UTS TAKE HOME
MATKUL TARIKH TASYRI
SMSTR III
MUAMALAH TAHUN 2013
1. Secara
sejarah, perkembangan hukum islam dimulai dari masa konsepsi sampai pada
tingkat sistematika sebuah ilmu fiqh. Tugas anda, uraikan definisi fiqh
dari masa konsepsinya hingga perkembangannya secara spesifik sebagai ilmu ?
2.
Hampir semua sejarawan membuat periodesasi
hukum islam dimulai dari masa Nabi saw dst., berbeda dengan sejarawan di atas,
Joseph Schacht membuat periodesasi hukum islam yang
berbeda, jelaskan perbedaan keduanya disertai
periodesasi hukum islamnya? apa dasar Joseph
Schaht berbeda dalam membuat kronologi hukum islam tersebut?
3.
Berikan contoh-contoh proses hukum islam dalam bentuk fiqh muamalah sejak masa
rasul saw sampai abbasyiah?
4.
Apa yang menjadi perbedaan dalam memahami
hukum islam tidak terlepas dari madzhab mana yang dianut dalam hukum islam.
Tugas saudara, jelaskan keberadaan madzhab
dalam hukum islam dan madzhab yang masih dianut di dunia islam sampai saat ini
disertai contohnya?
5.
Keberadaan hukum islam
dapat dilihat dari berbagai fakta dan bukti yang telah dihimpun baik dalam
bentuk tertulis maupun konsepsinya saja, tugas saudara, jelaskan proses pembentukan hukum islam dari konsep
sampai pada tingkat kodifikasi/legislasi disertasi contoh kasusnya?
KET.
·
Uts dikumpulkan Senin tgl 5 Nopember 2013
·
Ditulits 1.5 spasi, kertas A4,
halaman : 10-15 hlm.
·
Rujukan buku 7-10 buku (1
rujukan bhs arab dan inggris)
·
Sistem kutipan footnote
(catatan kaki di bawah).
·
Uts dijilid dan disatukan
setiap kelas dengan identitas masing-masing.
·
Jawaban sama (copi paste)
dengan yang lainnya dipandang nyontek.
·
Telat dikumpulkan dianggap
gugur—tidak ikut uts.
·
Buku wajib
yang perlu dibaca Sejarah Hukum Islam dan Perbandingan Madzhab dengan
Pendekatan Baru (dosen ybs); Pengantar Hukum Islam (Joseph Schaht, edisi
terj/asli)
Dosen
Dedi Supriyadi, M.Ag
Ujian
Tengah Semester Tarikh Tasyri
Dibawah
bimbingan Dedi Supriyadi, M.Ag.
Disusun
Oleh:
Nama : Lina Fatinah
NIM : 1123020052
Jurusan : Muamalah PS-B/III
PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
1.
Definisi fiqih secara
istilah dilihat dari masa konsepsinya hingga perkembangannya secara spesifik,
sebagai berikut:
a.
Abu Hanifah memberikan
definisi tentang fiqih, yaitu sebagai berikut,
b.
Imam Asy-Syafi’i
memberikan suatu batasan fiqih sebagai berikut, “العلم
بالااحكام الشرعية العملية المكتسبة من ادلتها التفصيلية (Suatu ilmu yang membahas
hokum-hukum syariah amaliyah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang
terinci).[2]
c.
H. Lammens, S.J., guru
besar bidang bahasa Arab di Universtas Joseph. Berikut, memaknai fiqih sama
dengan syariah. Fiqih secara bahasa adalah ‘wisdom’ (hukum). Dalam
pemahamannya, fiqih adalah renum
divinarum atque humanarum notitia (pengetahuan dan batasan-batasan lembaga
hokum, baik dimensi ketuhanan atau dimensi manusia).[3]
d.
Abdul Wahab Kallaf
mendefinisakn fiqih dengan pengetahuan tentang hokum-hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil yang terinci atau kumpulan
hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yag
terinci.[4]
e.
Al-Jurzani membatasu
definisi fiqih dengan definisi sebagai berikut, “العلم
بالااحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية وهو علم مستنبط با الراي
والاجتتهاد و يحتاج فيه الي النظر والتامل (Suatu ilmu yang membahas hokum
–hukum syariah amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terinci yang dihasilkan
oleh pikiran atau ijtihad melalu analisis dan perenungan)”.[5]
f.
