak kemashlahatan masyarakat.
Syarat-syarat untuk dijadikan hujjah :
1.      Mashlahah hakikat, bukan masalah wahamiah (angan-angan).
2.      Kemaslahatan umum, bukan kemashlahatan perorangan.
3.      Tasyri itu tidak boleh bertentangan bagi kemaslahatan hukum ini atau prinsip-prinsip yang ditetapkan dengan nash atau ijma.
Sebagian ulama mengatakan bahwa mashlahah mursilah yang tidak memakai syar’i dengan penjelasannya dan tidak pula dengan membatalkannya maka di sini tidak dibina syar’i padanya.
Ada dua dalil yang dikemukakan orang.
Pertama, syar’i itu memelihara setiap kemashlahatan orang berdasarkan nash dan apa yang dikemukakan oleh kias.
Kedua, tasyri’ itu dibina di atas mashlahah mutlak.

7.      AL-ARFU
Al- arfu yaitu apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang, berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkan. Al-arfu dinamakan juga adat.

Macam-macam Al-arfu
Al-arfu terdiri dari dua macam. Arfu yang shahih dan arfu yang  fasid. Arfu yang shahih yaitu apa yang saling diketahui orang, tidak menyalahi dalil syariat, tidak menghalalkan hal yang haram dan tidak membatalkan yang wajib.
Adapun arfu fasid yaitu apa yang saling dikenal orang, tapi berlainan dari syari’at, atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan yang wajib.

8.      ISHTISH-HAB
Ishtish-hab menurut bahasa yaitu pelajaran yang terambil dari sahabat Nabi SAW. Sedangkan menurut istilah ushul yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan itu.
Istish-hab itu lain dari dalil syar’i yang menjadi dasar bagi mujtahid untuk mengetahui hukum, tentang apa yang dikemukakan kepadanya. Ahli ushul mengatakan selain dari lingkungan fatwa dan hukum terhadap sesuatu itu maka tetap demikian adanya sebelum ada dalil yang mengubahnya.

9.      SYAR’I MAN QABLANA
Al-Quran dan sunah sahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang disyari’atkan Allah kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan telah disampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan  yang wajib kita ikuti.
Menurut mazhab Hanafi begitu juga ada beberapa orang dari mazhab maliki dan syafi’i mengatakan syari’at yang kita punyai itu harus kita ikuti dan kita praktekkan seperti apa yang dikisahkan kepada kita.
Menurut sebagian ulama, sebenarnya tidak ada syari’at yang kita punyai, karena syari’at kita ini mencabut syari’at yang terdahulu. Kecuali bila terdapat dalam syari’at kita apa-apa yang ditetapkannya. Karena syari’at kita menasikhkan syari’at yang dahulu, yaitu apa saja yang berlainan daripadanya.




10.  MAZHAB SAHABAT
Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jemaah sahabat. Mereka itu mengetahui fiqih, ilmu pengetahuan dan apa-apa yang biasa disampaikan oleh Rasul, memahami Al-quran dan hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang terjadi. Beberapa perawi dari para tabi’in merawikan dan membukukan hadits, sehingga ada diantaranya yang menulis riwayat, di samping sunah Rasulullah SAW.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perkataan para sahabat. Apa-apa yang tidak terfikir oleh rai dan akal dapat dijadikan hujah. Karena, perkataan mereka-mereka tidak disampaikan kecuali mereka sendiri mendengarnya dari Rasulullah SAW.



















BAB II
HUKUM SYARIAT

1.      HAKIM
Hakim yaitu orang yang merupakan sumber dari hukum. Tidak ada perbedaan pendapat yang mengatakan bahwa hakim itu Allah. Yang diperbedakan hanya tentang mengetahui hukum Allah SWT.  Tentang perbedaan ini maka Ulama itu dapat dibagi tiga, yaitu :
a.       Mazhab Al-Asy’ariyah, pengikut Abu Hasan Al-Asy’ary mengatakan bahwa tidak mungkin akal mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf, kecuali dengan perantaraan Rasul dan Kitab. Asas mazhab ini ialah: yang dianggap baik dari perbuatan mukallaf itu yaitu apa yang ditunjukkan oleh syar’i.  
b.      Mazhab Mu’tazilah, yaitu pengikut Washil bin Atha’. Mazhab ini beranggapan bahwa ada kemungkinan orang mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf itu dengan sendirinya, tanpa perantaraan Rasul dan Kitabnya. Asas mazhab ini ialah yang baik dikerjakan menurut pertimbangan akal, maka itulah yang baik. Begitupun dengan yang buruk.
c.       Mazhab Maturidiah, yaitu pengikut Abu Mansur Maturidi. Inilah mazhab pertengahan dan sederhana, yakni menguatkan ra’i (kemampuan berfikir).

2.      HUKUM
Hukum syar’i dalam istilah ushul yaitu pembicaraan syar’i bersangkut dengan perbuatan mukallaf. Adapun syar’i menurut istilah fuqaha yaitu berita yang melakukan pembicaraan syar’i dalam perbuatan, seperti wajib, haram, dan mubah.
Hukum syar’i terbagi dua, hukum taklify dan hukum wadh’i. hukum taklify yaitu apa yang berkehendak minta perbuatan mukallafat atau memberhentikan dari membuat atau memilih antara memperbuat dan memberhentikan. Adapun hukum wadh’i yaitu apa yang berlaku menempatkan suatu sebab bagi sesuatu atau syarat untuknya, atau yang melarang daripadanya.

Pembagian hukum taklify
a.       Wajib, yaitu apa yang diminta syar’i membuatnya dari mukallaf. Permintaan itu secara pasti. Wajib dibagi atas empat bagian.
Pertama, wajib itu ditinjau dari pihak yang melakukannya, yaitu wajib mutlak dan wajib muaqad.
Kedua, wajib itu dibagi dari pihak yang meminta untuk membayarkan, yaitu wajib ‘aini dan wajib kifa’i.
Ketiga, ditinjau dari pihak banyaknya permintaan, yaitu wajib terbatas dan wajib tidak terbatas.
Keempat, wajib mu’ayyan dan wajib mukhayar.
b.      Mandub, ialah apa yang diminta oleh syara’ itu diperbuat oleh mukallaf, tapi tidak dipastikan. Mandub terbagi dua.
Pertama, mandub yang diminta memperbuatnya atas bentuk ta’kid (menguatkan), yaitu tidak berdosa meninggalkannya tapi berhak mendapat celaan dan cercaan.
Kedua, mandub zaid, yaitu yang sunat ini dipergunakan untuk kesempurnaan-kesempurnaan bagi mukallaf.
c.       Haram, yaitu apa yang diminta oleh syar’i menghentikan perbuatannya, permintaan secara pasti.
d.      Makruh, yaitu apa yang diminta oleh syar’i dari mukallaf itu menghentikan pekerjaannya. Permintaan itu tudak pasti.
e.       Mubah, yaitu apa-apa yang disuruh pilih oleh syar’i kepada mukallaf antara memperbuat dan meninggalkannya.

Pembagian hukum wadh’i
a.       Sebab, yaitu apa yang dijadikan alamat oleh syar’i terhadap musababnya, dan mengikat adanya musabab itu dengan wujudnya adam (tidak adanya) dengan adamnya.
b.      Syarat, yaitu apa yang terhenti wujud hukum itu atas wujudnya, dan tidak bercerai dari adamnya itu adam hukum. Yang dimaksud dengan wujudnya itu ialah syar’i yang disusun hadits di atasnya.
c.       Mani’, yaitu apa yang tidak terpisah dari adanya dan tidak adanya hukum. Dalam ushul fiqih yaitu perintah di samping menetapkan sebab dan mencukupi syarat-syaratnya.
d.      Rukhsah dan azimah. Rukhsah yaitu apa yang disyariatkan Allah dari hal hukum–hukum yang meringankan kepada mukallaf dalam hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan. Ulama hanafi membagi rukhsah ini menjadi dua bagian, rukhsah tarfiah dan rukhsah isqath. Sedangakn azimah yaitu apa yang disyari’atkan Allah berasal dari hukum-hukum umum yang tidak dikhususkan dengan hal selain dari hal dan tidak pula mukallaf selain dari mukallaf.
e.       Sah dan batal.

3.      MAHKUM FIH
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar’i.
Syarat sahnya taklif itu dengan perbuatan, disyaratkan dalam perbuatan yang syah menurut syari’at itu, taklif itu memiliki tiga syarat yaitu:
Pertama, diketahui bahwa mukalaf itu mempunyai ilmu yang sempurna, sehingga mukallaf itu sanggup melaksanakan menurut apa yang diminta kepadanya.
Harus pula diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan ilmu mukallaf ialah apa-apa yang dipikulkan kepada mukallaf dan dengan itulah dia mengetahuinya. Bukan mengetahuinya itu dengan perbuatan. Apabila orang itu baligh dan berakal, dia sanggup mengetahui hukum-hukum syar’i dengan sendirinya atau bertanya kepada orang-orang yang mengetahuinya, maka orang itu sudah dianggap orang yang mengetahui tentang apa yang harus dipikulnya tanggung jawab tentang hukum. Dia harus mematuhi hukum-hukum dan wajib melaksanakan perintah-perintah yang terdapat dalam hadits Nabi SAW dan diterima udzur karena bodohnya mengatakan tidak tahu. Untuk ini fuqaha mengatakan di Negara-negara Islam tidak diterima udzur bodoh alasan mengatakan tidak tahu tentang hukum syar’i. Kalau sekiranya yang menjadi syarat taklif itu yaitu ilmu mukallaf, maka perintah itu tidak akan jalan.
Kedua, hendaklah taklif itu bersumber dari orang yang memunyai kekuasaan taklif (paksaan).
Ketiga, perbuatan mukallaf itu adalah memungkinkan. Dalam hal ini si mukallaf itu sanggup memperbuatnya atau menahan diri terhadap perbuatan itu. Dan yang menjadi ciri dari syarat ini adalah :
1.      Tidak syah menurut syar’i, paksaan itu terhadap hal-hal yang mustahil.
2.      Tidak syah menurut syari’at memaksa si mukallaf mengerjakan lain dari pekerjaannya, apa yang tidak sanggup dikerjakannya.

4.      MAHKUM ALAIH
Mahkum alaih yaitu perbuatan mukallaf yang menyangkutkan hukum syar’i, dan disayaratkan si mukallaf itu untuk mensyahkan taklifnya menurut syari’at atas dua syarat.
Pertama, hendaklah dia mampu memahami dalil taklif bahwa dia mampu memahami undang-undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-quran dan sunnah.
Kedua. Dia ahli tentang tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya itu. Ahli menurut bahasa yaitu baik tindakannya. Dikatakan bahwa si polan itu ahli untuk melihat pendirian. Artinya, baik penglihatannya itu. Adapun menurut istilah ushul, ahli itu terbagi dua. Ahli wajib dan ahli menjalankannya. Ahli wajib, yaitu baik tindakan seseorang itu karena dia tetap mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban yang diwajibkan kepadanya.
Adapun keahlian bertindak yaitu baiknya tindakan mukallaf. Menurut syari’at ialah perkataan dan perbuatan-perbuatannya. Dari sinilah bersumbernya perjanjian atau tindakan-tindakan lainnya di’itibarkan sebagai syari’at.
Seseorang itu dinisbahkan kepada keahlian yang diwajibkan itu mempunyai dua hal. Pertama, ada orang yang ahli wujub yang dipunyai itu kurang. Setelah diperbaiki maka tetap baru tetap mempunyai hak. Contohnya yaitu janin yang masih berada dalam perut ibunya.
Kedua, ada orang yang ahli wujub yang dipunyai itu sempurna. Apabila baik orang ini maka dia tetap mempunyai hak-hak dan ada kewajiban yang diwajibkan kepadanya.
Keadaan seseorang dinisbahkan kepada keahlian bertindak
Orang yang dinisbahkan kepada keahlian bertindak itu mempunyai dua hal, yaitu :
Pertama, pada mulanya dia tidak ahli bertindak atau sudah hilang. Seperti anak-anak dan orang gila.
Kedua, ada pula orang yang kurang ahli bertindak yaitu orang yang telah mumayyiz tapi belum baligh, contohnya anak-anak.

















BAB III
UNDANG-UNDANG USHUL LUGHAWI

Tidak diperbolehkan menurut undang-undang dan tidak dibenarkan oleh akal fikiran syar’i menyusun undang-undang atau peraturan-peraturan bahasa dan mengharap supaya orang memahami lafadz-lafadz dan kata-katanya itu. Menurut metode-metode yang berlaku dan mempergunakan bahasa lain. Syarat syahnya taklif undang-undang itu ialah sesuai dengan kadar kesanggupan mukallaf untuk memahaminya.
Atas inilah maka qawa’id memberi baris huruf yang ditetapkan oleh ahli ushul fiqih yaitu dengan jalan menunjukkan lafadz atas makna (arti) dan mempergunakan sighat yang umum dipakai. Dan apa yang menunjukkannya kepadanya itu lafadz a’m, mutlak dan musytarak.  

Kaidah Pertama (Cara Menerangkan Hadits)
Nash syar’i atau undang-undang wajib diamalkan dengan apa yang telah difahami tentang kata-katanya itu, isyaratnya, dalilnya atau hukum-hukumnya. Yaitu setiap apa yang difahami dari nash itu dengan salah satu metode yang empat dari nash itu merupakan hujjah terhadapnya.
Pengertian secara ijmal untuk kaidah iji ialah bahwa syar’i atau undang-undang yang mengandung arti banyak, dengan banyaknya jalan-jalan yang menunjukkan.
Yang dimaksud dengan kata nash ialah sighat yang terbentuk dari mufradat dan kalimat.
Yang difahamkan dari isyarat nash ialah pengertian yang tidak cepat ditangkap lafadz-lafadznya.
Maksud dari apa yang difahami dari kehendak nash itu ialah arti untuk meluruskan perkataan itu, tidak lain selain dengan mentakdirkannya.



Kaidah Kedua (Mafhum Mukhalafah)
Nash syar’i tidak mempunyai dalil terhadap hukum dalam hukum mukhalafah ini. Ada nash syar’i yang menunjukkan hukum pada tempat yang dikaitkan dengan suatu kait. Pengertian secara global kaidah ini adalah bahwa nash syar’i tidak mempunyai dalil terhadap hukum apa yang merupakan hukum mukhalafah bagi manthuqnya. Karena tidak ada yang menunjukkan dengan salah satu dari dalil yang empat. Manthuqnya yang diharamkan itu ialah darah tertumpah. Beginilah mafhum mukhalafah dari manthuqnya.
Mafhum dibagi oleh kaitan yang dikaitkan oleh manthuq nash atas lima macam, yaitu, mafhum washaf, mafhum ghayah, mafhum syarat, mafhum adad, dan mafhum liqab.

Kaidah Ketiga (Wadhihud Dalalah)
Wadhihud adalah dari nash, yaitu apa yang menunjukkan maksudnya dengan sighat itu sendiri, tanpa dimasuki oleh urusan luar. Jika dia mengandung takwil dan maksudnya itu bukan maksud yang merupakan pokok dari jalannya pembicaraan, ini namanya zahir. Jika mengandung takwil, dan maksud daripadanya itu maksud dari pokok pembicaraan, namanya nash. Jika tidak mengandung takwil dan hukumnya itu menerima nasikh, namanya mufasir. Jika tidak mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima naskh, namanya mahkum.
Tiap-tiap nash wadhihud dalalah wajib beramal dengannya yang merupakan wadhihud dalalah atasnya. Tidak sah mentakwilkan apa-apa yang mengandung takwil, kecuali dengan dalil inlah kaidah ketiga.
Ahli-ahli ushul membagi wadhihud dalalah itu kepada empat begian, yaitu:
1.      Zahir, dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan maksud daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhaadap urusan luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan.
2.      Nash, dalam istilah ushul yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan dan mengandung arti takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari lafadznya dan tidak terhalang memahaminya terhadap urusan luar adalah maksud pokok dari pembicaraan. Lafadz itu diibaratkan nash terhadapnya.
3.      Mufasir, dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan dengan sendirinya atas makna yang terpisah dan terperinci. Tidak ada yang tinggal hal-hal yang mengandung sesuatu untuk ditakwilkan. Maka dari itu ada shigat menunjukkan dengan sendirinya dalil yang jelas atas pengertian yang terpisah.
4.      Muhkam, dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan atas arti yang tidak menerima pembatalan dan tidak boleh dipertukar-tukar dengan sendirinya oleh dalil-dalil nyata. Dan selain itu tidak mengandung takwil. Karena, orang yang menguraikan dan menafsirkan itu, disini tidak ada lapangannya untuk ditakwilkan.

Kaidah Keempat (Yang Bukan Wadhihud Dalalah Dan Martabatnya)
Yang bukan wadhihud dalalah dari nash yaitu apa yang tidak ditunjukkan maksudnya dengan sighat itu sendiri. Tapi terhenti maksud yang difahamkan itu terhadap urusan luar. Jika dihilangkan yang menyembunyikannya itu dengan pembahasan dan ijtihad. Dia tersembunyi dan sulit. Jika yang sembunyi itu tidak dihilangkan, selain dari menafsirkan dari syar’i itu sendiri maka dia adalah mujmal. Jika tidak ada jalan untuk menghilangkannya menurut ashal maka dia adalah mutasyabih (yang diserupakan).
Ahli-ahli ushul membagi yang bukan wadhihud dalalah ke dalam empat bagian, yaitu :
1.      Khafi, dalam ushul fiqih yaitu lafadz yang menunjukkan artinya, tapi arti ini tertutup rapat-rapat terhadap beberapa ifrad. Kesembunyiannya itu perlu untuk dilihat dan diperhatikan sungguh-sungguh.
2.      Musyakal, dalam istilah ushul ialah lafadz yang tidak ditunjukkan dengan shighatnya tentang apa yang dimaksudnya itu. Tapi tidak dapat tidak qarinah luar yang menerangkan apa maksudnya itu. Qarinah ini masih dalam pembahasan. Sebab, tersembunyi dalam persembunyiannya itu bukan dari lafadz itu sendiri tapi masih diragukan.
3.      Mujmal, dalam ushul fiqih yaitu lafadz yang tidak ditunjukkan maksudnya oleh shighatnya itu. Disini tidak terdapat qarianh yang berkenaan dengan lafadz atau hal-hal yang menerangkan, sebab tersembunyi. Dalam hal ini, ada lafadz yang tidak bertentangan. Dari mujmak ini ada lafadz yang dinukil oleh syar’i dari makna lughawi (arti menurut bahasa) dan menempatkannya bagi istilah syar’i khusus. Seperti lafadz sembahyang, zakat, puasa, haji dan riba.
4.      Musyabih, dalam istilah usul yaitu lafadz yang tidak ditunjukkan oleh lafadznya itu sendiri kepada maksud nya itu dan tidak terdapat qarianh luar yang menerangkannya. Disini syar’i dipengaruhi oleh ilmunya, bukan menafsirkannya.

Kaidah Lima : Al-Musytarak
Musytarak adalah lafadz yang memiliki banyak arti di tempat-tempat yang banyak pula, seperti lafadz tahun. Memilki arti tahun Hijrah dan tahun Masehi. Kaidah ini menerangkan lafadz-lafadz yang banyak terdapat pada nash-nash syar’i dan undang-undang hukum positif, yaitu :
a.       ‘Am adalah lafadz mempunyai satu arti. Ini ditetapkan pada ifrad-ifrad. Kebanyakan tidak melengkapi satu lafadz, jika adanya itu pada satu peristiwa. Artinya ditinjau dari sudut bahasa, tidak menunjukkan atas jumlah yang melingkupi seluruh ifradnya itu.
b.      Khas, adalah lafadz yang mempunyai satu arti, ditetapkan pada satu ifarad atau ifrad-ifrad yang melingkupi, seperti lafadz Muhammad atau pelajar itu sepuluh, seratus, dan seribu.
c.       Isytirak itu menerapkan dengan beberapa arti yang mempunyai satu lafadz di tempat-tempat yang banyak.
d.      Umum, ditetapkan dengan menunjukkan lafadz meliputi semua ifrad, menetapkannya tanpa melingkupi.
e.       Khusus, ditetapkan dengan menunjukkan lafadz atas ifrad atau ifrad-ifrad yang melingkupi dan melengkapkan tanpa merata.
Lafadz musytarak yaitu lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih pada beberapa tempat, menunjuk atas jalan penggantian. Artinya, menunjukkan arti ini atau itu.
Sebab-sebab adanya lafadz musytarak dalam bahasa itu banyak, diantaranya karena beberapa kabilah yang mempergunakan lafadz-lafadz itu untuk menunjukkan satu pengertian. Beberapa kabilah yang dimaksud dengan tangan ialah harta.

Kaidah enam : Am dan Uraiannya
Am yaitu lafadz yang menunjukkan di mana ditempatkan secara lughawi meliputi dan semuanya itu berlaku untuk semua ifradnya. Am merupakan sifat lafadz. Ada perbedaan antara am dan muthlak. Am itu menunjuk meliputi setiap orang. Sedangkan muthlak menunjukkan seseorang atau beberapa orang, bukan untuk semua orang. Am dapat diperoleh sekaligus segala apa yng ditetapkan. Sedangkan muthlak muthlak tidak diperoleh sekaligus. Kecuali salah seorang daripadanya itu terkenal. Inilah yang dimaksud oleh ahli-ahli ushul Umum as-syumuli wa ummi muthlak badali.
Lafadz-lafadz umum :
1.      Lafadz kulli (tiap-tiap) dan lafadz jami’ (segala);
2.      Mufrad mu’raf itu dengan alif lam, mengetahui jenis;
3.      Jama’ mu’raf itu dengan alif lam, mengetahui jenisnya;
4.      Isim maushul;
5.      Isim isyarat;
6.      Nasirah pada pembicaraa nafi, artinya nakirah nafi.
Macam-macam am :
1.      Am qath’i umum, yaitu am yang didampingi oleh qarinah, menafikan sasaran yang ditakhsiskan.
2.      Am qath’i khusus, yaitu apa yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu.
3.      Am makhsus, yaitu am muthlak yang tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum.
Takhsis am
Takhsis am dalam itilah ushul yaitu menyataan maksud syar’i  dari hal am. Dimuai dengan beberapa ifrad, bukan semuanya atau menyatakan  hukum yang bersangkut dengan am itu yaitu dari permulaan mentasyri’kan hukum untuk beberapa buah ifrad.
Yang lebih jelas menunjukkan takhsis itu ada yang berdiri sendiri terpisah yaitu : akal, araf, nash dan hikmah tasyri’.
-          Mentakhsiskan dengan akal;
-          Mentakhsiskan dengan arfu;
-          Mentaskhsiskan dengan nash.

Kaidah tujuh : Khas dan Penjelasannya
Lafadz khas yaitu lafadz yang dipakai untuk menunjukkan seseorang, misalnya Muhammad. Hukum khas berbentuk global apabila terdapat nash syar’i yang menunjukkan dalil qath’i terhadap arti khas yang ditempatkan bagi hakiki, dan menetapkan hukum yang untuk menunjukkan kepada jalan qath’i bukan dzan.

Perbedaan lafadz muthlak dengan lafadz muqaid
Muthlak yaitu apa yang menunjukkan atas satu bukan dikaitkan kepada lafadz dengan kaitan apa saja.





BAB IV
QAWA’ID USHULIAH TASYRIAH

Kaidah Pertama Maksud Umum dari Tasyri’
Maksud umum dari tasyri’ tentang mentasyri’kan hukum-hukum ialah menetapkan kemaslahatan umat dan menjamin hal-hal yang sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat.
Kaidah yang pertama ini mengandung maksud umum bagi syar’i yang mensyariatkan hukum-hukum syar’i.
Amar hajati yaitu apa yang dibutuhkan orang untuk suatu kemudahan dan kelapangan. Hal-hal yang mengandung kesulitan taklif dan berkehidupan.
Tahsni yaitu apa-apa yang termasuk adab sopan santun dan hal-hal yang perlu untuk menjalankan suatu metode.

Apa yang Disyariatkan Islam itu Sangat Diperlukan
Hal-hal yang sangat dibutuhkan seseorang, yaitu kembali kelima perkara, yakni agama, jiwa, akal, nama baik dan harta benda.
Agama, yaitu himpunan akidah, ibadah, hukum dan peraturan-peraturan yang disyariatkan Allah SWT untuk mengatur hubungan orang dengan Tuhannya dan hubungan antar sesamanya.        
Tubuh, Islam mensyariatkan untuk memperbaiki perkawinan untuk melanjutkan keturunan dan untuk mengekalkan kesempurnaan sistem kehidupan yang baik.
Harta, disyariatkan oleh agama Iskam supaya orang dapat mengahasilkan harta benda itu. Oleh sebab itu harus berusaha.

Apa yang Disyariatkian Islam itu Perlu bagi Manusia
Dalam lapangan ibadat, syariat memberikan keringanan bagi mukallaf apabila merasa berat dan sulit untuk melaksanakannya.
Dari segi muamalah, islam mensyariatkan bermacam-macam perjanjian dan kegiatan yang dijalankan menurut keperluan orang. Seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain.
Dari segi menjatuhkan hukuman, diyat dikenakan kepada orang yang berakal.

Apa yang Disyari'atkan Islam bagi Hal-Hal yang Berkenaan dengan yang Baik
Dari segi ibadat, disyari’atkan membersihkan tubuh, pakaian tempat dan menutup aurat, serta memelihara dari sekalian macam najis.
Dari segi muamalah, diharamkan menipu, bertindak royal dan kikir. Diharamkan menggunakan hal-hal yang bernajis dan yang menimbulkan madharat. Dilarang memperjualbelikan apa-apa yang diperjualbelikan oleh saudaranya di pasar.
Dalam menjatuhkan sanksi hukuman, di waktu berjihad diharamkan membunuh rahib, anak-anak dan perempuan. Dilarang menyiksa dan berlaku khianat. Membunuh orang yang tidak bersenjata, dan lain-lain.
Diharamkan zina, guna untuk menjaga nama baik, diharamkan berkhalwat dengan ajnabi, karena hal ini merupakan suddan zari’ah. Diharamkan minum khamar, guna memelihara akal, dan sebagainya.
Dari segi kebutuhan, Islam mensyariatkan bermacam-macam muamalah. Diantaranya jual beli, sewa-menyewa, serikat, dan sebaginya.

Prisnsip-prinsip khusus mumbuangkan kesulitan
Diantara ciri-cirinya yaitu :
Pertama, kesulitan itu membawa kemadharatan. Ciri-cirinya seluruh rukhsah yang disyariatkan Allah berat ringannya bagi si mukallaf itu karena ada salah satu sebab yang dikehendaki oleh keringanan ini, yang menjadi sebab-sebabnya itu ada tujuh macam yaitu perjalanan, sakit, terpaksa, lupa, bodoh, umum bahwa, kurang.
Kedua, sulit syari’at membuangnya. Cirri-cirinya : menerima seorang saksi perempuan bilamana tidak terdapat laki-laki, tidak mengetahui cacat mereka itu dan tidak mengetahui keadaan perempuan itu yang sebenarnya.
Ketiga, di waktu dharurat diperbolehkan hal-hal yang dilarang. Diantara cirri-cirinya yaitu : rukhsahh pada salm, ba’iul wafa, istisna’ dan dhaman darki.

Kaidah Dua : Apa Hak Allah dan Apa Pula Hak Mukallaf
Perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar’i. Jika ada maksud untuk mengadakan perbaikan-perbaikan masyarakat umum maka hukum adalah hak yang khalis bagi Allah. Maka dalam hal ini mukallaf tidak boleh khiyar. Dilaksanakan oleh Aulil Amri.
Kaidah yang berkenaan dengan tasyri, pertama-tama menjamin bentuk hukum Islam dengan bentuk umum, dimaksud untuk menetapkan kemashlahatan orang hidup bermasyarakat. Sedangkan kaidah tasyri yang kedua ialah menjamin bahwa kemashlahatan yang dimaksud dengan tasyri’ hukum itu ialah memantapkannya. Kadang-kadang kemashlahatan umum bagi masyarakat dan kadang-kadang untuk pribadi.
Yang menjadi hak khalis bagi Allah itu meliputi hal ketetapam sebagai berikut :
Pertama, ibadah inti, seperti sembahyang, zakat, puasa dan haji.
Kedua, ibadat yang didalamnya ada pengertian menolong, seperti zakat fitrah.
Ketiga, pajak yang dipungut dari tanah pertanian. Sama saja, apakah usyriah (dipungut seperpuluh dari hasil) atau khirajiah (pajak).
Keempat, pajak yang dipungut dari harta ramapasan perang di waktu menjalankan jihad dan apa-apa yang terdapat dari dalam perut bumi berupa logam dan harta yang tertanam dalam tanah.
Kelima, macam-macam sanksi hukuman yang dijatuhkan itu yaitu hukuman zina, hukuman mencuri, hukuman penganiayaan yang diperangi Allah dan Rasul, dan orang-orang yang memperbuat kebinasaan di bumi yaitu kemashlahatan masyarakat seluruhnya.
Keenam, macam-macam sanksi hukuman ringan, diharamkan bagi orang yang membunuh menerima warisan. Ini merupakan sanksi hukuman ringan.
Ketujuh, sanksi-sanksi hukuman yang di dalamnya ada pengertian ibadat seperti kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.

Kaidah Tiga : Dalam Apa Dibolehkan Ijtihad
Tidak boleh melakukan ijtihad, bilamana dalam masalah yang akan dipecahakan itu sudah ada nash terang-terangan menerangkannya, ijtihad dalam istilah ushul ialah melakukan jihad untuk sampai kepada hukum syar’i dengan dalil, menerangkan terperimci dengan syari’at. Jika ada suatu peristiwa, maksud untuk diketahui hukumnya, menurut syar’i yang ada di dalamnya terdapat dalil qath’i yang menunjukkan, maka yang begini bukan lapangan bagi ijtihad.
Demikian pula apabila pristiwa itu tidak mempunyai mash yang menjadi dasar atas hukumnya, maka di sinilah lapangan ijtihad yang lebih luas mujtahid mengetahui dan membahas hukum-hukum itu yaitu dengan perantaraan kias, istihsan, istishab, mara’atul ‘arf, atau mashalih mursal. Kesimpulan, lapangan mujtahid itu hanya dalam dua hal:
Pertama, dalam peristiwa ini tidak terdapat nash sebagai pokok pembicaraan. Kedua, dalam peristiwanya itu nashnya tidak qath’i. kalau terdapat nash qath’i maka di sini bukan lapangannya ijtihad.
Untuk melakukan ijtihad, ada empat syarat:
1.      Mengetahui Bahasa Arab
2.      Mengetahui Al-Quran
3.      Ilmunya berdasarkan sunna.
4.      Mengetahui bentuk kias
Ada tiga hal yang harus diperhatikan
Pertama, bahwa ijtihad itu tidak ada pembagian. Artinya, dia tidak menggambarkan adanya orang alim sebagai mujtahid dalam hukum talak, dan mujtahid yang lain dalam jual beli atau mujtahid dalam hukum menjatuhkan sanksi hukuman.
Kedua, mujtahid itu mendapatkan pahala. Orang-orang yang melakukan ijtihad itu mendapat dua pahala. Satu pahala untuk ijtihadnya dan satu lagi jika ijtihadnya benar. Jadi, kalau ijtihadnya salah, masih mendapat satu pahala.
Ketiga, ijtihad itu tidak boleh dibatalkan dengan yang seperti iti pula. Kalau mujtahid itu berijtihad terhadap suatu masalah dan di dalamnya itu dia menjatuhkan hukuman  dengan yang dijalankan ke arah itu oleh ijtihadnya.

Kaidah Empat : Menasikhkan Hukum
Tidak ada nasikh bagi hukum syar’i dalam Al-Quran dan Sunnah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Adanya hanya di masa Nabi masih hidup yang lama-kelamaan secara berangsur-angsur lalu di jalankan dengan tasyri’, dan dalam lalu lintas perbaikan-perbaikan masyarakat yang diadakan itu dilakukan nasikh beberapa hukum yang dijalankan secara kulli dan juz-i.
Hikmahnya, nasikh ini jatuhnya ada yang pada tasyri’ illahi dan ada pula pada tasyri’ wadhi’. Maksud dari tiap-tiap tasyri’ itu adalah sama, apakah dia Illahi atau wadhi’ yaitu menetapkan kemashlahatan orang yang hidup dalam masyarakat.
Macam-macamnya, ada yang berbentuk nasikh sharikh (terang-terangan) dan ada pula yang berbentuk dhamniam (dengan diam-diam). Nasikh sharikh, bila nash yang disyariatkan itu terang-terangan pada tasyri’ yang datang kemudian untuk membatalkan tasyri’ yang berlalu.
Adapun nasikh dhimni, di sini syar’i tidak mencantumkan nash terang-terangan dalam tasyri’ yang datang kemudian untuk membatalkan tasyri’ yang berlalu. Namun, dia mentasyri’kan hukum yang bunyinya bertentangan dengan hukum yang berlalu.
Nasikh kadang-kadang kulli dan kadang-kadang juz-i. Nasikh kulli,  orang yang mensyari’aykan itu membatalkan hukum syar’i sebelumnya. Membatalkan secara keseluruhannya dengan merangkaikan kepada setiap pribadi mukallaf. Seperti membatalkan wajib wasiat kepada ayah, ibu, karib kerabat dengan tasyri’ hukum warits dan melarang wasiat itu kepada orang yang mewaris (si pewaris).
Nasikh juz-i yaitu mensyari’atkan hukum secara umum, meliputi seluruh pribadi mukallaf, kemudian hukum ini dibatalkan dengan menisbatkan kepada sebagian ifrod atau mensyari’atkan hukum itu secara mutlak, kemudian dibatalkan dengan menisbatkan kepada beberapa hal.
Bukan setiap nash yang terdapat dalam Al-Quran atau Sunnah itu pada masa Nabi masih hidup yang dinasikhkan oleh nash yang datang kemudian. Namun, diantara nash-nash itu ada yang disebut muhkamat, pada dasarnya tidak menerima adanya nasikh, yaitu :
Pertama, nash yang mengandung hukum-hukum asasi, tidak mengalami perbedaan dengan berbedanya keadaan orang dalam masyarakat dan tidak membedakan yang baik dan yang buruk dengan perbedaan penilaian. Seperti nash-nash yang mengandung wajib beriman kepada Allah, Rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan hari kemudian dan seluruh dasar-dasar akidah dan ibadah.
Kedua, nash-nash yang mengandung hukum, ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri untuk menguatkannya. Menguatkan itu tidak memerlukan nasikh. Seperti hukum Tuhan dalam menerangkan hukum qadzaf terhadap perempuan-perempuan yang baik-baik: janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”. Lafadz selama-lamanya itu menunjukkan bahwa hukum itu adalah untuk selama-lamanya.
Ketiga, nash-nash yang mengandung peristiwa-peristiwa yang terjadi dan memberitahukan tentang terjadinya sesuatu.
Apa yang dinasikhkan menurut pengertian umum, nash itu tidak boleh dinasikhkan kecuali dengan nash pula, yaitu nash yang lebih kuat daripadanya. Di atas dasar inilah nash Al Quran itu ada yang dinasikhkan dengan ayat Al Quran pula, dan ada pula yang dinasikhkan dengan sunah mutawatir. Semua itu adalah qath’i dan mempunyai kekuatan. Sunah yang tidak mutawatir kadang-kadang juga menasikhkan antara satu sama lain karena masih mempunyai kekuatan. Kadang-kadang dinasikhkan dengan nash Al-Quran dan sunah mutawatir karena ini lebih kuat daripadanya.


Kaidah Lima : yang Bertentangan dan yang Menguatkan
Apabila terjadi pertentangan dua nash terang-terangan, maka wajib melakukan pembahasan dan berijtihad pada suatu perkumpulan dan mencari penyesuaian antara keduanya itu dengan cara yang baik tentang cara mengumpul dan menyesuaikan. Kalau hal in tidak ada, maka wajiblah melakukan pembahasan dan berijtihad untuk menguatkan salah satu kedua hal tersebut dengan jalan tarjih. Apabila ini juga tidak ada, maka di sini orang harus mengetahui sejarah datangnya menyusul nasikh bagi yang terdahulu. Jika tidak diketahui sejarah datangnya, maka dihentikan dulu megerjakan kedua hal tersebut.
Apabila terjadi pertentangan dua kias atau dua dalil bukan dari nash dan belum dilakukan tarjih salah satu dari keduanya itu menyimpang dari penunjukan dari alasan yang dikemukakan. Pertentangan di antara dua hal, artinya dalam bahasa Arab mengalami masing-masingnya itu. Pertentangan antara dua dalil syar’i artinya dalam istilah ushul memperlakukan tiap-tiap keduanya itu pada suatu waktu memperlakukan hukum pada peristiwa yang berlainan tentang apa yang diperlakukan oleh dalil lain. Misalnya firman Allah yang berbunyi “dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, maka hendaklah isterinya itu menahan dirinya (masa iddah) selama empat bulan sepuluh hari”. Nash ini berlaku umum. Tiap-tiap perempuan yang suaminya meninggal diperlukan iddahnya empat bulan sepuluh hari, mau hamil ataupun tidak. Firman Allah yang berbunyi “ perempuan-perempuan yang mengandung, iddahnya yaitu menunggu sampai anaknya itu lahir”. Sama saja, mau suaminya meninggal ataupun tidak.
Perempuan yang suaminya meninggal, sedangkan waktu dia dalam hamil. Peristiwa ini memperlakukan nash pertama, yaitu massa iddahnya empat bulan sepuluh hari. Dan memperlakukan nash kedua yaitu sampai anaknya lahir. Kedua nash ini bertentangan mengenai suatu peristiwa.
Penelitian yang dilakukan terhadap pertentangan kedua dalil syar’i ini tidak lain selain apabila kedua dalil syar’i dalam satu kekuatan. Apabila satu lebih kuat dari yang satu lagi, maka hukum yang berdasarkan dalil itu harus mengikut kepada yang lebih kuat.

6 komentar: