1.
Hukum
Islam Bersifat Sempurna dan Universal
Allah adalah Tuhan yang Maha sempurna, maka hukum yang Dia buat harus
sempurna pula. Karena apabila tidak, tentu berdampak pada persepsi manusia.
Mereka akan meragukan kepercayaannya mengenai adanya Tuhan di alam ini. Dalam
asma’ul husna disebutkan bahwa Ia memiliki sifat اول, أخر, ظاهر, باطن, yang pertama,
dan terakhir, yang dhohir dan batin. Jadi Ia juga memiliki hukum yang berlaku
sepanjang zaman. Bukan hanya mengatur pada aspek legal kemasyarakatan tetapi
juga mengatur kepentingan-kepentingan ukhrawi. Hal ini bisa dipahami melalui kata ظاهر, kita bisa
memaknai bahwasanya hukum yang bersifat dhohir adalah hukum yang
mengikat/mengatur tentang keduniaan. Dan bisa dikatakan cakupan hukum yang
dhohir sama dengan hukum positif yang biasa diberlakukan bagi warga negara.
Yang kedua kata باطن, kita bisa memaknai bahwasanya hukum
yang bersifat batin adalah hukum yang mengatur pada aspek ukhrawi. Dan inilah
yang tidak dimiliki oleh hukum positif lainnya.
Hukum Islam pun bersifat universal. Mencakup seluruh manusia ini tanpa
ada batasnya. Tidak dibatasi pada negara tertentu, benua, daratan, atau lautan.
Seperti halnya pada ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Misalkan,
Nabi Musa hanya mencakup pada kawasan Mesir dan sekitarnya, Nabi Isa mencakup
pada kawasan Israel, dan lain sebagainya. Ini didasarkan pada Al-Qur’an yang
memberikan bukti bahwa hukum Islam tersebut ditujukan kepada seluruh manusia di
muka bumi. Allah berfirman yang artinya : “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu
(Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, untuk membawa berita
gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (As-Saba’ : 28)
2.
Memperhatikan
Aspek Kemanusiaan dan Moral
Manusia merupakan mahluk sosial di mana ia tidak dapat hidup sendiri
tanpa adanya bantuan orang lain. Untuk itu sifat tolong menolong merupakan hal
yang wajib bagi setiap insan. Dalam hukum Islam dikenal dengan istilah ta’awun,
zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang kesemuanya itu merupakan wujud
kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi oleh nilai-nilai hukum Islam. Ayat-ayat hukum
yang menunjukkan bahwa kewajiban manusia untuk saling tolong-menolong di
jelaskan pada ayat berikut :
وتعاونوا على البر والتقوى ولا
تعاونوا على الاثم والعدوان
Artinya : “Bertolonglah-tolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa dan
janganlah kamu tolong-menolong atas (perbuatan) dosa dan permusuhan.
Yang selanjutnya adalah aspek moral, untuk membentuk suatu interaksi
sosial kemanusiaan tentu manusia harus memiliki aspek moral (akhlaq) yang baik.
Karena untuk mewujudkan pergaulan yang sehat, akhlaqlah yang menjadi pondasi
utama. Bila akhlaq itu sudah terkontaminasi dengan keburukan dan kemaksiatan,
maka tidak akan mewujudkan suatu pergaulan sosial yang baik dan nantinya juga
dapat berimbas pada pelanggaran aturan-aturan hukum positif. Dalam Al-Qur’an
surat Al-Ahzab ayat 21 disebutkan : ”Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu
terdapat suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta banyak mengingat kepada
Allah.”
3.
Dinamis
dan Elastis
Hukum Islam bersifat dinamis yang berarti mampu menghadapi perkembangan
sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat. Atau bisa
dikatakan sangat cocok untuk diterapkan pada setiap zaman. Mungkin ada beberapa
orang yang berasumsi bahwa kedinamisan suatu hukum itu tidak mungkin terjadi.
Pada dasarnya sesuatu di alam ini akan berubah, begitu juga sebuah hukum yang
sudah pasti bisa berubah sewaktu-waktu. Untuk itu, sifat dinamis ini harus
dikaitkan dengan sifat elastis (luwes). Sifat dinamis dan elastis ini dapat
kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya adalah jual beli yang
sesuai dengan syariat Islam.
4.
Sistematis
Hukum Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum Islam
itu mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Beberapa diantaranya
saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contohnya saja wajibnya
hukum shalat tidak terpisahkan dengan wajibnya hukum zakat. Itu menunjukkan
bahwa Islam tidak hanya mengajarkan aspek kebatinan saja yang mengutamakan
hal-hal ukhrawi tetapi juga diperintahkan untuk mencapai aspek keduniaan.
Al-Qur’an menyebutkan :
اعمل لدنياك كانك تعيش ابدا واعمل
لاخرتك كأنك تموت غدا
Artinya : “Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniawimu seakan-akan kamu
akan hidup selamanya dan bekerjalah kamu untuk kepentingan ukhrawimu
seakan-akan kamu akan mati besok.”
Fathurrahman Djamil mengungkapkan bahwa “hukum Islam senantiasa
berhubungan satu dengan yang lainnya. Hukum Islam tidak bisa dilaksanakan
apabila diterapkan hanya sebagian dan ditinggalkan sebagian yang lain.” Seperti
halnya ayat di atas, kita dapat menganalisa bahwa apabila kita hanya selalu
beribadah untuk mencapai akhirat dengan mengabaikan hal-hal keduniaan, pasti
pencapaian tersebut tidak akan terwujud. Karena untuk menuju kehidupan akhirat
itu tentu kita harus menjalani kehidupan dunia ini.
Apa yang dimaksud dengan kosmopolitan? Dan apa sejatinya hubungan antara Islam dengan kosmopolitanisme? Sesungguhnya, artikel ini ingin mengajak pembaca yang budiman supaya mengenali apa saja nilai-nilai Islam yang universal, atau lebih keren dapat juga kita sebut sebagai Islam kosmopolitan tersebut. Di Indonesia, kajian Islam kosmopolitan akan mudah kita temukan pada beberapa tulisan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Terutama karena Presiden RI keempat tersebut menulis buku berjudul… https://www.itsme.id/membenihkan-watak-islam-kosmopolitan/
BalasHapus