RESUME BUKU
ILMU USHUL FIKIH
Karangan Syekh Abdul Wahab Khalaf
Dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas Pengantar Ilmu Fiqih
Dosen
I: Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, Lc., M.A.
Dosen II: Drs. Didi Sumardi, M.Ag.
Disusun oleh:
Lina Fatinah
1123020052
Kelas : I/MUA/B
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
PENDAHULUAN
Ilmu fiqih
menurut istilah syar’i yaitu ilmu dengan hukum-hukum syar’i amaliah yang
dipraktekan dan dikemukakan secara mendetail atau himpunan hukum syar’i amaliah diuraikan
secara terperinci. Para ulama telah membuat suatu ketetapan bahwa dalil-dalil
yang dipergunakan terhadap hukum-hukum syar’i yang bersangkut dengan amal
perbuatan itu dikembalikan kepada empat hal, yaitu Al-Quran, sunnah, ijma dan kias. Sumber pertama
yaitu Al-Quran, kemudian sunnah menafsirkan apa yang belum jelas, mengkhususkan
yang umum, mengaitkan yang muthlak, untuk menjelaskan persoalan dan
menyempurnakannya.
Ushul fikih
menurut istilah syari’at ialah ilmu, peraturan-peraturan dan
pembahasan-pembahasan yag mana dengan itulah orang sampai mempergunakan
hukum-hukum syar’i amaliah (yang bersangkut dengan amal perbuatan) yang
menunjukkan secara terperinci atau himpunan undang-undang dan pembahasan yang
menyampaikan orang untuk mempergunakan hukum-hukum syari’at amaliah yang
menunjukkannya secara terperici.
Maudhu’ yaitu
judul pembahasan dalam ilmu fiqih, yaitu perbuatan mukallaf (orang yang sudah
mampu memikul tanggung jawab hukum) agar dapat memikul apa yang ditetapkan syari’at
terhadapnya.
Maudhu’ pembahasan dalam ilmu ushul
fikhi yaitu dalil syar’i kulli agar dapat ditetapkan dengannya hukum kulli.
Orang melakukan pembahasan dalam masalah kias
yang bersangkut dengan hujah. Masalah
a’m dan apa-apa yang
disangkutkan kepadanya dan masalah amat dan apa yang ditunjukkan kepadanya.
Untuk ini dapat dikemukakan contoh-contoh yang jelas.
Dalil itu
berbentuk umum, yang dalam
pelaksanaannya secara berangsur-angsur mengarah kepada juz-iyat. Umpamanya,
amar (perintah), nahi (larangan), a’m (berbentuk umum), ijma’ sharih
(terang-terangan), ijma’ sukuti (secara diam-diam). Kias itu ada yang dinashkan
kepada sebabnya dan ada pula kias itu yang mengambil kesimpulan dari sebabnya.
Amar kulli itu meliputi
seluruh sighat yang terdapat pada sighat amar. Sighat nahi itu dibawahnya
melingkupi seluruh sighat yang terdapat pada sighat nahi. Amar itu adalah dalil
kulli. Nash yang terdapat pada sighat nahi itu adalah dalil juz-i.
Dalil kulli itu
adalah semacam a’m dari dalil, melingkupi beberapa bagian seperti : wajib,
haram, syah, dan batal. Wajib itu adalah hukum kulli yang padanya itu meliputi
wajib menepati janji,
wajib menjadi saksi dalam pernikahan, dan sebagainya. Haram itu adalah hukum
kulli yang meliputi haram berzina, haram mencuru dan haram apa saja yang
diharamkan.
Tujuan dan
maksud ilmu fikih
yaitu menerapkan hukum-hukum syar’i terhadap perbuatan-perbuatan orang. Fikih yaitu tempat kembali
hakim dalam mengadili perkara dan mufti dalam berfatwa, tempat kembali bagi
mukallaf untuk mengetahui hukum syar’i dan apa yang bersumber daripadanya,
perkataan dan perbuatan.
Tujuan maksud
dari ushul fikih
yaitu mempraktekkan undang-undang dan melakukan penyelidikan-penyelidikan untuk
menunjukkan terperinci supaya sampai kepada hukum syar’i yang menunjukkan
kepadanya. Maka
dengan qawa’id dan pembahasan
itulah orang memahami nash-nash syar’i.
Dengan
undang-undang dan pembahasan itulah orang memahami apa-apa yang disimpulkan
oleh imam mujtahid, dan
menimbang antara jalan
pemikiran yang berbeda-beda dalam segi hukum tentang suatu peristiwa. Memahami hukum terhadap
bentuknya dan menimbang diantara hukum yang berbeda-beda itu. Hal ini tidak mungkin kecuali dengan
berdiri di atas dalil hukum dan minta bantuan hukum dari segi dalilnya. Hal ini
tidak mungkin kecuali dengan ilmu ushul fikih. Inilah yang menjadi dasar fikih
dari segi membanding-bandingkan.
Timbul hukum fikih itu bersamaan dengan
timbulnya islam. Islam itu adalah himpunan dari akidah, ibadat dan hukum-hukum
yang bersangkut dengan
perbuatan. Sebenarnya hukum ini telah ada di zaman Rasulullah SAW. Hukum itu
terambil dari apa yang terdapat dalam Al-quran dan juga hukum bersumber dari
Rasul berupa fatwa dalam suatu peristiwa atau hukum yang dijatuhkan dalam suatu
sengketa atau jawaban dari pertanyaan. Himpunan hukum fikih itu dalam perkembangannya
pertama kali dibentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasul, bersumber dari Al-Quran
dan Sunnah.
Ilmu usul fikih ini baru muncul yaitu
pada abad kedua Hijrah. Karena pada abad pertama, orang belum membutuhkannya.
Rasul berfatwa dan menjatuhkan hukuman yaitu dengan wahyu yag diterimanya dari
Allah yaitu Al-Quran dan dengan
yang mengikutinya yaitu As-sunnah dan dengan ijtihadnya sendiri. Jadi, ketika itu Rasul
belum membutuhkan ushul dan belum membutuhkan undang-undang dan belum mengambil
kesimpulan-kesimpulan. Para sahabat berfatwa dan menjatuhkan hukuman yaitu
dengan nash-nash yang mereka pelajari dengan bahasa Arab tanpa membutuhkan tata
bahasa. Dengan inilah mereka memahami nash-nash itu.
Orang yang mula-mula membukukan undang-undang
ilmu ini dan pembahasannya itu dikumpulkan tersendiri menjadi susunan yang
kuat, tiap dalil-dalil yang dikemukakanya itu dilengkapi dengan bukti-bukti
yang lengkap dalam bentuk penyelidikan ialah Imam Muhammadabi Idris As Syafi’i, meninggal pada tahun
204 Hijrah. Dia menulis risalah yang bersangkut dengan ilmu ushul ini.
Diriwayatkan oleh teman-temannya sendiri, Ar Rabi’al Muradi. Kemudian ulama
menyusun ilmu ini. Sedangkan
jalan yang ditempuh oleh ulama Hanafi adalah jalan lain.
Adapun
ulama-ulama kalam, jalannya lain. Karena mereka itu menguatkan peraturan ilmu
ini. Mereka membahas, meneliti, menyelidiki dan menetapkan apa-apa yang mereka
kuatkan dengan bukti-bukti tersebut. Hujah yang mereka kemukakan tentang
peraturan ini tidak
dibicarakan penjang lebar terhadap apa yang
disimpulkan oleh imam-imam mujtahid dalam segi hukum dan tidak diikatkan dengan
furu’ (cabangnya). Terhadap apa yang dikuatkan oleh akal maka di sanalah
berdirinya bukti-bukti. Itulah dia usul syar’i.
Kebanyakan dari
mereka ini adalah ahli-ahli yang termasyhur mazhab syafi’i dan maliki. Kitab
ushul yang masyhur yang disusun orang berdasarkan metode ini ialah kitab
Al-mushafa oleh Abu Hamid Al-Ghozali As Syafi’i, meninggal pada ahun 635 Hijrah. Kitab
Al-Ahkam oleh Abu Hasan Al Amadi As Syafi’i,
meninggal pada tahun 631 Hijrah. Kitab Al Minhaj oleh Baidhawi As Syafi’i, meninggal
pada tahun 675 hijrah, dan
yang paling bagus syarah (tafsir) Al Azanawi.
Ulama Hanafi
juga jalannya berbeda. Karena mereka menepatkan peraturan itu.
Pembahasan-pembahasan yang
bersangkut dengan ushul (pokok atau yang menjadi dasar dalam ushul fiqih)
menurut pendapat mereka, imam-imam mereka
lah yang membina ilmu ini berasarkan
ijtihad mereka.
BAB I
DALIL-DALIL SYARIAT
Dalil
dalam bahasa Arab artinya orang yang menunjuki kepada siapa saja, baik hadiah
(apa yang dapat diserap oleh panca indera), maupun ma’nawi (yang berada dalam
jiwa) tentang baik dan buruk. Adapun artinya menurut istilah ushul yaitu apa yang
berdasarkan pandangan yang benar terhadap hukum syar’i yang berkenaan dengan
perbuatan atas jalan qath’i (pasti) atau dzan (persangkaan). Menunjukkan
dasar-dasar hukum, tempat pengambilan bagi syar’i, lafadz-lafadz yang mutaradif
(sinonim) yang artinya sama.
Ada pula yang
mengartikan dalil itu apa-apa yang diperlukan oleh syar’i yang berkenaan dengan amal
perbuatana secara pasti. Namun, yang
masyhur dalam istilah ushul, dalil artinya apa yang dipergunakan daripadanya oleh hukum
syar’i yang berkenaan dengan
mal perbuatan secara mutlak.
Dalil Syar’i dengan Ijma
Telah
ditetapkan dengan suatu ketetapan bahwa dalil syar’i yang dipergunaan oleh
hukum amaliah itu dikembalikan kepada empat hal yaitu Al-Quran, sunnah, ijma,
dan kias.
Bila terdapat
dasar hukum yang lain harus dikembalikan kepada dasar hukum yang empat itu.
Ulama-ulama kenamaan belum sependapat selain dari yang empat itu dijadikan
hukum. Ada di antara Ulama itu yang berpendapat bahwa keempat dasar hukum itu
hanya untuk hukum syar’i dan adapula di antara mereka itu yang menentang, yang
masyhur mengenai dasar hukum itu adalah enam perkara, yaitu :
1.
Istihsan
2.
Muslahah marsalah
3.
Al-Istish-hab
4.
Al-Arfu
5.
Mazhab sahabat
6.
Syari’at yang sebelum
kita
Kemudian
dalil syar’i dijadikan sepuluh. Empat diantaranya telah disepakati untuk
dijadikan dalil, dasar hukum. Yang enam lagi masih terdapat perbedaan pendapat.
1.
AL-QURAN
Al-Quran adalah perkataan Allah yang diturunkan oleh Ruhul Amin ke dalam hati
Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafadz bahasa Arab berikut artinya,
supaya menjadi hujjah bagi Rasulullah SAW bahwa dia adalah seorang utusan Allah
SWT, menjadi undang-undang dasar bagi orang-orang yang mendapat petunjuk dengan
petunjuk Allah.
Di antara keistimewaan Al-Quran itu ialah lafadz dan maknanya dari Allah
SWT, lafadz-lafadz berbahasa Arab itulah yang diturunkan Allah ke dalam hati
nabi. Kerja Rasul itu tidak lain selain dari meneruskan dan
menyampaikan. Dari sinilah
bercanang-canang sebagai berikut :
1.
Apa yang diilhamkan
Allah kepada Rasul itu berupa makna-makna, bukan diturunkan berbentuk
lafadz-lafadznya.
2.
Menafsirkan surat atau ayat
dengan lafadz bahasa Arab.
3.
Terjemah surat atau
ayat dengan bahasa Asing (yang bukan bahasa Arab).
Di
antara keistimewaan Al Quran itu ialah perpindahannya itu jelas, terang.
Bukti
bahwa Al Quran itu adalah hujah terhadap orang
dan hukum-hukum Al-
Quran itu merupakan undang-undang yang wajib bagi orang mengikutnya yaitu
datangnya dari Allah, berpindah kepada orang dari Allah dengan jalan yang
qath’i, tidak diragukan tentang sahnya itu.
Arti a’jaz dan
rukun-rukunnya
A’jaz dalam bahasa arab artinya
lemah, itu dibangsakan kepada lainnya dan tetap demikian.
Jangan memantapkan a’jaz, artinya dia
tetap tidak berdaya terhadap lainnya, kecuali bila cukup mempunyai tiga hal.
Pertama,
bertanding. Artinya minta berlomba, bertempur dan menyanggah.
Kedua,
terdapat keinginan yang membawa sikap bertanding itu kepada perlombaan,
perkelahian dan penyanggahan.
Ketiga,
meniadakan yang menghalangi perlombaan itu.
Al-Quran
itu terdiri dari enam ribu ayat lebih. Melihat apa yang dimaksud dengan takbir,
dengan kata-kata yang bermacam-macam dan metode yang bermacam-macam.judul-judulnya
itu banyak yang berkaitan dengan akidah, akhlak dan menurut penyelidikan, ada yang bersangkut dengan
segala yang ada dalam segi kemasyarakatan dan perasaan hati. Tidak terdapat
dalam kata-katanya itu hal-hal yang tidak berfaedah.
Kedua, ayat-ayat yang tadinya tertutup
sekarang disingkapkan oleh ilmu menurut penyelidikan ilmiah.
Menurut kenyataan, orang sekaranglah
yang sampai kepada hakikat ilmu karena berdasarkan kepada ayat Al Quran.
Pembahasan ilmiah sekarang telah menyingkapkan rahasia segala yang ada di alam ini.
Ketiga, memberitahukan tentang
kejadian-kejadian yang tidak diketahui orang. Al Quran memberitahukan dari hal
kejadian-kejadian di masa yang akan datang, tidak seorang pun yang
mengetahuinya.
Al Quran menceritakan kisah bangsa-bangsa yang telah lenyap.
Tidak ada orang yang mengetahui kisahnya
itu. Ini merupakan suatu dalil yang menunjukkan bahwa Al Quran itu adalah dari
Allah yang olehnya tidak ada yang tersembunyi di masa datang, masa yang lalu
dan masa yang akan datang.
Ada tiga macam hukum
yang terdapat dalam Al-Quran, yaitu :
Pertama,
hukum i’tiqadiah, yaitu yang bersangkut apa-apa yang diwajibkan kepada mukallaf
tentang i’tiqadnya kepada Allah, Malakat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya,
dan hari kiamat.
Kedua, hukum khulqiah,
yaitu yang bersangkut dengan apa yang diwajibkan kepada mukallaf, akan meningkatkan
moral, budi pekerti, adab sopan santun, dan menjauhkan diri dari sikap yang
tercela.
Ketiga, hukum amaliah,
yaitu yang bersangkut dengan apa yang bersumber dari perkataan, perbuatan,
perjanjian, dan segala macam tindakan.
Hukum
amaliah itu dalam Al-Quran mengatur dua macam hal .Pertama, hukum ibadat, kedua
hukum muamalat. Hukum muamalat bermacam-macam:
1.
Hukum ahwalul syahsyiah,
yaitu yang bersangkut dengan keluarga. Yang dimaksud ialah mengatur hubungan
suami isteri dan karib kerabat. Dalilnya dalam Al Quran, kira-kira tujuh puluh
ayat.
2.
Hukum mahduniah, yaitu
yang bersangkut dengan
muamalah pribadi, tukar-menukar dalam jual beli, upah-mengupah, rungguan,
jaminan, perkongsian.
Bertujuan mengatur hubungan pribadi yang bersangkut dengan harta benda.
3.
Hukum jinayah, yaitu yang
bersangkut dengan apa yang bersumber dari mukallaf tentang kejahatan dan apa
yang sepatutnya menerima sanksi hukuman. Tujuannya ialah memelihara kehidupan
orang, hartanya, nama baiknya dan hak-haknya. Dalilnya dalam Al-Quran kira-kira
tiga puluh ayat.
4.
Hukum murafi’at, yaitu
yang bersangkutan dengan hukum, saksi dan sumpah. Tujuannya ialah mengatur
keberanian untuk mewujudkan keadilan di antara orang banyak. Dalilnya dalam Al
Quran kira-kira tiga belas ayat.
5.
Hukum dusturiah, yaitu
apa yang bersangkut dengan peraturan hukum dengan asal-usulnya. Tujuannya ialah untuk
membatasi hubungan pemerintah dan warga negara. Menetapkan hak-hak pribadi dan
masyarakat. Dalilnya dalam Al Quran, kira-kira ada sepuluh ayat.
6.
Hukum dauliah, yaitu yang bersangkut
dengan pergaulan Negara islam dengan yang bukan islam, dan pergaulan orang yang
bukan muslim di dalam Negara islam. Tujuannya yaitu membatasi hubungan
Negara-negara islam dengan negara-negara lain di waktu damai dan waktu
perang. Dalilnya dalam Al Quran kira-kira dua puluh lima ayat.
7.
Hukum iqtishadiah wat maliah yaitu yang bersangkut dengan hak
orang meminta dan yang diharamkan dalam hal harta kekayaan, mengatur pemasukan
dengan pegeluaran. Tujuannya ialah mengatur yang menyangkut harta antara
orang kaya dan orang miskin. Dalinya dalam Al-Quran kira-kira ada sepuluh ayat.
Perlu
diketahui bahwa dalil ayat Al-Quran, ada yang qathi’
dan ada pula yang dzan.
2.
SUNNAH
Sunah
adalah apa yang bersumber dari rasul, perkataan, atau perbuatan atau ketetapannya.
Macam-macam sunnah:
1.
Sunah
qauliah adalah hadis-hadis yang diucapkan Nabi Muhamad SAW,
contoh hadis Nabi tentang jangan merusak dan jangan menyusahkan atau tentang binatang laut
itu halal.
2.
Sunah fi’liah
adalah perbuatan–perbuatan Nabi Muhamad SAW, seumpamanya mengerjakan
sembahyang yang lima kali sehari
semalam,
dengan cara-cara dan rukun –rukun.
3.
Sunah takririah
adalah apa yang ditetapkan Rasullulah SAW,dari apa yang bersumber dari sebagian
sahabat, berupa perkataan, perbuatan-perbuatan
dan berdiam diri saja dan tidak mengingkarinya atau dengan menyetujuinya
dan menyatakan kebaikan-kebaikannya. Maka diambil pelajaran dari ketetapan ini,
dan menyetujui perbuatan yang bersumber
dari Rasul itu sendiri.
Bukti-bukti
terhadap Hujah Sunnah itu Banyak
Pertama,
nash Al-Quran.
Kedua, ijma’
sahabat, diwaktu Nabi masih hidup dan sesudah wafatnya, wajib mengikuti
sunahnya.
Ketiga,
di dalam Al-Quran
itu terdapat hal-hal yang diwajibkan kepada orang untuk menjalankannya. Tapi Al-Quran itu tidak
menguraikan dengan terperinci tentang hukum-hukumnya dan bagaimana
cara-caranya.
Menisbahkan sunnah kepada Al-Quran itu dari sudut
hukum yang terdapat dalam Al-Quran. Maka jangan memakai salah satu drai tiga pertama.
1.
Adakalanya sunah itu
merupakan suatu ketetapan dan menguatkan hukum yang terdapat di dalam Al-Quran.
2.
Adakalanya sunah itu
merupakan engsel pintu dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran itu secara mujmal
(global).
3.
Adakalanya sunah itu
menetapkan hukum dan membuat hukum. Karena ada dalam beberapa hal Al-Quran itu bersikap
sukut (tidak mengaturnya).
Pembagian sunah
Dengan mengambil I’tibar
dari sunah Rasulullah,
maka sunah dapat dibagi atas tiga bagian:
1.
Sunah mutawatir
yaitu apa yang dirawikan dari Rasul itu, semua orang sepakat mengatakan hadis
ini tidak bohong, karana orang yang merawikannya banyak semuanya dapat dipercaya.
2.
Sunah masyhur, yaitu
orang yang merawikan hadis dari Rasullulah SAW itu hanya seorang, atau dua
orang, atau tiga orang atau lebih tapi belum sampai ke batas mutawatir.
3.
Sunah uhad.
Perbedaan sunah mutawatir, sunah masyhur dan sunah uhad :
Sunah mutawatir, tiap-tiap lingakaran (rombongan ) orang dalam silsilah
sanadnya itu berturut-turut, sejak permulaan di terimanya dari rasul sampai
kepada kita. Adapun sunah masyhur halaqah pertama, tidak semua sanadnya itu
mutawatir. Tapi yang menerima dari Rasul itulah hanya seorang, atau dua orang,
atau jama. Namun jamanya itu sebelum sampai jama mutawatir. Seluruh halaqohnya
merupakan jama. Sedangkan sunat uhad yang merawikanya itu hanya seoran , atau
dua orang, atau jama, tidak sampai ke batas mutawatir, yang merawikan
berikutnya dan berikutnya itu sama saja.
Perkataan dan
perbuatan Rasulullah yang tidak disyari’atkan
1.
Apa
yang bersumber dari Nabi itu merupakan
tabi’at manusia. Seperti duduk, berdiri, berjalan dan sebagainya. Karena, itu
bukan bersumber dari risalahnya.
2.
Apa yang bersumber dari
itu berupa pengetahuan manusia, kepintaran dan percobaan-percobaan dalam masalah duniawi seperti berdagang,
bertani dan sebagainya.
3.
Apa yang bersumber dari
Rasulullah SAW berdasarkan dalil-dalil syar’i
yaitu hal-hal yang khusus bagi nabi SAW.
4.
IJMA’
Ijama menurut istilah ushul fikih adalah sepakat para mujtahid muslim
memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasul terhadap hukum syar’i .
Rukun- rukun Ijma :
1.
Pada terjadinya
peristiwa itu mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
2.
Sepakat atas hukum
syar’i tentang suatu peristiwa.
3.
Pada kesepakatan
itu dimulai yaitu tiap-tiap mujtahid mengeluarkan pendapat terang terangan
tentang suatu peristiwa.
4.
Menetapkan
kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum.
Hujma, Hujjah bahwa Ijma wajib diikuti dan tidak boleh
berbeda dengannya.
5.
Didalam al-quran,
sebagaimana diketahui Allah memerintahkan kepada orang mukmin itu harus taat kepada Allah, Rasul, dan Aulil Amri.
(An-nisa : 59, 83, 115)
6.
Hukum yang
disepakati adalah hasil pendapat mujtahid umat islam.
7.
Ijma terhadap hukum
Syar’i itu tidak dapat tidak harus dibina diatas rangkaian Syariat.
Macam-macam
Ijma
:
Ditinjau dari sudut
menghasilkan hukum maka ijma terbagi kedalam dua macam:
1.
Ijma sharih (bersih atau murni) yaitu kesepakatan mujtahid
terhadap hukum mengenai suatu peristiwa.
2.
Ijma sukuti yaitu
sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan pendapatnya dengan fatwa atau
memutuskan suatu perkara, dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti
dia menyetujui atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam
mengupas suatu masalah.
Adapun ditinjau dari pihak ini, maka ijma itu ada yang
qath’i dan ada yang dzan.
1.
Ijma’ qath’i, yaitu
ijma’ shahih dengan pengerian bahwa hukumnya itu di qath’ikan olehnya. Tidak
ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa dengan danya khilaf (perbedaan
pendapat).
2.
Ijma’ dzanni, yang
menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma’ dzanni dengan pengertian bahwa hukumnya
itu masih diragukan. Dzan itu juga kuat, tidak
boleh mengeluarkan peristiwa dari
lapangan yang dibentuk oleh ijtihad.
8.
QIYAS
Qiyas menurut istilah ushul fikih adalah menyusul peristiwa yang tidak
terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya dalam
hal hukum yang terdapat nash untuk penyamaaan dua peristiwa pada sebab hukum
ini.
Contoh-contoh Qiyas:
Pertama, haram hukumnya meminum khamer berdasarkan firman Allah
surat (Al-maidah : 90) sebabnya ialah karena memabukkan. Maka tiap-tiap air
buah yang didalamnya terdapat sebab yang sama dengan khamer dari segi hukumnya
maka diharamkan meminumnya.
Kedua,
peristiwa ahli waris membunuh yang mewariskan sesuatu itu oleh nash ditetapkan
hukumnya.
Menurut ulama-ulama bahwa qiyas
merupakan hujjah Syar’i terhadap hukum akal qiyas ini menduduki tingkat ke
empat hujjah syar’i sebab apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat hukum
yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu diqiyaskan kepada peristiwa yang
bersamaan sebelum sanksi hukum itu dijatuhkan kepadanya.
Menurut mazhab nizamiah, zahiriah dan ada beberapa cabang
dari syi’ah mengataan bahwa qiyas itu tidak boleh dijadikan hujjah syar’i
terhadap hukum.
Tiap-tiap
kias itu terdiri dari empat rukun, yaitu :
1.
Ashal, yaitu apa yang
terdapat nash dalam hukumnya
itu. Dinamakan juga : muqayas alaih, mahmul alaih, dan musyabah bih.
2.
Furu, yaitu apa yang
tidak terdapat nash dalam hukumnya. Maksud menyamakannya dengan ashal pada
hukumnya, dinamakan : muqayas, mahmul alaih,
musyabah.
3.
Hukum ashal, yaitu
hukum syar’i,
yang terdapat nash pada ashal itu, dimaksud akan menjadi hukum furu.
4.
Illat, menyifatkan
sesuatu yang dibina atasnya hukum ashal, dan dibina atas wujudnya pada furu’
itu disamakan dengan ashal pada hukumnya.
Dua
diantara empat rukun itu, ashal dan furu’, keduanya itu waqi’, atau keduanya
amar. Salah satu dari keduanya itu menunjukkan hukumnya nash. Yang satu lagi
tidak ada nash yang menunjukkan hukumnya itu.
Adapun
rukun yang ketiga, yaitu hukum ashal. Di sini disyaratkan supaya dita’dikan
syarat itu kepada furu’. Karena bukan setiap-tiap hukum syar’i itu ditetapkan
dengan nash dalam suatu masalah. Adalah syah menta’dikan dengan perantaraan
kias kepada masalah lain. Malah disyaratkan pada hukum dita’dikan kepada furu’
dengan kias. Syarat-syaratnya adalah :
Pertama,
hukum syar’i amaliah itu ditetapkan dengan nash.
Kedua,
adanya hukum pokok.
Ketiga,
hukum ashal itu tidak dikhususkan dalam dua hal. Yaitu apabila illat hukum itu
tidak menggambarkan adanya pada selain ashal dan ada dalil yang menunjukkan
kekhusuan hukum ashal seperti hukum yang menunjukkan dalil adanya ketentuan khusus
bagi Rasul.
Adapun
rukun yang keempat, yaitu illat kias. Inilah rukun yang terpenting, karena
illat kias itu merupakan asas.
Illat yaitu menyifatkan sesuatu kepada dasar, dan di atasnya dibina
hukumnya dan dengannya itu diketahui adanya hukum itu pada furu’.
Illat
hukum yaitu perintah zahir yang dibina hukum di atasnya dan mengikat wujud dengan adam. Karena
pembinaan atasnya itu mengikat dengannya, maka orang akan membenarkan tasyri’
hukum.
Syarat-syarat illat ada
empat :
1.
Sifatnya
itu jelas.
2.
Adanya
sifat terkuat.
3.
Sifatnya itu sesuai.
4.
Yang disifatkan kepada
ashal itu tidak boleh pendek.
Pembagian
illat :
Bila ditinjau dari segi i’tibar (pelajaran yang dapat diambil daripadanya)
syari’at illat itu dibagi atas wujudnya dan adamnya.
Dari pihak i’tibar syariat bagi penyesuaian itu, ahli-ahli ushul membagi
sifat yang bersesuaian ini kepada empat macam, yaitu : penyesuaian Al-muatsar,
penyesuaian Al-Mabaim, Penyesuaian Al-Mursal, dan penyesuaian Al-Malaghi.
Keterangan dari keempat pembagian tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Al-manasib Al-Muatsir,
yaitu menyifatkan sesuatu yang sesuai, disusun oleh syar’i hukum atas kesepakatan dan
ditetapkan dengan nash, ijma’ atau i’tibar dengan ‘ain illat bagi hukum yang
disusun atas kesepakatan.
2.
Al-Manasib Al-malaim,
yaitu tindakan yang sesuai hukum yang disusun oleh syar’i sesuai kesepakatan.
3.
Manasib mursal, yaitu washaf yang tidak
disusun oleh syar’i, yang merupakan hukum atas kesepakatan.
4.
Manasib malgha, yaitu
washaf yang menjelaskan bahwa dalam membina hukum, perlu dimantapkan kemashlahatan.
Masalik
al-illat (jalan-jalan yang akan menyampaikan
kepada ma’rifatnya) yang masyhur, yaitu :
1.
Nash, apabila nash Al
Quran dan sunnah itu menunjukkan bahwa illat hukum ialah washaf ini.
2.
Ijma
3.
Sabrun dan taqsim.
Sabrun artinya percobaan (testing). Taqsim artinya mempersempit sifat-sifat,
karena adanya illat dalam ashal.
5.
ISTIHSAN
Istihsan
menurut bahasa ialah mengembalikan
sesuatu kepada yang baik. Menurut istilah ushul yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid dari kias jalli (jelas) kepada jias khafi (yang
tersembunyi) atau dari hukum kulli kepada hukum istisnai.
Berdasarkan pengertian
tersebut, istihsan terbagi ke dalam dua bagian :
1.
Kias hafi itu
menguatkan kias jalli.
2.
Istisna juz-iah itu
dari hukum kulli dengan dalil.
Kias zahir, peristiwa ini dihubungkan
antara yang mendakwa dan yang membantah. Di sini dibebankan bukti kepada yang mendakwa
dan sumpah bagi yang mengingkari.
Kias khafi, peristiwa ini dihubungkan
kepada setiap peristiwa yang dihadapi hakim. Antara kedua belah pihak itu
saling mendakwa.
Menurut ahli-ahli fiqih mazhab
hanafi, sisa yang dimakan oleh binatang buas seperti burung garuda, burung
gagak, sekalipun suci dan baik namun dianggap najis secara kias.
Bentuk kias, sisa yang dimakan oleh
binatang yang haram dagingnya itu seperti binatang buas, mengikut kepada hukum
dagingnya.
Bentuk
istihsan, burung buas itu haram
dagingnya. Selain itu, air ludah yang keluar dari dagingnya bukan bercampur
dengan sisa yang dimakannya itu. Maka dalam hal ini dianggap najis sisa-sisa
barang yang dimakannya itu.
6.
MASHLAHAT
MURSILAH
Mashlahat
mursilah artinya mutlak. Dalam istilah ushul yaitu kemaslahatan yang tidak
disyari’atkan oleh syar’i hukum untuk ditetapkan dan tidak ditunjukkan oleh
dalil syar’i untuk mengi’tibarkannya atau membatalkannya.
Dinamakan mutlak karena tidak dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau
dalil yang membatalkannya.
Menurut ulama-ulama terkemuka, mashlahat mursilah itu merupakan hujah
syari’ah, di atasnya itu dibina syari’at hukum.
Dalil-dalil yang
dikemukakan orang dalam masalah ini ada dua.
Pertama:
memperbaharui kemashlahatan masyarakat dan tidak mengadakan larangan-larangan.
Kedua: ketetapan tasyri’
sahabatdan tabi’in, begitu juga imam-imam mujtahid. Nyatanya mereka mensyari’atkan
hukum untuk menetapkan secara mutlak kemashlahatan masyarakat.
Syarat-syarat untuk
dijadikan hujjah :
1.
Mashlahah hakikat,
bukan masalah wahamiah (angan-angan).
2.
Kemaslahatan umum,
bukan kemashlahatan perorangan.
3.
Tasyri itu tidak boleh
bertentangan bagi kemaslahatan hukum ini atau prinsip-prinsip yang ditetapkan
dengan nash atau ijma.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa mashlahah mursilah yang tidak memakai syar’i dengan
penjelasannya dan tidak pula dengan membatalkannya maka di sini tidak dibina syar’i
padanya.
Ada
dua dalil yang dikemukakan orang.
Pertama,
syar’i itu memelihara setiap kemashlahatan orang berdasarkan nash dan apa yang
dikemukakan oleh kias.
Kedua,
tasyri’ itu dibina di atas mashlahah mutlak.
7.
AL-ARFU
Al-
arfu yaitu apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang, berupa
perkataan, perbuatan, atau meninggalkan. Al-arfu dinamakan juga adat.
Macam-macam
Al-arfu
Al-arfu
terdiri dari dua macam. Arfu yang
shahih dan arfu yang fasid. Arfu yang
shahih yaitu apa yang saling diketahui orang, tidak menyalahi dalil syariat,
tidak menghalalkan hal yang haram dan tidak membatalkan yang wajib.
Adapun
arfu fasid yaitu apa yang saling dikenal orang, tapi berlainan dari syari’at,
atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan yang wajib.
8.
ISHTISH-HAB
Ishtish-hab
menurut bahasa yaitu pelajaran yang terambil dari sahabat Nabi SAW. Sedangkan
menurut istilah ushul yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya,
sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan itu.
Istish-hab itu lain dari dalil syar’i yang menjadi dasar bagi mujtahid
untuk mengetahui hukum, tentang apa yang dikemukakan kepadanya. Ahli
ushul mengatakan selain dari lingkungan fatwa dan hukum terhadap sesuatu itu
maka tetap demikian adanya sebelum ada dalil yang mengubahnya.
9.
SYAR’I
MAN QABLANA
Al-Quran dan sunah sahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari
hukum syar’i, yang disyari’atkan Allah kepada umat yang telah dahulu dari kita.
Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada
Nabi SAW juga oleh Tuhan telah disampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada
hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa
peraturan-peraturan yang wajib kita
ikuti.
Menurut mazhab Hanafi begitu juga ada beberapa orang dari mazhab maliki dan
syafi’i mengatakan syari’at yang kita punyai itu harus kita ikuti dan kita
praktekkan seperti apa yang dikisahkan kepada kita.
Menurut sebagian ulama, sebenarnya tidak ada syari’at yang kita punyai,
karena syari’at kita ini mencabut syari’at yang terdahulu. Kecuali
bila terdapat dalam syari’at kita apa-apa yang ditetapkannya. Karena syari’at
kita menasikhkan syari’at yang dahulu, yaitu apa saja yang berlainan
daripadanya.
10. MAZHAB SAHABAT
Setelah
Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah
jemaah sahabat. Mereka itu mengetahui fiqih, ilmu pengetahuan dan apa-apa yang
biasa disampaikan oleh Rasul, memahami Al-quran dan hukum-hukumnya. Inilah yang
menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang terjadi. Beberapa perawi dari
para tabi’in merawikan dan membukukan hadits, sehingga ada diantaranya yang menulis
riwayat, di samping sunah Rasulullah SAW.
Tidak ada perbedaan pendapat
mengenai perkataan para sahabat. Apa-apa yang tidak terfikir oleh rai dan akal dapat dijadikan hujah. Karena,
perkataan mereka-mereka
tidak disampaikan kecuali mereka sendiri mendengarnya dari Rasulullah SAW.
BAB II
HUKUM SYARIAT
1.
HAKIM
Hakim
yaitu orang yang merupakan sumber dari hukum. Tidak ada perbedaan pendapat yang
mengatakan bahwa hakim itu Allah. Yang diperbedakan
hanya tentang mengetahui hukum Allah SWT.
Tentang perbedaan ini maka Ulama itu dapat dibagi tiga, yaitu :
a.
Mazhab Al-Asy’ariyah,
pengikut Abu Hasan Al-Asy’ary mengatakan bahwa tidak mungkin akal mengetahui
hukum Allah dalam perbuatan mukallaf, kecuali dengan perantaraan Rasul dan
Kitab. Asas mazhab ini ialah: yang dianggap baik dari perbuatan mukallaf itu
yaitu apa yang ditunjukkan oleh syar’i.
b.
Mazhab Mu’tazilah,
yaitu pengikut Washil bin Atha’. Mazhab ini beranggapan bahwa ada kemungkinan
orang mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf itu dengan sendirinya,
tanpa perantaraan Rasul dan Kitabnya. Asas mazhab ini ialah yang baik
dikerjakan menurut pertimbangan akal, maka itulah yang baik. Begitupun dengan
yang buruk.
c.
Mazhab Maturidiah,
yaitu pengikut Abu Mansur Maturidi. Inilah mazhab pertengahan dan sederhana,
yakni menguatkan ra’i
(kemampuan berfikir).
2.
HUKUM
Hukum
syar’i dalam istilah ushul yaitu pembicaraan syar’i bersangkut dengan
perbuatan mukallaf. Adapun syar’i menurut istilah fuqaha yaitu berita yang
melakukan pembicaraan syar’i dalam perbuatan, seperti wajib, haram, dan mubah.
Hukum
syar’i terbagi dua, hukum taklify dan hukum wadh’i. hukum taklify yaitu apa yang
berkehendak minta perbuatan mukallafat atau memberhentikan dari membuat atau memilih
antara memperbuat dan memberhentikan.
Adapun hukum wadh’i yaitu apa yang berlaku menempatkan suatu sebab bagi sesuatu
atau syarat untuknya, atau yang melarang daripadanya.
Pembagian
hukum taklify
a.
Wajib, yaitu apa yang
diminta syar’i membuatnya dari mukallaf. Permintaan itu secara pasti. Wajib
dibagi atas empat bagian.
Pertama,
wajib itu ditinjau dari pihak yang melakukannya, yaitu wajib mutlak dan wajib
muaqad.
Kedua,
wajib itu dibagi dari pihak yang meminta untuk membayarkan, yaitu wajib ‘aini
dan wajib kifa’i.
Ketiga,
ditinjau dari pihak banyaknya permintaan, yaitu wajib terbatas dan wajib tidak
terbatas.
Keempat,
wajib mu’ayyan dan wajib mukhayar.
b.
Mandub, ialah apa yang
diminta oleh syara’ itu diperbuat oleh mukallaf, tapi tidak dipastikan. Mandub terbagi dua.
Pertama,
mandub yang diminta memperbuatnya atas bentuk ta’kid (menguatkan), yaitu tidak
berdosa meninggalkannya tapi berhak mendapat celaan dan cercaan.
Kedua,
mandub zaid, yaitu yang sunat ini dipergunakan untuk kesempurnaan-kesempurnaan
bagi mukallaf.
c.
Haram, yaitu apa yang
diminta oleh syar’i menghentikan perbuatannya, permintaan secara pasti.
d.
Makruh, yaitu apa yang
diminta oleh syar’i
dari mukallaf itu
menghentikan pekerjaannya. Permintaan itu tudak pasti.
e.
Mubah, yaitu apa-apa
yang disuruh pilih oleh syar’i kepada mukallaf antara memperbuat dan meninggalkannya.
Pembagian hukum wadh’i
a.
Sebab, yaitu apa yang
dijadikan alamat oleh syar’i
terhadap musababnya, dan mengikat adanya musabab itu dengan wujudnya adam (tidak
adanya) dengan adamnya.
b.
Syarat, yaitu apa yang terhenti wujud
hukum itu atas wujudnya, dan tidak bercerai
dari adamnya itu adam hukum. Yang dimaksud dengan wujudnya itu ialah syar’i
yang disusun hadits di atasnya.
c.
Mani’, yaitu apa yang
tidak terpisah dari adanya dan tidak adanya hukum. Dalam ushul fiqih yaitu
perintah di samping menetapkan sebab dan mencukupi syarat-syaratnya.
d.
Rukhsah dan azimah.
Rukhsah yaitu apa yang disyariatkan Allah dari hal hukum–hukum yang meringankan
kepada mukallaf dalam hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan. Ulama hanafi membagi rukhsah
ini menjadi dua bagian, rukhsah tarfiah dan rukhsah isqath. Sedangakn azimah
yaitu apa yang disyari’atkan Allah berasal dari hukum-hukum umum yang tidak
dikhususkan dengan hal selain dari hal dan tidak pula mukallaf selain dari
mukallaf.
e.
Sah dan batal.
3.
MAHKUM
FIH
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang
bersangkut dengan hukum syar’i.
Syarat
sahnya taklif itu dengan perbuatan, disyaratkan dalam perbuatan yang syah
menurut syari’at itu, taklif itu memiliki tiga syarat yaitu:
Pertama,
diketahui bahwa mukalaf itu mempunyai ilmu yang sempurna, sehingga mukallaf itu
sanggup melaksanakan menurut apa yang
diminta kepadanya.
Harus pula diperhatikan bahwa yang dimaksud
dengan ilmu mukallaf ialah apa-apa yang
dipikulkan kepada mukallaf dan dengan
itulah dia mengetahuinya. Bukan mengetahuinya itu dengan perbuatan. Apabila
orang itu baligh
dan berakal, dia sanggup mengetahui hukum-hukum syar’i dengan sendirinya atau bertanya kepada
orang-orang yang mengetahuinya, maka orang itu sudah dianggap orang yang
mengetahui tentang apa yang harus dipikulnya tanggung jawab tentang hukum. Dia harus mematuhi
hukum-hukum dan wajib melaksanakan perintah-perintah yang terdapat dalam hadits
Nabi SAW dan diterima udzur karena bodohnya mengatakan tidak tahu. Untuk ini
fuqaha mengatakan di Negara-negara Islam tidak diterima udzur bodoh alasan
mengatakan tidak tahu tentang
hukum syar’i. Kalau
sekiranya yang menjadi syarat taklif itu yaitu ilmu mukallaf, maka perintah itu
tidak akan jalan.
Kedua,
hendaklah taklif itu bersumber dari orang yang memunyai kekuasaan taklif
(paksaan).
Ketiga,
perbuatan mukallaf itu adalah memungkinkan. Dalam hal ini si mukallaf itu
sanggup memperbuatnya atau menahan diri terhadap perbuatan itu. Dan yang
menjadi ciri dari syarat ini adalah :
1.
Tidak syah menurut
syar’i, paksaan itu terhadap
hal-hal yang mustahil.
2.
Tidak syah menurut
syari’at memaksa si mukallaf mengerjakan lain dari pekerjaannya, apa yang tidak
sanggup dikerjakannya.
4.
MAHKUM
ALAIH
Mahkum alaih yaitu perbuatan mukallaf
yang menyangkutkan hukum syar’i, dan disayaratkan si mukallaf itu untuk
mensyahkan taklifnya
menurut syari’at atas dua syarat.
Pertama,
hendaklah dia mampu memahami dalil taklif bahwa dia mampu memahami
undang-undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-quran dan sunnah.
Kedua.
Dia ahli tentang tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya itu. Ahli menurut
bahasa yaitu baik tindakannya. Dikatakan bahwa si polan itu ahli untuk melihat
pendirian. Artinya, baik penglihatannya itu. Adapun menurut istilah ushul, ahli
itu terbagi dua. Ahli wajib dan ahli menjalankannya. Ahli wajib, yaitu baik
tindakan seseorang itu karena dia tetap mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban yang
diwajibkan kepadanya.
Adapun
keahlian bertindak yaitu baiknya tindakan mukallaf. Menurut syari’at ialah
perkataan dan perbuatan-perbuatannya. Dari sinilah bersumbernya perjanjian atau
tindakan-tindakan lainnya di’itibarkan sebagai syari’at.
Seseorang itu dinisbahkan kepada
keahlian yang diwajibkan itu mempunyai dua hal. Pertama, ada orang yang ahli wujub
yang dipunyai itu kurang. Setelah diperbaiki maka tetap baru tetap mempunyai
hak. Contohnya yaitu janin yang masih berada dalam perut ibunya.
Kedua, ada orang yang ahli wujub yang
dipunyai itu sempurna. Apabila baik orang ini maka dia tetap mempunyai hak-hak
dan ada kewajiban yang diwajibkan kepadanya.
Keadaan seseorang
dinisbahkan kepada keahlian bertindak
Orang yang dinisbahkan kepada keahlian
bertindak itu mempunyai dua hal, yaitu :
Pertama,
pada mulanya dia tidak ahli bertindak atau sudah hilang. Seperti anak-anak dan
orang gila.
Kedua,
ada pula orang yang kurang ahli bertindak yaitu orang yang telah mumayyiz tapi
belum baligh, contohnya anak-anak.
BAB
III
UNDANG-UNDANG
USHUL LUGHAWI
Tidak
diperbolehkan menurut undang-undang dan tidak dibenarkan oleh akal fikiran
syar’i menyusun undang-undang
atau peraturan-peraturan bahasa dan mengharap supaya orang memahami
lafadz-lafadz dan kata-katanya itu. Menurut metode-metode yang berlaku dan mempergunakan
bahasa lain. Syarat syahnya taklif undang-undang itu ialah sesuai dengan kadar
kesanggupan mukallaf untuk memahaminya.
Atas inilah maka
qawa’id memberi
baris huruf yang ditetapkan oleh ahli ushul fiqih yaitu dengan jalan
menunjukkan lafadz atas makna (arti) dan mempergunakan sighat yang umum
dipakai. Dan apa yang menunjukkannya kepadanya itu lafadz a’m, mutlak dan musytarak.
Kaidah
Pertama (Cara Menerangkan Hadits)
Nash syar’i atau
undang-undang wajib diamalkan dengan apa yang telah difahami tentang kata-katanya itu,
isyaratnya, dalilnya atau hukum-hukumnya. Yaitu setiap apa yang difahami dari nash
itu dengan salah satu metode yang empat dari nash itu merupakan hujjah
terhadapnya.
Pengertian
secara ijmal untuk kaidah iji ialah bahwa syar’i atau undang-undang yang mengandung arti
banyak, dengan banyaknya jalan-jalan yang menunjukkan.
Yang dimaksud
dengan kata nash ialah sighat yang terbentuk dari mufradat dan kalimat.
Yang difahamkan
dari isyarat nash ialah pengertian yang tidak cepat ditangkap lafadz-lafadznya.
Maksud dari apa
yang difahami dari kehendak nash itu ialah arti untuk meluruskan perkataan itu,
tidak lain selain dengan mentakdirkannya.
Kaidah
Kedua (Mafhum Mukhalafah)
Nash syar’i
tidak mempunyai dalil terhadap hukum dalam hukum mukhalafah ini. Ada nash
syar’i yang menunjukkan hukum pada tempat yang dikaitkan dengan suatu kait.
Pengertian secara global kaidah ini adalah bahwa nash syar’i tidak mempunyai dalil
terhadap hukum apa yang merupakan hukum mukhalafah bagi manthuqnya. Karena
tidak ada yang menunjukkan dengan salah satu dari dalil yang empat. Manthuqnya
yang diharamkan itu ialah darah tertumpah. Beginilah mafhum mukhalafah dari
manthuqnya.
Mafhum dibagi
oleh kaitan yang dikaitkan oleh manthuq nash atas lima macam, yaitu, mafhum
washaf, mafhum ghayah, mafhum syarat, mafhum adad, dan mafhum liqab.
Kaidah
Ketiga (Wadhihud Dalalah)
Wadhihud adalah
dari nash, yaitu apa yang menunjukkan maksudnya dengan sighat itu sendiri,
tanpa dimasuki oleh urusan luar. Jika dia mengandung takwil dan maksudnya itu
bukan maksud yang merupakan pokok dari jalannya pembicaraan, ini namanya zahir.
Jika mengandung takwil, dan maksud daripadanya itu maksud dari pokok pembicaraan,
namanya nash. Jika tidak mengandung takwil dan hukumnya itu menerima nasikh,
namanya mufasir. Jika tidak mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima
naskh, namanya mahkum.
Tiap-tiap nash
wadhihud dalalah
wajib beramal dengannya yang merupakan wadhihud dalalah atasnya. Tidak sah
mentakwilkan apa-apa yang mengandung takwil, kecuali dengan dalil inlah kaidah ketiga.
Ahli-ahli ushul
membagi wadhihud dalalah itu kepada empat begian, yaitu:
1.
Zahir, dalam istilah
ushul yaitu apa yang menunjukkan maksud daripadanya itu dengan sighat itu
sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhaadap urusan luar. Dan apa
yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan.
2.
Nash, dalam istilah
ushul yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud
dari pokok pembicaraan dan mengandung arti takwil. Apabila maksud itu cepat
difahami dari lafadznya dan tidak terhalang memahaminya terhadap urusan luar
adalah maksud pokok dari pembicaraan. Lafadz itu diibaratkan nash terhadapnya.
3.
Mufasir, dalam istilah
ushul yaitu apa yang menunjukkan dengan sendirinya atas makna yang terpisah dan
terperinci. Tidak ada yang tinggal
hal-hal yang mengandung sesuatu untuk ditakwilkan. Maka dari itu ada shigat
menunjukkan dengan sendirinya dalil yang jelas atas pengertian yang terpisah.
4.
Muhkam, dalam istilah
ushul yaitu apa yang menunjukkan atas arti yang tidak menerima pembatalan dan
tidak boleh dipertukar-tukar dengan sendirinya oleh dalil-dalil nyata. Dan selain itu tidak mengandung
takwil. Karena, orang yang menguraikan dan menafsirkan itu, disini tidak ada
lapangannya untuk ditakwilkan.
Kaidah
Keempat (Yang Bukan Wadhihud Dalalah Dan Martabatnya)
Yang bukan
wadhihud dalalah dari nash yaitu apa yang tidak ditunjukkan maksudnya dengan
sighat itu sendiri. Tapi terhenti maksud
yang difahamkan itu terhadap urusan luar. Jika
dihilangkan yang menyembunyikannya itu dengan pembahasan dan ijtihad. Dia
tersembunyi dan sulit. Jika
yang sembunyi itu tidak dihilangkan, selain dari menafsirkan dari syar’i itu
sendiri maka dia adalah mujmal. Jika tidak ada jalan untuk menghilangkannya
menurut ashal maka dia adalah mutasyabih (yang diserupakan).
Ahli-ahli ushul
membagi yang bukan wadhihud dalalah ke dalam empat bagian, yaitu :
1.
Khafi, dalam ushul
fiqih yaitu lafadz yang menunjukkan artinya, tapi arti ini tertutup rapat-rapat
terhadap beberapa ifrad. Kesembunyiannya itu perlu untuk dilihat dan
diperhatikan sungguh-sungguh.
2.
Musyakal, dalam istilah
ushul ialah lafadz yang tidak ditunjukkan dengan shighatnya tentang apa yang
dimaksudnya itu. Tapi tidak dapat tidak qarinah luar yang menerangkan apa
maksudnya itu. Qarinah ini masih dalam pembahasan. Sebab, tersembunyi dalam
persembunyiannya itu bukan dari lafadz itu sendiri tapi masih diragukan.
3.
Mujmal, dalam ushul
fiqih yaitu lafadz yang tidak ditunjukkan maksudnya oleh shighatnya itu. Disini
tidak terdapat qarianh yang berkenaan dengan
lafadz atau hal-hal yang menerangkan, sebab tersembunyi. Dalam hal ini, ada
lafadz yang tidak bertentangan. Dari mujmak ini ada lafadz yang dinukil oleh
syar’i dari makna lughawi (arti menurut bahasa) dan menempatkannya bagi istilah
syar’i khusus. Seperti lafadz sembahyang, zakat, puasa, haji dan riba.
4.
Musyabih, dalam istilah
usul yaitu lafadz yang tidak ditunjukkan oleh lafadznya itu sendiri kepada
maksud nya
itu dan tidak terdapat qarianh luar yang menerangkannya. Disini syar’i dipengaruhi
oleh ilmunya, bukan menafsirkannya.
Kaidah
Lima : Al-Musytarak
Musytarak adalah
lafadz yang memiliki banyak arti di tempat-tempat yang banyak pula, seperti
lafadz tahun. Memilki arti tahun
Hijrah dan tahun Masehi. Kaidah ini menerangkan lafadz-lafadz yang banyak
terdapat pada nash-nash syar’i
dan undang-undang hukum positif, yaitu :
a.
‘Am adalah lafadz
mempunyai satu arti. Ini ditetapkan pada ifrad-ifrad. Kebanyakan tidak
melengkapi satu lafadz, jika adanya itu pada satu peristiwa. Artinya ditinjau
dari sudut bahasa, tidak menunjukkan atas jumlah yang melingkupi seluruh
ifradnya itu.
b.
Khas, adalah lafadz
yang mempunyai satu arti, ditetapkan pada satu ifarad atau ifrad-ifrad yang
melingkupi, seperti lafadz Muhammad atau pelajar itu sepuluh, seratus,
dan seribu.
c.
Isytirak itu menerapkan
dengan beberapa arti yang mempunyai satu lafadz di tempat-tempat yang banyak.
d.
Umum, ditetapkan dengan
menunjukkan lafadz meliputi semua ifrad, menetapkannya tanpa melingkupi.
e.
Khusus, ditetapkan
dengan menunjukkan lafadz atas ifrad atau ifrad-ifrad yang melingkupi dan
melengkapkan tanpa merata.
Lafadz musytarak
yaitu lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih pada beberapa tempat, menunjuk atas jalan
penggantian. Artinya, menunjukkan arti ini atau itu.
Sebab-sebab
adanya lafadz musytarak dalam bahasa itu banyak, diantaranya karena beberapa
kabilah yang mempergunakan lafadz-lafadz itu untuk menunjukkan satu pengertian.
Beberapa kabilah yang dimaksud dengan
tangan ialah harta.
Kaidah
enam : Am dan Uraiannya
Am yaitu lafadz
yang menunjukkan di mana ditempatkan
secara lughawi meliputi dan semuanya itu berlaku untuk semua ifradnya. Am
merupakan sifat lafadz. Ada perbedaan antara am dan muthlak. Am itu menunjuk
meliputi setiap orang. Sedangkan muthlak menunjukkan seseorang atau beberapa
orang, bukan untuk semua orang. Am dapat diperoleh sekaligus segala apa yng
ditetapkan. Sedangkan muthlak muthlak tidak diperoleh sekaligus. Kecuali salah
seorang daripadanya itu terkenal. Inilah yang dimaksud oleh ahli-ahli ushul Umum as-syumuli wa ummi muthlak badali.
Lafadz-lafadz umum :
1.
Lafadz kulli
(tiap-tiap) dan lafadz jami’ (segala);
2.
Mufrad mu’raf itu
dengan alif lam, mengetahui jenis;
3.
Jama’ mu’raf itu dengan
alif lam, mengetahui jenisnya;
4.
Isim maushul;
5.
Isim isyarat;
6.
Nasirah pada pembicaraa
nafi, artinya nakirah nafi.
Macam-macam am :
1.
Am qath’i umum, yaitu
am yang didampingi oleh qarinah, menafikan sasaran yang ditakhsiskan.
2.
Am qath’i khusus, yaitu
apa yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan
maksud sebagian dari ifradnya itu.
3.
Am makhsus, yaitu am
muthlak yang tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang
ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum.
Takhsis
am
Takhsis am dalam
itilah ushul yaitu menyataan maksud syar’i
dari hal am. Dimuai dengan beberapa ifrad, bukan semuanya atau
menyatakan hukum yang bersangkut dengan
am itu yaitu dari permulaan mentasyri’kan hukum untuk beberapa buah ifrad.
Yang lebih jelas menunjukkan
takhsis itu ada yang berdiri sendiri terpisah
yaitu : akal, araf, nash dan hikmah tasyri’.
-
Mentakhsiskan dengan
akal;
-
Mentakhsiskan dengan
arfu;
-
Mentaskhsiskan dengan
nash.
Kaidah
tujuh : Khas dan Penjelasannya
Lafadz khas
yaitu lafadz yang dipakai untuk menunjukkan seseorang, misalnya Muhammad. Hukum
khas berbentuk global apabila terdapat nash syar’i yang menunjukkan dalil
qath’i terhadap arti khas yang ditempatkan bagi hakiki, dan menetapkan hukum
yang untuk menunjukkan kepada jalan qath’i bukan dzan.
Perbedaan
lafadz muthlak dengan lafadz
muqaid
Muthlak yaitu
apa yang menunjukkan atas satu bukan dikaitkan kepada lafadz dengan kaitan apa
saja.
BAB
IV
QAWA’ID
USHULIAH TASYRIAH
Kaidah
Pertama Maksud Umum dari Tasyri’
Maksud umum dari tasyri’
tentang mentasyri’kan hukum-hukum ialah menetapkan kemaslahatan umat dan menjamin
hal-hal yang sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat.
Kaidah yang
pertama ini mengandung maksud umum bagi syar’i yang mensyariatkan hukum-hukum
syar’i.
Amar hajati
yaitu apa yang dibutuhkan orang untuk suatu kemudahan dan kelapangan. Hal-hal
yang mengandung kesulitan taklif dan berkehidupan.
Tahsni yaitu apa-apa yang termasuk
adab sopan santun dan hal-hal yang perlu untuk menjalankan suatu metode.
Apa
yang Disyariatkan Islam itu Sangat Diperlukan
Hal-hal yang
sangat dibutuhkan seseorang, yaitu kembali kelima perkara, yakni agama, jiwa, akal, nama baik
dan harta benda.
Agama, yaitu
himpunan akidah, ibadah, hukum dan peraturan-peraturan yang disyariatkan Allah
SWT untuk mengatur hubungan orang dengan Tuhannya dan hubungan antar sesamanya.
Tubuh, Islam
mensyariatkan untuk memperbaiki perkawinan untuk melanjutkan keturunan dan
untuk mengekalkan kesempurnaan sistem kehidupan yang baik.
Harta,
disyariatkan oleh agama Iskam supaya orang dapat mengahasilkan harta benda itu.
Oleh sebab itu harus berusaha.
Apa
yang Disyariatkian Islam itu Perlu bagi Manusia
Dalam lapangan
ibadat, syariat memberikan
keringanan bagi mukallaf apabila merasa berat dan sulit untuk melaksanakannya.
Dari segi
muamalah, islam mensyariatkan bermacam-macam perjanjian dan kegiatan yang
dijalankan menurut keperluan orang. Seperti jual beli, sewa-menyewa, dan
lain-lain.
Dari segi
menjatuhkan hukuman, diyat dikenakan kepada orang yang berakal.
Apa
yang Disyari'atkan Islam bagi Hal-Hal yang Berkenaan dengan yang Baik
Dari segi
ibadat, disyari’atkan membersihkan tubuh, pakaian tempat dan menutup aurat,
serta memelihara dari sekalian macam najis.
Dari segi
muamalah, diharamkan menipu, bertindak royal dan kikir. Diharamkan menggunakan
hal-hal yang bernajis dan yang menimbulkan madharat. Dilarang memperjualbelikan
apa-apa yang diperjualbelikan oleh saudaranya di pasar.
Dalam
menjatuhkan sanksi hukuman, di waktu berjihad diharamkan membunuh rahib,
anak-anak dan perempuan. Dilarang menyiksa dan berlaku khianat. Membunuh orang yang tidak bersenjata,
dan lain-lain.
Diharamkan zina,
guna untuk menjaga nama baik, diharamkan berkhalwat dengan ajnabi, karena hal
ini merupakan suddan zari’ah. Diharamkan minum khamar, guna memelihara akal,
dan sebagainya.
Dari segi
kebutuhan, Islam mensyariatkan bermacam-macam muamalah. Diantaranya jual beli,
sewa-menyewa, serikat, dan sebaginya.
Prisnsip-prinsip
khusus mumbuangkan kesulitan
Diantara ciri-cirinya yaitu :
Pertama, kesulitan
itu membawa kemadharatan. Ciri-cirinya seluruh rukhsah yang disyariatkan Allah
berat ringannya bagi si mukallaf itu karena ada salah satu sebab yang
dikehendaki oleh keringanan ini, yang menjadi sebab-sebabnya itu ada tujuh
macam yaitu perjalanan, sakit, terpaksa, lupa, bodoh, umum bahwa, kurang.
Kedua, sulit syari’at
membuangnya. Cirri-cirinya : menerima seorang saksi perempuan bilamana tidak
terdapat laki-laki, tidak mengetahui cacat mereka itu dan tidak mengetahui
keadaan perempuan itu yang
sebenarnya.
Ketiga,
di waktu dharurat diperbolehkan hal-hal yang dilarang. Diantara cirri-cirinya
yaitu : rukhsahh pada salm, ba’iul wafa, istisna’ dan dhaman darki.
Kaidah
Dua : Apa Hak Allah dan Apa Pula Hak Mukallaf
Perbuatan
mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar’i. Jika ada maksud untuk mengadakan
perbaikan-perbaikan masyarakat umum maka hukum adalah hak yang khalis bagi
Allah. Maka dalam hal ini mukallaf tidak boleh khiyar. Dilaksanakan oleh Aulil
Amri.
Kaidah yang
berkenaan dengan tasyri, pertama-tama menjamin bentuk hukum Islam dengan bentuk
umum, dimaksud untuk menetapkan kemashlahatan orang hidup bermasyarakat.
Sedangkan kaidah
tasyri yang kedua ialah menjamin bahwa kemashlahatan yang dimaksud dengan
tasyri’ hukum itu ialah memantapkannya. Kadang-kadang kemashlahatan umum bagi
masyarakat dan kadang-kadang untuk pribadi.
Yang menjadi hak
khalis bagi Allah itu meliputi hal ketetapam sebagai berikut :
Pertama,
ibadah inti, seperti sembahyang, zakat, puasa dan haji.
Kedua,
ibadat yang didalamnya ada pengertian menolong, seperti zakat fitrah.
Ketiga,
pajak yang dipungut dari tanah pertanian. Sama saja, apakah usyriah (dipungut
seperpuluh dari hasil) atau khirajiah (pajak).
Keempat,
pajak yang dipungut dari harta ramapasan perang di waktu menjalankan jihad dan
apa-apa yang terdapat dari dalam perut bumi berupa logam dan harta yang
tertanam dalam tanah.
Kelima,
macam-macam sanksi hukuman yang dijatuhkan itu yaitu hukuman zina, hukuman
mencuri, hukuman penganiayaan yang diperangi Allah dan Rasul, dan orang-orang
yang memperbuat kebinasaan di bumi yaitu kemashlahatan masyarakat
seluruhnya.
Keenam,
macam-macam sanksi hukuman ringan, diharamkan bagi orang yang membunuh menerima
warisan. Ini merupakan sanksi hukuman ringan.
Ketujuh,
sanksi-sanksi hukuman yang di dalamnya ada pengertian ibadat seperti kifarat
bagi orang yang melanggar sumpah.
Kaidah
Tiga : Dalam Apa Dibolehkan Ijtihad
Tidak boleh
melakukan ijtihad, bilamana dalam masalah yang akan dipecahakan itu sudah ada nash
terang-terangan menerangkannya, ijtihad dalam istilah ushul ialah melakukan
jihad untuk sampai kepada hukum syar’i dengan dalil, menerangkan terperimci
dengan syari’at. Jika ada suatu peristiwa, maksud untuk diketahui hukumnya,
menurut syar’i
yang ada di dalamnya terdapat dalil qath’i yang menunjukkan, maka yang begini
bukan lapangan bagi ijtihad.
Demikian pula
apabila pristiwa itu tidak mempunyai mash yang menjadi dasar atas hukumnya, maka
di sinilah lapangan ijtihad yang lebih luas mujtahid mengetahui dan membahas
hukum-hukum itu yaitu dengan
perantaraan kias, istihsan, istishab, mara’atul ‘arf, atau mashalih mursal.
Kesimpulan, lapangan mujtahid itu hanya
dalam dua hal:
Pertama,
dalam peristiwa ini tidak terdapat nash sebagai pokok pembicaraan. Kedua,
dalam peristiwanya itu nashnya tidak qath’i. kalau terdapat nash qath’i maka di sini
bukan lapangannya ijtihad.
Untuk melakukan
ijtihad, ada empat syarat:
1.
Mengetahui
Bahasa Arab
2.
Mengetahui Al-Quran
3.
Ilmunya berdasarkan
sunna.
4.
Mengetahui bentuk kias
Ada tiga hal
yang harus diperhatikan
Pertama,
bahwa ijtihad itu tidak ada
pembagian. Artinya, dia tidak menggambarkan adanya orang alim sebagai mujtahid
dalam hukum talak, dan mujtahid yang lain dalam jual beli atau mujtahid dalam
hukum menjatuhkan sanksi hukuman.
Kedua,
mujtahid itu mendapatkan pahala. Orang-orang yang melakukan ijtihad itu
mendapat dua pahala. Satu pahala untuk ijtihadnya dan satu lagi jika ijtihadnya
benar. Jadi, kalau ijtihadnya
salah, masih mendapat satu pahala.
Ketiga,
ijtihad itu tidak boleh dibatalkan dengan yang seperti iti pula. Kalau mujtahid
itu berijtihad terhadap suatu masalah dan di dalamnya itu dia menjatuhkan
hukuman dengan yang dijalankan ke arah itu oleh ijtihadnya.
Kaidah
Empat : Menasikhkan Hukum
Tidak ada nasikh
bagi hukum syar’i dalam Al-Quran dan Sunnah setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Adanya hanya di masa Nabi
masih hidup yang lama-kelamaan secara berangsur-angsur lalu di jalankan dengan tasyri’, dan
dalam lalu lintas perbaikan-perbaikan masyarakat yang diadakan itu
dilakukan nasikh beberapa hukum yang dijalankan secara kulli dan juz-i.
Hikmahnya,
nasikh ini jatuhnya ada yang pada tasyri’ illahi dan ada pula pada tasyri’
wadhi’. Maksud dari tiap-tiap tasyri’ itu adalah sama, apakah dia Illahi atau
wadhi’ yaitu menetapkan kemashlahatan orang yang hidup dalam masyarakat.
Macam-macamnya,
ada yang berbentuk nasikh sharikh (terang-terangan) dan ada pula yang berbentuk
dhamniam (dengan diam-diam). Nasikh sharikh, bila nash yang disyariatkan itu
terang-terangan
pada tasyri’ yang datang kemudian untuk membatalkan tasyri’ yang berlalu.
Adapun nasikh
dhimni, di sini syar’i
tidak mencantumkan nash terang-terangan dalam tasyri’ yang datang kemudian
untuk membatalkan tasyri’ yang berlalu. Namun, dia mentasyri’kan hukum yang
bunyinya bertentangan dengan hukum yang berlalu.
Nasikh
kadang-kadang kulli dan kadang-kadang juz-i. Nasikh kulli, orang yang mensyari’aykan itu membatalkan
hukum syar’i
sebelumnya.
Membatalkan secara keseluruhannya
dengan merangkaikan kepada setiap pribadi mukallaf. Seperti membatalkan wajib
wasiat kepada ayah, ibu, karib kerabat dengan
tasyri’ hukum warits dan melarang wasiat itu kepada orang yang mewaris (si
pewaris).
Nasikh juz-i yaitu mensyari’atkan
hukum secara umum,
meliputi seluruh pribadi mukallaf, kemudian hukum ini dibatalkan dengan menisbatkan
kepada sebagian ifrod atau mensyari’atkan hukum itu secara mutlak, kemudian
dibatalkan dengan
menisbatkan kepada beberapa hal.
Bukan setiap
nash yang terdapat dalam Al-Quran atau Sunnah itu pada masa Nabi masih hidup
yang dinasikhkan oleh nash yang datang kemudian. Namun, diantara nash-nash itu
ada yang disebut muhkamat, pada dasarnya tidak menerima adanya nasikh, yaitu :
Pertama, nash yang
mengandung hukum-hukum asasi, tidak mengalami perbedaan dengan berbedanya
keadaan orang dalam masyarakat dan tidak membedakan yang baik dan yang buruk
dengan perbedaan penilaian. Seperti nash-nash yang mengandung wajib beriman
kepada Allah, Rasul-rasulNya,
kitab-kitabNya
dan hari kemudian dan seluruh dasar-dasar
akidah dan ibadah.
Kedua, nash-nash yang
mengandung hukum, ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri untuk menguatkannya.
Menguatkan itu tidak memerlukan nasikh. Seperti hukum Tuhan dalam menerangkan
hukum qadzaf terhadap perempuan-perempuan yang baik-baik: “janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya”. Lafadz selama-lamanya itu menunjukkan
bahwa hukum itu adalah untuk selama-lamanya.
Ketiga, nash-nash yang
mengandung peristiwa-peristiwa yang terjadi dan memberitahukan tentang
terjadinya sesuatu.
Apa yang dinasikhkan menurut
pengertian umum, nash itu tidak boleh dinasikhkan kecuali dengan nash pula,
yaitu nash yang lebih kuat daripadanya. Di atas dasar inilah nash Al Quran itu
ada yang dinasikhkan dengan
ayat Al Quran pula, dan ada pula yang dinasikhkan dengan sunah mutawatir. Semua
itu adalah qath’i dan mempunyai kekuatan. Sunah yang tidak mutawatir
kadang-kadang juga menasikhkan antara satu sama lain karena masih mempunyai
kekuatan. Kadang-kadang dinasikhkan dengan
nash Al-Quran dan sunah
mutawatir karena ini lebih kuat daripadanya.
Kaidah
Lima : yang Bertentangan dan yang Menguatkan
Apabila terjadi
pertentangan dua nash terang-terangan, maka wajib melakukan pembahasan dan
berijtihad pada suatu perkumpulan dan mencari penyesuaian antara keduanya itu
dengan cara yang baik tentang
cara mengumpul dan menyesuaikan. Kalau hal in tidak ada, maka wajiblah
melakukan pembahasan dan berijtihad untuk menguatkan salah satu kedua hal tersebut
dengan jalan tarjih. Apabila
ini juga tidak ada, maka di sini orang harus mengetahui sejarah datangnya
menyusul nasikh bagi yang terdahulu. Jika tidak diketahui sejarah datangnya,
maka dihentikan dulu megerjakan kedua hal tersebut.
Apabila terjadi
pertentangan dua kias atau dua dalil bukan dari nash dan belum dilakukan tarjih
salah satu dari keduanya itu menyimpang dari penunjukan dari alasan yang
dikemukakan. Pertentangan di antara dua hal, artinya dalam bahasa Arab
mengalami masing-masingnya
itu. Pertentangan antara dua dalil syar’i
artinya dalam istilah ushul memperlakukan tiap-tiap keduanya itu pada suatu
waktu memperlakukan hukum pada peristiwa yang berlainan tentang apa yang
diperlakukan oleh dalil lain. Misalnya firman Allah yang berbunyi “dan
orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, maka
hendaklah isterinya itu menahan dirinya (masa iddah) selama empat bulan sepuluh hari”.
Nash ini berlaku umum. Tiap-tiap perempuan yang suaminya meninggal diperlukan
iddahnya empat bulan sepuluh hari, mau hamil ataupun tidak. Firman Allah yang
berbunyi “ perempuan-perempuan
yang mengandung, iddahnya yaitu menunggu sampai anaknya itu lahir”. Sama saja,
mau suaminya meninggal ataupun tidak.
Perempuan yang
suaminya meninggal, sedangkan waktu dia dalam hamil. Peristiwa ini
memperlakukan nash pertama, yaitu massa iddahnya empat bulan sepuluh hari. Dan
memperlakukan nash kedua yaitu sampai anaknya lahir. Kedua nash ini
bertentangan mengenai suatu peristiwa.
Penelitian yang
dilakukan terhadap pertentangan kedua dalil syar’i ini tidak lain selain
apabila kedua dalil syar’i dalam satu kekuatan. Apabila satu lebih kuat dari
yang satu lagi, maka hukum yang berdasarkan dalil itu harus mengikut kepada
yang lebih kuat.
Syukron Khatsir, semoga bermanfaat untuk semuanya ...
BalasHapusTrimakasih ....semoga berkah amin
BalasHapusMohon izin kopas untuk panduap saya
BalasHapusTerima kasih semoga bermanfaat bagi semua
BalasHapusIzin copas ya.
BalasHapusTerimakasis sekali..
Izin copas ya.
BalasHapusTerimakasis sekali..