Jumat, 16 Mei 2014

QIRA’AT AL-QUR’AN


BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di sepanjang Jazirah Arabin. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang tipikal berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan leatak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun, di samping setiap suku memiliki dialek yang berbeda-beda, mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami mengapa Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
            Di sisi lain, perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya fenomena  yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at. Sabdanya “Al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadzza Al-Qur’an ala sab’ah ahruf)” dan hadis-hadis lain yang sepadan dengannya, kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz menolak muatan hadis itu sebagai justifikasi qira’ah sab’ah, tetapi konteks hadis itu sendiri memberikan peluang Al-Qur’an dibaca dengan berbagai ragam qira’ah.
            Dalam peneluturan As-Syuthi, orang yang pertama kali menu;lis buku tentang qira’at adalah ‘Abd At-Qasim bin Salam (w. 224 H.), yang kemudian diikuti Ahmad bin Jubair Al-Kufi, Isma’il bin Ishaq al-Maliki, Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari, Abu Bakar Muhammad bin ahmad bin ‘Umar ad-Dajuni, dan Abu Bakar bin Mujahid. Setelah itu, muncullah karya-karya qira’at yang beragam. Thabaqah (hierarki) mereka secara khusus direkam oleh Hafizh Al-Islam Abu ‘Abdillah adz-Dazahabi dan Hafizh Al-Qurra’ Abu Al-Khair bin Al-Jazari )w.833 H.) di dalam karyanya An-Nasyr fi Al-Qira’at Al-‘Asyr.



BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Al- Qira’at
Berdasarkan pengertian etimologi (bahasa), “qiraat” merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja “qara’a” (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi (istilah). Maka ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama:
1.      Menurut Az-Zarqani:
“Suatu madzhab yang dianut seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya.”
2.      Menurut Ibn Al-Jazari:
“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedannya dengan cara menisbathakan kepada penukilnya.”
3.      Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.”
4.      Menurut Az-Zarkasyi:
“Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.”
5.      Menurut Ash-Shabuni
“Qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.”

          Perbedan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangkan yang sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di antara beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira’at yang dapat ditangkap dari definisi-definisi di atas, yaitu:
1.      Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2.      Cara pelafalan ayat-ayat  Al-Qur’an itu bedasarkan atas riwayat yang bersambungkepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3.      Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashi, dan washi.

A.    Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
1.      Latar Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi di atas:
a.       Suatu ketika Umar bin Al-Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-Qur’an. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa di atas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda”
“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”
b.      Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita:
“Saya masuk ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW.” Kemudian, datanglah seseorang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW.” Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, ‘Baik. Kemudian, Nabi memminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik.”
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal II H. Tatkala para qari’ sudah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin Amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecuali pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qira’at yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga pada akhirnya perbedaan qira’at itu sudah pada kondisi sebagaiman yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada Utsman.
Di antara ulama-ulama yang berjasa meneliti dan membersihkan qira’at dari berbagai penyimpangan adalah:
a.       Abu ‘Amr ‘Utsman bin Sa’id bin ‘Utsman bin Sa’id Ad-Dani (w. 444 H.), dari Daniyyah, Andalusia, Spanyol, dalam karyanyayang berjudul At-Taisir.
b.      Abu Al-Abbas Ahmad bin Imarah bin Abu Al-Abbas Al-Mahdawi (w. 430 H.) dalam karyanya yang berjudul Kitab Al-Hidayah.
c.       Abu Al-Hasan Thahir bin Abi Thayyib bin Abi Ghalabun Al-Halabi (w. 399 H.), seorang pendatang di Mesir, dalam karyanya yang berjudul At-Tadzkirah.
d.      Abu Muhammad Makki bin Abi Thalib Al-Qairawani (w. 437 H.) di Cordova, dalam karyanya yang berjudul At-Tabshirah.
e.       Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Ismail, terkenal dengan sebutan Abu Syamah, dalam karyanya yang berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz.
Abu Syamah dipandang sebagai orang yang pertama kali berpendapat bahwa bacaan yang sesuai dengan bahasa Arab walaupun hanya satu segi dan sesuai dengan mushaf Imam (Mushaf Utsmani), serta sahih sanadnya, adalah bacaan yang benar, tidak boleh ditolah. Jika kurang salah satu dari syarat-syarat itu, qira’at itu lemah atau syadz (aneh) atau batil.
Sesudah itu, para imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam (w. 244 H.). Ia telah mengumpulkan qira’at sebanyak kurang lebih 25 macam. Kemudian, menyusulah imam-imam lainnya. Di antara mereka, ada yang menetapkan 20 macam; dan ada pulayang menetapkan di bawah bilangan itu. Persoalan qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid, yang terkenal dengan nama Ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari.
Inisiatif Ibn Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibn Ammar mencela keras Ibn Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang tidak layak baginya. Ia dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah yang disebut dalam hadis Nabi (inna hadza Al-Qur’an unzula ‘ala sab’at ahruf). Namun, berkat jasa Ibn Mujahid, kita dapat mengetahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.
Ada beberapa faktor yang membuat sebagian ulama merasa keberatan atas inisiatif Ibn Mujahid di atas, yakni:
a.    Inisiatif Ibn Mujahid menginventariskan qira’at menjadi tujuh memancing kekacauan dengan timbulnya tendensi umat untuk memahami kata “sab’ah ahruf” dalam hadis Nabi sebagai qira’at sab’ah itu. Dari sekian pendapat mengenai kata “ahrufin” tidak ditemukan pendapat bahwa yang dimaksud kata itu adalah qira’ah sab’ah. Bila kemudian ada pendapat bahwa yang dimaksud adalah qira’ah sab’ah, hal itu muncul setelah dilakukan inventarisasi qira’at oleh Ibn Mujahid.
b.    Inisiatif Ibn Mujahid menginventarisasi qira’ah sab’ah tak pelak membuat sebagian ulama merasa keberatan. Mengapa hanya tujuh? Padahal, kajian tentang pertumbuhan qira’at yang sudah muncul semenjak masa Nabi yang kemudian melalui jalur periwayatan tersebar ke berbagai pelosok, akan membawa kesimpulan begitu banyak qira’at yang pernah lahir. Oleh karena itu, keberatan sebagian ulama di atas –dilihat dari konteks di atas—memang cukup beralasan.
c.    Istilah qira’ah sab’ah belum masyhur sampai pada masa Ibn Mujhaid. Padahal, qira’at itu sendiri sebenarnya sudah akrab semenjak abad II H. Ada kecenderungan dari ulama saat itu unutk hanya mengambil satu jenis qira’at dsaja. Sementara qira’at-qira’at lainnya –kalau tidak dianggap salah—ditinggalkan.
Ada beberapa pertimbangan mengapa Ibn Mujahid hanya memilih tujuh qira’at dari sekian banyak qira’at. Ketujuh tokoh qira’at itu dipilihnya dengan pertimbangan bahwa merekalah yang paling terkemuka, paling masyhur, paling bagus bacaannya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang. Yang tak kalah penting adalah bahwa mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat merka masing-masing.
Dengan demikian, bila hanya tujuh tokoh yang diturunkan Ibn Mujahid, tidaklah hanya ulama-ulama itu yang menguasai qira’at. Masih banyak ulama lain yang sangat berkompeten dalam hal ini, misalnya Khalaf bin Hisyam dan Yazid Al-Qa’qa. Usaha Ibn Mujahid untuk sampai pada imam yang tujuh, menurut Subhi Ash-Shalih, hanya merupakan kebetulan saja. oleh karena itu, menurut Al-Zarqani, seseorang tidak harus terpaku pada jumlah itu saja, tetapi ia pun harus menerima setiap qira’at yang sudah memenuhi tiga persyaratan, yakni sesuai dengan salah satu Rasm Utsmani, sesuai dengan kaidah Arab, dan sanadnya shahih.
2.      Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada’)
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari cara seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Kalau diruntut, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar dan Hisyam, diperbolehkan oleh Nabi. Lalu, beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Quran itu sebagai berikut:
a.       Perbedaan dalam i’rab atau harakat kaliamat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah:
“..(yaitu orang-orang yang kikir, dan menyuru orang lain berbuat kikir..”). (Q.S An-Nisa [4]:37)
Kata Al-Bakhl yang berarti kikir di sini dapat dibaca fathah pada huruf ba’-nya sehingga dibaca “bi Al-bakhli”; dapat pula dibaca dhammah pada ba’-nya shingga menjadi “bi Al-bukhli.”
b.      Perbedaan pada i’rab dan harakat (baris) kaliamat sehingga mengubah maknanya. Misalnya pada firman Allah:
“Ya Tuhan kami, jauhkan lah jarak perjalanan kami.” (Q.S Saba’ [34]:19).
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah ba’id karena statusnya sebagai fi’il amr; boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il madhi, sehingga artinya telah jauh.
c.       Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan i’rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah. Misalnya pada firman Allah:
“..dan lihatlah kepada tulang belulang itu, kemudian Kami menyusunnya kembali” (Q.S Al-Baqarah [2]:259)
Kata nunsyizuha (Kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf zay () diganti dengan huruf ra () sehingga menjadi berbunyi nunsyiruha yang berarti “Kami hidupkan kembali.”
d.      Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah. Misalnya pada firman Allah:
“..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (Q.S Al-Qari’ah [101]:5)
Beberapa qira’at mengganti kata ka “al-‘ihin” dengan ka “ash-shufi” sehingga yang mulanya bermakna “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba”. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf Utsmani.
e.       Perbedaan pada kaliamat di mana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada ungkapan thal’in mandhud menjadi thalhin mandhud.
f.       Perbedaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firman Allah:
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar0benarnya.” (Q.S. Qaf [50]:19)
Konon, menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi Wa ja’at sakrat Al-haqq bi Al-maut. Abu Bakar menggeser kata  “al-maut” ke belakang, sementara kata “al-haqq” dimajukan ke tempat yang ia geser ke belakang. Setelah mengalami pergeseran ini, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kaliamat itu menjadi: “Dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian.”
Qira’at semacam ini, juga tidak dipakai, karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku.
g.      Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah:
“...surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:25)
Kata min pada ayat ini dibuang, dan pada ayat serupa yang tanpa min justru ditambah.