Al-Amidi, seorang ulama
Syafi’iyah, mendefinisiakan fiqih sebagai ilmu tentang hokum-hukum syariah dari
dalil-dalil yang terinci. Sementara menurut fuqaha Malikiyah, fiqih adalah imu
tentang perintah-perintah syar’iyah dalam masalah khusus yang diperoleh dari
aplikasi teori istidlal atau
pencarian hukum dengan dalil.[6]
Dengan
demikian, dari beberapa definisi di atas dapat ditarik benang merah bahwa ruang
lingkup istilah fiqih secara gradual mulai menyempit dan akhirnya dapat
diaplikasikan secara khusus dalam masalah-masalah hukum.
Analisis di atas
didukung oleh fakta sejarah bahwa penggunaan fiqih pada masa awal memiliki
makna yang sangat luas, yaitu mencakup semua hukum yang disyariatkan oleh agama
islam, baik hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah akidah, akhlak, ibadah,
maupun muamalah.[7] Hal ini
ditunjukkan Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 122, “…agar mereka memperdalam (pengetahuan) dalam urusan agama …”.
Pengertian fiqih sebagaimana tersebut di
atas, tampaknya dipergunakan sampai pertengahan abad ke-2 Hijriyah, misalnya
definisi Abu Handifah (80-150 H) bahwa fiqih mencakup hukum-hukum i’tiqadiyah,
seperti kewajiban beriman kepada Allah SWT., hukum perasaan atau akhlak,
seperti kewajiban untuk jujur, dan hukum amaliyah yang berkenaan dengan masalah
ibadah dan muamalah seperti kewajiban berpuasa dan diperbolehkannya jual beli.[8]
Setelah melalui masa-masa perkembangan
formatifnya, pada abad kedua Hijriah, istilah fiqih kemudian mengalami
pergerseran dan pembatasan sehingga terfokus pada masalah-masalah hukum saja.
Sejak saat itulah, berkembang istilah fiqih menurut ahli ushul dan ahli fiqh
(fuqaha). Oleh karena itu, dapat diringkas bahwa istilah fiqih mengandung dua
pengertian.
Pertama,
fiqih adalah memelihara masalah-masalah
syara’ yang praktis (berkaitan dengan perbuatan) yang diambil dari Al-Quran dan
As0Sunnah, serta yang disimpukan
dari keduanya. Kedua, fiqih adalah kumpulan hukum syara
secara spesifik dengan metode secara spesifik pula.
Demikian pula,
analisis dari Asaf A. A. Fyzee dalam bukunya Outline of Muhammadan Law bahwa fiqih merupakan pengetahuan hukum
Islam tentang hak dan kewajiban manusia yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah,
ijma, dan qiyas.[9]
Akhirnya, dapat ditarik suatu kesimpulan
makna fiqih, terutama setelah menjadi disiplin tersendiri. Istilah fiqih atau
sering pula disebut dengan fiqih Islami—biasanya diartikan dengan hukum Islam
atau ada yang menyebutnya dengan hukum positif Islam. Ilmu fiqih juga berupa
materi hukum, bahkan juga prosedur dalam proses di pengadilan (hukum acara, fiqih murafaat), sebagaimana tertuang
dalam definisi Majmu’at al-ahkam. Meskipun
pada saat ini, fiqih biasa diartikan hukum Islam, hukum di sini tidak selalu
identic dengan law atau rules (peraturan perundang-undangan).
Fiqih lebih dekat dengan konsep etika agama (religious ethics).
1.
Periodesasi Menurut
Sejarawan
Kemal
A. Faruqi, dalam buku Islamic
Juricprudance, membagi tujuh periode hukum Islam:
1.
Periode wahyu dan
implementasi pribadi (13 SH – 1 H).
2.
Periode wahyu dan
implementasi sosial (1 H – 10 H).
3.
Periode emulasi masa
sahabat (11 H – 40 H).
4.
Periode hadis dan ra’yu
(41 H – 200 H).
5.
Periode Ijtihad (201 H
– 400 H).
6.
Periode Taklid (401 H –
1200 H).
7.
Periode pembentukan
hukum dan disintegrasi (1201 H – sekarang).[10]
Muhammad ‘Ali As-Sayyis,[11]
berpendapat bahwa periodesasi hukum Islam adalah:
1.
Hukum Islam zaman
Rasul.
2.
Hukum Islam zaman
Khulafa.
3.
Hukum Islam zaman
pasca-Khulafa hingga abad 11 H.
4.
Hukum Islam zaman awal
abad 11 H hingga pertengahan abad IV H.
5.
Hukum Islam zaman
pertengahan abad IV H hingga Baghdad hancur.
6.
Hukum Islam zaman
kehancuran Bagdad sampai sekarang.
Menurut
Muhammad Khudari Byk,[12]
periodesasi sejarah hukum Islam adalah:
1.
Hukum Islam zaman Rasul
2.
Hukum Islam zaman
sahabat besar
3.
Hukum Islam zaman
sahabat kecil
4.
Hukum Islam zaman fiqih
menjadi ilmu mandiri
5.
Hukum Islam zaman
perdebatan membela iman masing-masing
6.
Hukum Islam dari zaman
taklid
Redaksi
yang berbeda meskipun esensinya sama dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf[13]
yang menetapkan bahwa periodesasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut:
1.
Periode Rasul
2.
Periode sahabat
3.
Periode kodifikasi
(penghimpunan)
4.
Periode taklid (jumud).
Adapun
Musthafa Sa’id Al-Khinn (1984: 13-14), yang dikutip oleh Jaih[14]
berpendapat bahwa periodesasi hukum Islam adalah:
1.
Hukum Islam zaman Rasul
2.
Hukum Islam zaman
sahabat
3.
Hukum Islam zaman
tabi’in
4.
Hukum Islam zaman
taklid
5.
Hukum Islam zaman
sekarang
Ulama
lainnya, Ahmad Al-Hashari, berpendapat bahwa periodesasi hukum Islam adalah
sebagai berikut:
1.
Hukum Islam zaman Rasul
2.
Hukum Islam zaman
sahabat
3.
Hukum Islam zaman
tabi’in
4.
Hukum Islam zaman
pendiri mazhab
5.
Hukum Islam sampai
tahun 1286
6.
Hukum Islam zaman
sekarang.[15]
Begitu
pula halnya, TM. Hasbi Ash-Shiddiqi,[16]
menjelaskan bahwa periodesasi sejarah hukum Islam adalah sebagai berikut:
1.
Periode pertumbuhan
yaitu masa ketika Nabi Muhammad hidup, yang lamanya 22 tahun lebih sejak tahun
13 SH sampai tahun 11 H (611 M - 632 M).
2.
Periode pembinaan yaitu
masa sahabat dan tabiin (periode Khulafa Ar-Rasyidin dan Umawiyyin), yang
berlangsung dari tahun 11 H – 101 H (632 M – 720 M).
3.
Periode kesempurnaan,
yaitu periode para imam mujtahidin, yakni masa kejayaan daulah Abbasiyah.
Periode ini berlangsung sekitar 250 tahun, yaitu tahun 101 H – 350 H (720 M –
961 M).
4.
Periode kemunduran,
yang sering disebut dengan periode taklid atau jumud, beku, statis. Periode ini
berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 Hijriyah (350 H) yang sampai sekarang
masih luad perkembangannya dalam masyarakat.
5.
Periode kebangkitan
kembali periode Renaissance, yaitu masa timbulnya usaha dan gerakan reformasi
dan melepaskan diri dari taklid dalam tubuh umat Islam. Periode ini berlangsung
sejak abad ke-13 sampai sekarang (abad ke-15 H).[17]
Secara
umum, dalam pandangan Harun Nasution[18],
proses perkembangan diwih melalui empat periode, yaitu periode Nabi, periode
sahabat, periode ijtihad serta kemajuan, periode taklid dan kemunduran, dan
periode kebangkitan kembali fiqih. Berkaitan dengan hal ini, Nurcholis Madjid,[19]
mengatakan, “Dari suatu segi, ilmu fiqih, seperti halnya dengan ilmu-ilmu
keislaman lainnya, dapat dikatakan telah tumbuh sejak masa Nabi sendiri. Jika
fiqih dibatasi hanya pada engertiannya sebagai ‘hukum’ seperti yang sekarang
umum dipahami orang, akar ‘hukum’ yang amat erat kaitannya dengan salah satu
peranan Nabi sebagai pengemban tugas suci kerasulan (risalah). Khususnya selama
periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat
politik dan hakim pemutus perkara.[20]
Subhi
Mahmashshani menetapkan periodesasi hukum Islam sebagai berikut:
1.
Hukum Islam zaman Nabi
SAW.
2.
Hukum Islam zaman
Khulafa Ar-Rasyidin dan Umawiyyun
3.
Hukum Islam zaman
keemasan Abbasiyah
4.
Hukum Islam zaman
kemunduran dan taklid
5.
Hukum Islam zaman
kebangkitan.[21]
Periodesasi
secara sederhana dibuat pula oleh Abu Zahroh, sebagai berikut:
1.
Ijtihad zaman Nabi
2.
Ijtihad zaman sahabat
3.
Ijtihad zaman tabi’in
4.
Fiqih zaman empat
madzhab Sunni
5.
Fiqih Syiah dan
Khawarij.[22]
Periodesasi
yang lebih sederhana dikemukakan oleh Fathi Utsman. Ia menentukan periodesasi
sejarah hukum Islam menjadi tiga, yaitu:
1.
Hukum Islam zaman Nabi
SAW.
2.
Hukum Islam zaman
Khulafa Rasyidun sampai penyusunan kitab-kitab fiqih
3.
Hukum Islam zaman
penyusunan kitab-kitab fiqih hingga sekarang.[23]
Ali Yafie
membagi periode hukum Islam dalam empat masa, yaitu:
1.
Dauru
at-tasyri, periode peletakan dasar-dasar hukum
fiqih sewaktu Rasulullah masih ada.
2.
Dauru
at-tadwin, yaitu masa kodifikasi dan resitrasi
hukum fiqih yang dilakukan para sahabat dan tabi’in setelah masa Rasulullah.
3.
Periode yang melahirkan
cabang-cabang ilmu fiqih yang banyak, misalnya ushulu al-fiqh, ilmu khilafiyah, ilmu jadal, dan ilmu furu’.
Mun’in A. Sirry memilah periodesasi
hukum Islam dilihat dari aspek fiqih ke dalam enam periose, sebagai berikut:
1.
Fiqih dalam era
Kenabian
2.
Fiqih dalam era Khulafa
Rasyidin
3.
Fiqih dalam era sighar
sahabat dan tabi’in
4.
Fiqih dalam era
keemasan
5.
Fiqih dalam era
keterpakuan tekstual
6.
Fiqih dalam era
kebangkitan kembali
Itulah
pandangan dari beberapa sejarawan, sedangkan menurut pakar dari kalangan Barat
atau orientalis Joseph Schacht menjelaskan bahwa periode hukum Islam pertama
bukan pada masa Nabi SAW. Periodesasinya sebagai berikut:
1.
Hukum Islam di akhir
Masa Umayyah (661 – 750 M)
2.
Hukum Islam zaman Bani
Abbasiyah (750 – 1258 M) hingga pendiri dan penganut madzhab fiqih.
3.
Hukum Islam masa
pemerintahan Utsmani sejak awal abad ke-16, khususnya Sultan Muhammad II (1451
– 1481), Bayazid II (1481), Salim I (1512 M), dan Sulaiman I (1520 – 1560 M).
4.
Hukum Islam Anglo sejak
Dinasti Mogul di India oelh Aurangzeb (1658 – 1707 M); Sultan Mahmud II (1808 –
1839 M) hingga Inggris menguasai India (1857 M).
5.
Hukum Islam zaman
modern sejak kodifikasi hukum oleh Muhammad Kadri Pasha (1857 M) dan berdirinya
negara-negara Islam berdasarkan negara kebangsaan atau nation states hingga sekarang.[25]
Periode hukum
Islam, menurut Schacht dimulai dari periode akhir pemerintahan Umayah,
kira-kira abad II. Kesimpulan tersebut terungkap sebagai berikut:
“Our conclusion
so far have led us to the beginning of the second century A.H. as the time ini
which Muhammadan Jurisprudence started. Occasionally, we have met or shall meet
legal opinions which can probably be assigned to the end of the first century.
But the essential features of old Muhammadan Jurisprudence, such as the idea of
‘living tradition’ of the ancient school of law; a body of common doctrine
expressing the earliest effort to systematize; legal maxims which often reflect
a slightly later stage; and an important nucleus of legal tradition—all these
features can be dated, roughly in this order, from the beginning of the second
century onwards. In any case, it is safe to say that Muhammadan legal science
started in the latter part of the Umaid periode, taking the legal perctice of
the time as its raw material and endorsing, modifying or rejecting it.”[26]
Berdasarkan
kalimat yang dicetak miring di atas, tampak bahwa Schacht, meskipun mengakui
hukum Islam Muhammad dimulai pada akhir pemerintahan Ummayah, bila dilihat dari
kalimat “it is safe to say …”, ia
masih menunjukkan kehati-hatian berpendapat, meskipun dalam beberapa kalimat
lain secara tegas mengatakannya.
Latar
belakang pemikiran Schacht bahwa periode hukum Islam dimulai pada akhir masa
pemerintahan Umayah didasarkan pada beberapa fakta dan argument sebagai berikut
di bawah ini.
“Pandangan
Schacht terhadap hukum Islam yang terjadi pada periode khalifah adalah bahwa
walaupun tiga generasi setelah wafat Nabi (632 M) atau dengan kata lain abad
pertama Islam, merupakan periode yang kata lain abad pertama Islam, merupakan
periode yang kacau, karena langkanya bukti-bukti yang dapat diperoleh, periode
tersebut tetap merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah hukum Islam terwujud
dan masyarakat Islam yang baru berhasil menciptakan lembaga hukumnya sendiri.
Meskipun sedikitnya bukti-bukti otentik yang tersedia, paling tidak menunjukan
bahwa sistem artiberasi Arab Kuno[27]
dan hukum adat Arab pada umumnya, seperti yang telah diubahdan disempurnakan
oleh Al-Quran terus berlangsung di bawah para pengganti Nabi, yaitu para
khalifah Madinah (632 – 661 M) adalah bukti nyata hukum Islam pra-Arab.
3. Contoh
Hukum Islam dalam bentuk muamalah pada zaman Rasulullah adalah Baitul Mal.
Al-Quran diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat persoalan yang
timbul pada masa Rasulullah Saw. tentu berbeda dengan yang dihadapi oleh
generasi berikutnya. Karena A-Qur;an hanya memuat sebagian hukum-hukum rinci,
dan sunnah terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada masa Rasulullah, maka
untuk memecahkan persoalan-persoalan baru, terutama yang terkait dengan
muamalah maka diperlukan ijtihad. Contoh hukum islam pada masa Rasulullah SAW sampai
abbasiyah diantaranya Baitul Mal, Jual beli.
4. Ada beberapa fuqaha dan para
mujtahid yang terkenal pada masa ini, yaitu dari madzhab fiqih yang dikenal di
kalangan Sunni. Selain itu, terdapat pula madzhab-madzhab yang dikenal dalam
kelompok Syi’ah, seperti madzhab Zaidiyah, madzhab Imamiyah, madzhab
Isma’iliyah, dan madzhab Ibadhiyah.[28]
Menurut Ibrahim Ad-Dasuqy, pada masa ini terdapat sampai 18 madzhab. Sebagian
diantaranya masih ada dan terus berkembang sampai sekarang, seperti madzhab
Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’I, Hambali, Syi’ah, Zaidiyah, Syiah Imamiyah, Ibadhi,
dan Zhahiry. Adapun madzhab yang lainnya seperti madzhab Hasan Al-Bashari, Amir
Asy-Sya’by, Auza’i Laitsi, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ath-Thabary, tidak
berpengikut lagi.[29]
Secara
umum, masing-masing madzhab memiliki ciri khas tersendiri. Hal tersebut karena
para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum.
Sekalipun demikian, perbedaan itu hanya terbatas pada masalah-masalah furu’, bukan masalah-masalah prinsipil
atau pokok syariat. Mereka sependapat bahwa sumber atau dasar syariat adalah
Al-Quran dan Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber
tersebut wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Mereka juga saling hormati
satu sama lain, selama yang bersangkutan berpendapat sesuai dengan garis-garis
yang ditentukan oleh syariat islam.[30]
Sebaran
madzhab dapat dilihat dari beberapa Negara, seperti Madzhan Syafi’i di Mesir,
Irak, Bagdad, Syam, Yaman hingga Brunei, Madzhab Hanbali di Arab Saudi dan
Bagdad, Madzhab Hanafi di Kufah, Irak, Khurasan, dan Turki, Madzhab Maliki di
Hijaz, Basrah, Mesir, dan beberapa daerah di Afrika, Andalusia, dan Maroko, dan
Madzhab Ja’fari di Iran.
5.Legislasi;
Proses Awal Pembentukan Hukum Islam
Khudri Bek, dalam Tarikh Tasyri’ al-Islam membagi sejarah
pembentukan hukum Islam kepada enam periode, yaitu:
1.
Pembentukan Hukum Islam
pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW.
2.
Pembentukan Hukum Islam
pada masa sahabat besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Khulafa Rasyidin
3.
Pembentukan Hukum pada masa sahabat dan
tabi’in yang sejajar dengan mereka kebaikannya. Masa ini berakhir dengan
berakhirnya abad pertama hijriyah atau sedikit sesudah itu
4.
Pembentukan Hukum pada
masa fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Periode ini berakhir dengan
berakhirnya abad ketiga hijriyah
5.
Pembentukan Hukum pada
masa yang didalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang berasal dari para
Imam, dan munculnya karangan-karangan. Periode ini berakhir dengan berakhirnya
Daulat Abbasiyah di Baghdad
6.
Pembentukan Hukum pada
masa taklid semata-mata. Masanya sesudah periode kelima sampai sekarang.[31]
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jurzani. 1988. Kitabu At-Ta’rifat. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Ilmiah
Al-Khalaf, Abdul Wahab. 1988.
Khulashoh At-Tasyri Al-Islami, diterjemahkan oleh Imran: Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Surabaya: Bina Ilmu
Al-Muqadas, Al-Khusni. t.t. Fathu
Ar-Rahman. Indonesia: Maktabah dahlan
Ali.
K., A. Study of Islamic History. Terj.
Ghufran A.Mas’adi. Cet III (Jakarta: Grafindo Persada: 2000)
Bek,
Khudri. Tarikh Tasyri’ Al-Islami, alih
bahasa Mhd. Zuhri. (Indonesia: Darul Ikhya, t.t).
Hasan, Ahmad. Pintu
Ijtihad Tertutup, Bandung: Salman, 1994.
Lewis,
Bernard. 1955. Law in The Middle
East:Origin and Development of Islamic Law, eds. Majid Khadduri and Herbert
J. liebesny. Washington DC: The Middle East Institute.
Mustafa
Azami, Muhamad. 1985. The Origin of
Muhammadan Jurisprudence, Terj. Muḥammad Muṣṭafá Azami. King Saud
University, 1985.
Supriyadi,
Dedi. 2010. “Sejarah Hukum Islam”. Bandung
Pustaka Setia, 2010
Supriyadi,
Dedi. 2008. “Perbandingan mazhab dengan pendekatan baru”. Pustaka Setia, 2008
Yafie, Ali. 1991. “Sistem
Pengambilan Hukum oleh Aimmatu Al-Madzahib” dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Rosdakarya
www.googleplay.com
[1].Ahmad Hasan, Pintu
Ijtihad Tertutup, Bandung: Salman, 1994, hlm. 1.
[2] Lihat Al-Khusni Al-Muqadas, Fathu Ar-Rahman, Maktabah Dahlan,
Indonesia, t.t, hlm. 348.
[3] H. Lammens, S.J., Islam:
Beliefs and Institutions, Oriental Books Reprint Corporation, New Delhi,
1979, hlm. 82. Batasan fiqih itu menurutnya, karena Islam adalah agama formal
sehingga fiqih mencakup semua kewajiban; Al-Quran membebankan pada kemampuan
orang beriman dan pada manusia sebagai masyarakat di bawah system teokrasi.
[4] Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta:
Al-Majlis Al-A’la Al-Indunisi, 1972, hlm. 11.
[5] Al-Jurzani, Kitabu At-Ta’rifat, Beirut: Dar Al-Kitab
Al-Ilmiah, 1988.
[6] Lihat Mun’im A. Sirry, Sejarah
Fiqh Islam (Sebuah Pengantar), Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 14.
[7] Lihat Juga Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal Lidarasat Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, Iskandariyah: Daru
Umar ibn Al-Khattab, 1969, hlm. 62.
[8] Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal
…, hlm. 62.
[9] Lihat Penjelasan Asaf A. A. Fyzee, Outline of Muhammadan Law, Oxford University Press, Bombay, India,
1948, hlm. 18-21.
[10] Kemal A. Faruqi, Islamic
Jurisprudance, Adam Publisher and Distributors, Shandar Marke, Chitli
Qabar, Delhi, 1994, hlm. 21-29.
[11] Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam (Terj. Dedi
Junaedi dan Hamidah), Jakarta: Akademika Pressindo, 1996, hlm. 11.
[12] Tarikh At-Tasyri
Al-Islami, Surabaya, Muhammad Naban (terj.), t.t., hlm. 4-5.
[13] Abdul Wahab Al-Khalaf, Khulashoh
At-Tasyri Al-Islami, diterjemahkan oleh Imran: Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1988, hlm. 11-12
[14] Jaih, Sejarah…, hlm.
13.
[15] Lihat Ahmad Al-Hashari, Tarikh
Al-Fiqh Al-Islami, Beriut: Maktabah Al-Kuliah Al-Wujriyah, t.t., hlm. 30.
[16] Hasbi Ash-Shiddiqie, Pokok-pokok
Pegangan Imam-imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1967, hlm. 31-32.
[17] Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar
…, hlm. 33.
[18] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,Jilid II, Jakarta UI-Pers, 1986. hlm. 10.
[19] Lihat Islam dan
Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 326.
[20] Kedudukan Nabi sebagai hakim pemutus ini antara lain
dikukuhkan dalam sbuah firman Allah, yaitu Q.S An-Nisa ayat 65, “Maka
demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman
sehingga mereka berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan
antara mereka, kemudian mereka tidak menemu ikekerabatan dalam diri metekeatas keputusan yang telah
kau ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya.” Firman ini dan
lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan kewajiban mengikuti
Nabi merlalui sunnah yang ditinggalkan beliau.
[21] Jaih, Sejarah …, op.
cit, hlm. 12.
[22] Muhammad Abu Zahroh, Muhadlarah
fi Tarikh Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Madani, hlm. 7-60
[23] Ibid.
[24] Ali Yafie, “Sistem Pengambilan Hukum oleh Aimmatu
Al-Madzahib”, dalam Kontroversi Pemikiran
Islam di Indonesia, Bandung: Rosdakarya, 1991, hlm. 15.
[25] Joseph Schacht, An
Introduction to Islamic Law, Ozford, USA, 1964, edisi II, hlm. 201. Lihat
juga Schacht & C.E. Bosworht, The Legacy of Islam Second edition, New
York: Oxford University Press, 1974, hlm. 397.
[26] Joseph Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence
[27] Menurut Satria Effendi, “Arbitrase dalam Syari’at Islam”,
dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Dierktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, Jakarta, No. 16. Thn. V, 1994, hlm. 51; dijelaskan bahwa
pada system kekuasaan kehakiman dalam sebuah pemerintahan dalam sejarah Islam
terdapat tiga macam kekuasaan penegak hukum: Kekuasaan Al-Qadla (Pengadilan biasa), kekuasaan Al-Hisbah, dan Kekuasaan
Al-Madzalim. Kekuasaan Al-Qadla adalah lemabaga peradilan yang
menyelesaikan perkara-perkara madaniyat
dan al-ahwal al-syakhshiyyah (masalah
keperdataan termasuk hukum keluarga), serta masalah jinayat. Pemutus perkaranya disebut qadli; Kekuasaan Al-Hisbah, merupakan sebuah badan resmi Negara
yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah atau
pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses
peradilan untuk menyelesaikannya, misalnya pengurangan takaran dan sebagainya; Kekuasaan Al-Madzalim, pengadilan khusus
kepada orang-orang teraniaya, dengan kata lain pengadilan alternative berbeda
dengan dua kekuasaan di awal.
[28] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,Jilid II, Jakarta UI-Pers, 1986. hlm. 19
[29] Muslim Ibrahim, perkembangan…, hlm. 42. Lihat Sya’ban,
At-Tasyiri …, hlm. 353-355
[30] Muslim Ibrahim, Ibid.
[31] Khudri Bek, Tarikh
Tasyri al-Islami, alih bahasa Mhd. Zuhri, (Indonesia: Darul Ikhya.
t.t),h.4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar