MAKALAH
METODE-METODE
IJTIHAD
(Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqh)
Disusun Oleh:
Lina
Fatinah
1123020052
JURUSAN MU’AMALAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
METODE-METODE
IJTIHAD
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menuntut
umat Islam untuk membuka cakrawala berpikir sehingga tidak tertinggal jauh dari
yang lain.Dalam hokum Islam nalar atau ra’yu merupakan suber hukum
pelengkap.Dalam mencapai hokum Islam yang selaras dengan perkembangan inilah
para ulama ushul fiqih mengembangkan berbagai metode. Keragaman metode
disebabkan oleh penafsiran mereka terhadap nas dan juga karena perbedaan tempat
dan waktu, namun semua metode ini ditujukan untuk mencapai tujuan hokum Islam,
yaitu mewujudkan maslahat dan menghindarkan mafsadat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
2. Apa saja metode-metode ijtihad?
C.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian
ijtihad
2. Untuk mengetahui metode-metode
ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad dalam bahasa Arab berasal dari kata jahada yang
artinya bersunggung-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha (Othman
Ishak, 1980:1). Secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai
mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah
dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Al-Quran maupun Sunnah (Khallaf,
1978: 216).
Dalam hubungannya dalam hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang
sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada, yang dilakukan
oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang
belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
(Mohammad Daud Ali, 2011:116).
Hukum
Islam diperoleh dari sumbernya yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, sekurang-kurangnya
dilakukan dengan dua cara. Pertama, diperoleh secara langsung berdasarkan hukum
yang terdapat pada ayat Al-Quran atau As-Sunnah. Cara ini dilakukan terhadap
ayat Al-Quran atau As-Sunah yang sudah jelas menunjukkan suatu hukum tertentu
secaara qat’iy. Kedua, dilakukan dengan mengambil makna yang terkandung dalam
suatu ayat Al-Quran atau As-Sunah. Hal ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran
atau As-Sunnah yang bersifat dzanny dengan jalan ijtihad. Ijtihad dilakukan
oleh para ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, dengan mengerahkan segenap
kemampuan berfikir yang ditunjang oleh kekuatan dzikir dan doa, oleh sebab itu
ijtihad menjadi sumber hukum pelengkap bagi ummat Islam.
B.
Metode-metode
Ijtihad
Metode-metode
yang umum dipergunakan adalah ishtihsan, al-maslahah al-mursalah, istishhab,
dan ‘urf
1. Istihsan
Istihsan
menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa
atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum
lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan
hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada
qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk
menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan
peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum
peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya
ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap
kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan
lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari
dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana
yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
2.
al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula
terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.
Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan
atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah
semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan
manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid
yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah
Imam Hanbali dan Imam Malik.
Para ulama fikih
yang mendukung konsep ini membagi jenis
mashlahah kepada dua macam, yaitu:
A.
Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui syari'ah
terdiri dari tiga, macam yaitu:
(1) Dharuriyyah (bersifat mutlak), yaitu kemaslahatan
yang menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal
yang menyangkut terpelihara [a] agama, [b] diri (jiwa, raga dan kehormatannya),
[c] akal pikiran, [d] harta benda, dan [d] nasab keturunan. Kelima komponen
tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar
mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).
(2)
haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan-halangan. Dan apabila
hal-hal tersebut tidak terwujud, maka tidak sampai menjadikan aturan hidup
manusia berantakan atau kacau, melainkan hanya membawa kesulitan-kesulitan
saja.
(3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka
memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.
Penempatan
masalah ini sebagai suatu sumber hukum
sekunder, menjadikan hukum Islam
itu luwes dan dapat diterapkan
pada setiap kurun waktu di segala lingkungan
sosial. Namun perlu dicatat
ruang lingkup penerapan
hukum mashlahah ini adalah bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau
bidang ibadat, karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah
sendiri. Sedangkan objek kajiannya adalah kejadian atau
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash
(Alquran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh
kebanyakan pengikut madzhab fikih, demikian pernyataan Imam al-Qarafi ath-Thufi
dalam kitabnya Mashalihul Mursalah yang menerangkan bahwa mashlahat
mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu'amalah dan
semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan
hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadat
itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat sesuai dengan
ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Menurut
Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan sebagian besar pengikut
Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus dengan syarat,
harus ada persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh
para ulama.
Para ulama fikih
yang mendukung konsep ini mencatat tiga
persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
1. Mashlahah itu harus bersifat
pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu
manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).
2. Mashlahah itu
tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi
harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran
mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan
oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').
B. Dilihat dari segi wilayah kebutuhan, maslahah yang
diakui syari'ah terdiri atas dua macam,
yaitu:
[1] mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorangan) dari setiap
manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap
manusia dalam hidupnya,
seperti yang digambarkan dalam
uraian terdahulu tentang
al-kulliyyat al-khams. Hal-hal ini terkait dengan
taklif yang berbentuk fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut
mashlahah harta benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk makan,
pakaian dan tempat
tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan
dalam tuntunan Rasulullah saw. (thalab-u
'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja
mencari rizki memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
Seterusnya yang menyangkut
mashlahah akal pikiran,
bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam hadits lain
yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi
faridhatun 'ala kulli muslim). Begitu
seterusnya menyangkut tiap
mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya
dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan
adanya pengakuan atas mashlahah
dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi
setiap manusia.
[2] mashlahah 'ammah
yang menjadi kepentingan bersama
masyarakat atau kepentingan
umum. Ini menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi'i menjelaskan, fardhu kifayah itu adalah
urusan umum yang menyangkut
kepentingan-kepentingan
(mashalih) tegaknya urusan agama
dan dunia dalam
kehidupan kita, di antaranya adalah:
[a] mencegah madarat kekacauan, seperti persengketaan dan
peperangan, kekacauan dan pertumpahan darah, serta kondisi anarkis, sehingga
al-hajah ad-dharuriyyah kehidupan menjadi terancam, bahkan hancur.
[b] merealisasikan kewajiban
agama, baik untuk individu maupun kelompok sosial.
[c] mewujudkan keadilan yang
sempurna
Diantara contoh mashlahat mursalah ialah
usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Alquran yang terkenal dengan jam'ul
Alquran. Pengumpulan Alquran ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara', tidak
ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah
terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal Alquran yang mati syahid (± 70
orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar pengumpulan
Alquran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari). Seandainya tidak
dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Alquran akan hilang dari permukaan dunia nanti.
Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Demikian pula tidak disebut oleh syara'
tentang keperluan mendirikan rumah penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan
atau shalat jama'ah, menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat,
tempat sa'i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk
kemashlahatan agama, manusia dan harta.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering
kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada
dua peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu belum
ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan
hukumnya. Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang
kedua. tetapi karena ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua.
Sedang pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi
ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya.
Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.
3.
Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada
hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang
kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan
tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah
menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau
menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang
telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada
masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang
dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab itu terbagai kepada dua
macam;
i.
Segala hukum yang telah ditetapkan pada
masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau ada yang
mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan salah satu produk
hukum.
ii.
Menetapkan segala hukum yang ada pada masa
sekarang, berdasarkan ketetapan hukum pada masa yang lalu. Berdasarkan
pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan hukum.
Contoh istishab:
1. Telah terjadi perkawinan antara
laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat
yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin
kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia
telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan
mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishhab.
2. Menurut
firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ...
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu
(manusia)." (al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk
kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum
itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan
binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
4.
‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal
oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat
(adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan
pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat
disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di
kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada
sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan
pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah
pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang
dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada
salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli
dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat
kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka
salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara
ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan
tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa
atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas
dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf
bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau
beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang
baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula.
Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak
tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan
suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf,
masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan
memandangnya baik.
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijtihad adalah segala
upaya yang dicurahkan mujtahid dalam menetapkan sesuatu hal pada berbagai
bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya yang
dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa.
Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab, maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh. Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad, sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa.
Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab, maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh. Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad, sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi. 1993. Ushul
Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya.
Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Kasuwi Saiban. 2005.
Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih Kontemporer.
Malang: Kutub Minar.
selamat sore ka mohon izin untuk mengambil beberapa artikel dari blok kka untuk tujuan penulisan tugas akhir semester ganjil.
BalasHapusmohon izinnya ka
cheers
yulia
Alhamdulillaah, ketemu juga. Makasih yah
BalasHapussalam berkaspengetahuan.com