B.     Sebab-sebab Perbedaan Qira’at
Di antara sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda adalah sebagai berikut.
1.      Peerbedaan qira’at Nabi. Artinya dalam mengerjakan Al-Quran kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:
Qira’ah versi mushaf Utsmani adalah:
2.      Pengakuan dari Nabi terhadap berbagi qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Quran. Contohnya:
a.       Ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul atta hin (), padahal ia menghendaki hatta hin (), Rasul pun membolehkannya sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.
b.      Ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh (), huruf “ta” pada kata “tiswaddu” dikasrahkan. Dan alam i’had ilaikum (), huruf “hamzah” pada kata “i’had” (dikasrahkan), Rasul pun membolehkannya, sebab memang demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
c.       Ketika seorang qari’ membaca wa idza qila lahumm () dan ghidha Al-ma’u () dengan menggabungkan dhamah kepada kasrah, Rasul pun membolehkannya sebab memang demikianlah ia menggunakan dan mengucapkannya.
3.      Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
4.      Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Quran.

C.    Macam-macam Qira’at
1.      Dari Segi Kuantitas
a.         Qira’ah Sab’ah (Qira’ah Tujuh). Maksud sab’ah adalah imam-imam qira’at yang tujuh. Mereka adalah:
1)        Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120. H.) dari Mekah. Ad-Dari termasuk generasi tabiin. Qira’at yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Jubair dan lain-lain. Sahabat Rasulullah yang pernah ditemui Ad-Dari, di antaranya Anas bin Malik, Abu Ayyub Al-Anshari, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah.
2)        Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (w. 169 H.) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira’at kepada 70 orang tabi’in. Para tabi’in yang menjadi gurunya itu belajar kepada Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah.
3)        Abdlullah Al-Yahshibi, terkenal dengan sebutaqn Abu ‘Amir Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari Syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi, dari ‘Utsman bin ‘Affan. Tokoh tabi’in ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah yang bernama Nu’man bin Basyir dan Wa’ilah bin Al-Asyqa’. Sebagian riwayat mengatakan bahwa ‘Abdullah Al-Yashibi sempat berjumpa dengan ‘Utsman bin ‘Affan secara langsung.
4)        Abu ‘Amar (wafat 154 H) dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adlah Zabban bin Al-A’la bin ‘Ammar. Ia meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin Jabr.
5)        Ya’qub (wafat 205 H), dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah Ibnu Ishak Al-Hadhrami. Ya’kub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawi yang mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
6)        Hamzah (wafat 188 H). Nama lengkapnya adalah Ibnu Habib Az-Zayyat. Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubaisy, dari ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.
7)        Ashim. Adapun nama lengkap Ashim adalah Ibnu Abi An-Najud Al-Asadi (wafat 127 H). Ia belajar qira’at kepada Dzar bin Hubaisy, dari ‘Abdullah bin Mas’ud.
b.         Qira’at Asyarah (Qira’at Sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang disebutkan di atas ditambah dengan tiga qira’at berikut :
1)        Abu Ja’far. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa’qa Al-Makhzumi Al-Madani. Ia memperoleh qira’at dari Abdullah bin ‘Abbasa, dan Abu Hurairah. Mereka bersua memperolehnya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari nabi.
2)        Ya’kub (117-205H). Nama lengkapnya adalah Ya’kub bin Ishaq bin Yazid bin ‘Abdlullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibnu ‘Abbas, yang membacanya langsung dari Rasulullah SWA.
3)        Khallaf bin Hisyam (wafat 229 H). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Bagdadi. Ia menertima qira’at dari Sulaiman bin ‘Isa bin Habib.
Berkaitan denang kualitas riwayat qira’at sab’ah, Az-Zarqani menutukan lima pendapat, dari yang ekstrem sampai yang moderat.
1.    Abu Sa’ud farj bin Lubb, seorang mufi Andalusia, berpendapat bahwa penolakan terhadap qira’at sab’ah dapat membawa pada kekafiran karena akan menimbulkan konsekuensi pada penolakan kemutawatiran Al-Quran.
2.    Sebagian ulama menyamakan qira’at sab’ah dengan qira’at-qira’at lainnya. Tingkat keakurasian qira’at sab’ah, seperti halnya qira’at-qira’at lainnya, hanya sampai pada derajat ahad.
3.    Ibnu As-Subuki, dalm Jam ‘ Al-Jawami’, menjelaskan bahwa qira’at sab’ah merupakan riwayat mutawatir nabi.
4.    Ibnu Al-Hajib juga berpendapat bahwa riwayat qira’at sab’ah adalah mutawatir, tetapi ia mengecualikan persoalan-persoalan yang menyangkut Al-‘ad, madd, imalah, dan takhfif hamzah. Al-Banani menjelaskan bahwa persoalan-persoalan yang dikecualikan Ibnu Al-Hajib adalah persoalan yang masuk pada ruang lingkup ijtihadi.
5.    Abu Syamah, dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz, berpendapat bahwa kemutawatiran qira’at sab’ah hanya menyangkut jalan-jalan periwayatan yang telah disepakati datang dari para imam qira’at. Adapun qira’at yang jalan periwayatannya masih diperselisihkan datangnya dari mereka, qira’at itu tidaklah mutawatir.

c.    Qira’at Arba’at Asyrah (Qira’at Empat Belas). Yang dimaksud qira’at empat belas adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan diatas ditambah dengan empat qira’at berikut :
1.        Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H). Salah seorang tabi’in besar yang terkenal kezahidannya.
2.        Muhammad bin ‘Abdirrahman, yang terkenal dengan nama Ibnu Mahishan (wafat 123 H). Ia adalah guru Abi ‘Amr.
3.        Yahya bin Al-mubarak Al-Yazidi an-Nahwi Al-Baghdadi (wafat 202 H). Ia mengambil qwira’at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4.        Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (wafat 388 H).
2.  Dari Segi Kualitas
            Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam lima bagian :
a.       Qira’at Muttawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
Umumnya, qira’at yang ada masuk ke dalam bagian ini.
b.      Qira’at Masyhur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf ‘Utsmani, Masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang. Umpamanya, qira’at dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbda-beda. Sebagian perowi misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Qira’at semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qira’at, misalnya At-Taisir karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syathibi, Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah Al-‘Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir Ibnu Al-Jazari).
c.       Qira’at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. Al-Tirmidzi dalam kitab Jami’nya dan Al-Hakim dalam Mustadraknya menempatkan qira’at seperti ini dalam bahasan khususnya, diantaranya riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. Membaca ayat :
arab
Artinya :
“mereka bertelekah pada bantal-bantal yang hiaju dan permadani-permadani yang indah.” (QS. Ar-Rahman[55]:76)
Qira’at versi mushaf ‘Utsmani :
arab
Dari abu hurairah, al-Hakim mengeluarkan riwayat bahwa nabi membaca ayat :
arab
Artinya :
“ seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata.” (QS. As-Sajdah [32]:17).
Qira’at versi mushaf ‘utsmani :
Arab
Juga dari Abu Hurairah , Al-Hakim mengeluarkan sebuah riwayat bahwa nabi membacakan ayat :
Arab
Artinya :
“ sesungguhnya datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri.” (QS. Yunus[10]:128).
Huruf fa dibaca fathah/anfasikum. Qira’at versi mushaf ‘Utsmai :
Arab
Dari ‘Aisyah, Hakim mengeluarkan riwayat bahwa Nabi membaca ayat :
Arab
Artinya :
“ – maak dia memperoleh ketentraman dan rezeki –“ (QS. Al-Waqi’ah [56]:89).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
d.      Qira’at Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah bnyak kitab yang ditulis untuk jenisnqira’at ini. Diantara macam qira’at ini adalah :
Arab
Artinya :
  yang menguasai hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah [1]:4).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
Contoh lainnya adalah :
Arab
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
e.       Qira’at Maudhu’ (palsu), seperti qira’at Al-Khazzani. Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at yang keenam, yaitu:
f.       Qira’at yang menyerupai hadits mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya, qira’at Abi Waqqash :
Arab
Artinya :
“ tetapi mempunyai seorangh saudara laki-laki (seribu saja) atau seorang saudara perempuan (seribu saja).” (QS> An-Nisa [4]:12).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
Juga seperti qira’at Ibnu ‘Abbas :
Arab
Artinya :
“ tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) hasil perniagaan) dari Tuhanmu pada musim haji.” Al-Baqarah [2]:198).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
Juga seperti qira’at Ibnu Zubair:
Arab
Artinya :
“ Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan memohon pertolongan kepada Allah atas musibah yang turun.” (QS. Ali Imran [3]104).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
Tolak ukur yang dijadikan pegangann para ulama dalam menetapkan qira’at sahih adalah sebagai berikut :
a.       Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yagn fasih atau paling fasih.
b.      Bersesuaian dengan salah satu kaidah penulisan mushaf ‘Utsmani walaupun hanya kemungkinan (ihtimal).
c.        Memiliki sanad yang sahih.


E.     Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam istinbath (penetapan) Hukum

1.      Urgensi Mempelajari Qira’at
a.       Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-nisa [4] ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira’at syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “min umm” sehingga ayat itu menjadi :
Arab
Artinya :
‘ jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (QS. An-Nisa’ [4]:12).
Dengan demikian, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
b.      Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekakan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi :
Arab
Artinya:
“ – maka kifarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang bisa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak mukmin.” (QS.Al-Maidah [5] :89).
Tambahan kata mukminatin berfungsi mentarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternatif bentuk kifaratnya.
c.       Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinnya sedang haid, sebelum haidnya berakhir. Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahhirna” (di dalam mushaf ‘Utsmani tertulis “yathhurna”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d.      Dapat mununjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu saja mengonsekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e.       Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, didalam surat Al-Qari’ah [101] ayat 5. Allah berfirman :
Arab
Dalam sebuah qira’at yang syadz dibaca :
Arab
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata “Al-‘ihri” adalah “Al-shuf”.
2.      Pengaruhnya dalam Istinbath (Penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at terkadang berpengaruh pula dalam menetapkan
ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh itu.
a.       Surat Al-Baqarah [2] : 222 :
Arab
Artinya :
“ mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan munyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS.Al-Baqarah[2] : 222).
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’ah tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqh berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.
b.      Surat An-Nisa’ [4] : 43 :
Arab
Artinya :
“ dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat ari, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tangnmu. Sesungguhnya Allah Maha pemaaf lagi maha pengampun.” (QS.An-Nisa [4] :43).
Berkaitan dengan ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’i memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”, sementara imam-imam lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at iini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at itu pula, para ulama fiqh ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
c.       Surat Al-Ma’idah [5] :6 :
Arab
Artinya :
“hai orang-orang yang beriman,apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al-Ma’idah [5]:6).
Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang lain membacanya dengan “arjulikum”. Dengan membaca “arjulakum”, amyoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadits. Ulama-ulama Syi’ah Imamiyah berpegang pada bacaan “arjulikum” sehingga mereka emwajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu’. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn ‘Abbas dan Anas bin Malik.




DAFTAR BACAAN

Abu Hafs ‘Umar, Al-Mukarrar fi Ma taeatara min Al-Qira’at Al-Sab’i, Al-Haramain, Singapura.
Badr Ad-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘ulum Al-Quran.
Hassanuddin A.F, Anatomi Al-Quran : perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Quran, Raja Grafindo, Persada, Jakarta.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Quran, Bulan-Bintang, Jakarta, 1972.
Ibrahim Al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Quran, Rajawali Press, Jakarta, 1988.
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.
Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-‘Ashr Al-hadits, ttp, 1973.
Muhammad ‘abd al-‘Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-Irfan, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.
Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum Al-Quran, Maktabah Al-Ghazali, Damaskus, 1390.
Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Quran, terj. Rosihon Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
Rujdi Ahmad Khalil, Dirasat fi Al-Quran, Dar Al-Ma’arif, t.t.
Subhi Shahih, Mabahits fi ‘ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar