BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara
sporadis tersebar di sepanjang Jazirah Arabin. Setiap suku itu mempunyai format
dialek (lahjah) yang tipikal berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek
itu tentunya sesuai dengan leatak geografis dan sosio-kultural dari
masing-masing suku. Namun, di samping setiap suku memiliki dialek yang
berbeda-beda, mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama
(common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah, dan
melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya
kita dapat memahami mengapa Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa
Quraisy.
Di sisi lain, perbedaan-perbedaan
dialek (lahjah) itu akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan
(qira’ah) dalam melafalkan Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’at itu
sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami
(natural), artinya fenomena yang tidak
dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan
pelafalan Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at. Sabdanya “Al-Qur’an itu
diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadzza Al-Qur’an ala sab’ah
ahruf)” dan hadis-hadis lain yang sepadan dengannya, kendatipun Abu Syamah
dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz menolak muatan hadis itu sebagai justifikasi
qira’ah sab’ah, tetapi konteks hadis itu sendiri memberikan peluang Al-Qur’an
dibaca dengan berbagai ragam qira’ah.
Dalam peneluturan As-Syuthi, orang
yang pertama kali menu;lis buku tentang qira’at adalah ‘Abd At-Qasim bin Salam
(w. 224 H.), yang kemudian diikuti Ahmad bin Jubair Al-Kufi, Isma’il bin Ishaq
al-Maliki, Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari, Abu Bakar Muhammad bin ahmad bin
‘Umar ad-Dajuni, dan Abu Bakar bin Mujahid. Setelah itu, muncullah karya-karya
qira’at yang beragam. Thabaqah (hierarki) mereka secara khusus direkam oleh
Hafizh Al-Islam Abu ‘Abdillah adz-Dazahabi dan Hafizh Al-Qurra’ Abu Al-Khair
bin Al-Jazari )w.833 H.) di dalam karyanya An-Nasyr fi Al-Qira’at Al-‘Asyr.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Al- Qira’at
Berdasarkan
pengertian etimologi (bahasa), “qiraat” merupakan kata jadian (mashdar) dari
kata kerja “qara’a” (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi
(istilah). Maka ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama:
1.
Menurut
Az-Zarqani:
“Suatu madzhab
yang dianut seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan
Al-Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam
pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya.”
2.
Menurut Ibn
Al-Jazari:
“Ilmu yang
menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedannya
dengan cara menisbathakan kepada penukilnya.”
3.
Menurut
Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu
yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang
menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl yang
kesemuanya diperoleh secara periwayatan.”
4.
Menurut
Az-Zarkasyi:
“Qira’at adalah
perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Qur’an, baik menyangkut
huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif
(meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.”
5.
Menurut
Ash-Shabuni
“Qira’at adalah
suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang imam
berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.”
Perbedan cara
pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangkan yang sama bahwa ada
beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber,
yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang
lingkup perbedaan di antara beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada
tiga unsur qira’at yang dapat ditangkap dari definisi-definisi di atas, yaitu:
1.
Qira’at
berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah
seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2.
Cara pelafalan
ayat-ayat Al-Qur’an itu bedasarkan atas
riwayat yang bersambungkepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3.
Ruang lingkup
perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat,
fashi, dan washi.
A.
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
1.
Latar Belakang
Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun
tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada
beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi di atas:
a.
Suatu ketika
Umar bin Al-Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat
Al-Qur’an. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat
Al-Furqan. Menurut Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa
yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya
pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya
melaporkan peristiwa di atas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu
shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda”
“Memang
begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam
tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh
huruf itu.”
b.
Di dalam
riwayatnya, Ubai pernah bercerita:
“Saya masuk ke
masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat
An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya
bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab,
“Rasulullah SAW.” Kemudian, datanglah seseorang mengerjakan shalat dengan
membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan
saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya, “Siapakah
yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW.” Kedua orang
itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada
Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat
itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, ‘Baik. Kemudian, Nabi memminta
kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik.”
Menurut
catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu
pada awal II H. Tatkala para qari’ sudah tersebar di berbagai pelosok. Mereka
lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam
lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-temurun dari guru ke
guru, sehingga sampai kepada para imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau
yang empat belas.
Kebijakan
Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang
telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu
Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin Amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai
andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa
mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan
kawan-kawannya, kecuali pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian
bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena
mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Adanya
mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru,
pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya
qira’at yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi
bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin
sehingga pada akhirnya perbedaan qira’at itu sudah pada kondisi sebagaiman yang
disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada Utsman.
Di
antara ulama-ulama yang berjasa meneliti dan membersihkan qira’at dari berbagai
penyimpangan adalah:
a.
Abu ‘Amr
‘Utsman bin Sa’id bin ‘Utsman bin Sa’id Ad-Dani (w. 444 H.), dari Daniyyah,
Andalusia, Spanyol, dalam karyanyayang berjudul At-Taisir.
b.
Abu Al-Abbas
Ahmad bin Imarah bin Abu Al-Abbas Al-Mahdawi (w. 430 H.) dalam karyanya yang
berjudul Kitab Al-Hidayah.
c.
Abu Al-Hasan
Thahir bin Abi Thayyib bin Abi Ghalabun Al-Halabi (w. 399 H.), seorang
pendatang di Mesir, dalam karyanya yang berjudul At-Tadzkirah.
d.
Abu Muhammad
Makki bin Abi Thalib Al-Qairawani (w. 437 H.) di Cordova, dalam karyanya yang
berjudul At-Tabshirah.
e.
Abu Al-Qasim
Abdurrahman bin Ismail, terkenal dengan sebutan Abu Syamah, dalam karyanya yang
berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz.
Abu
Syamah dipandang sebagai orang yang pertama kali berpendapat bahwa bacaan yang
sesuai dengan bahasa Arab walaupun hanya satu segi dan sesuai dengan mushaf
Imam (Mushaf Utsmani), serta sahih sanadnya, adalah bacaan yang benar, tidak
boleh ditolah. Jika kurang salah satu dari syarat-syarat itu, qira’at itu lemah
atau syadz (aneh) atau batil.
Sesudah
itu, para imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang yang pertama kali
menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam (w.
244 H.). Ia telah mengumpulkan qira’at sebanyak kurang lebih 25 macam.
Kemudian, menyusulah imam-imam lainnya. Di antara mereka, ada yang menetapkan
20 macam; dan ada pulayang menetapkan di bawah bilangan itu. Persoalan qira’at
terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid, yang
terkenal dengan nama Ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh
macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari.
Inisiatif
Ibn Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibn
Ammar mencela keras Ibn Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang
tidak layak baginya. Ia dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan
bahwa qira’at yang tujuh itu adalah yang disebut dalam hadis Nabi (inna hadza
Al-Qur’an unzula ‘ala sab’at ahruf). Namun, berkat jasa Ibn Mujahid, kita dapat
mengetahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.
Ada
beberapa faktor yang membuat sebagian ulama merasa keberatan atas inisiatif Ibn
Mujahid di atas, yakni:
a.
Inisiatif Ibn
Mujahid menginventariskan qira’at menjadi tujuh memancing kekacauan dengan
timbulnya tendensi umat untuk memahami kata “sab’ah ahruf” dalam hadis Nabi
sebagai qira’at sab’ah itu. Dari sekian pendapat mengenai kata “ahrufin” tidak
ditemukan pendapat bahwa yang dimaksud kata itu adalah qira’ah sab’ah. Bila
kemudian ada pendapat bahwa yang dimaksud adalah qira’ah sab’ah, hal itu muncul
setelah dilakukan inventarisasi qira’at oleh Ibn Mujahid.
b.
Inisiatif Ibn
Mujahid menginventarisasi qira’ah sab’ah tak pelak membuat sebagian ulama
merasa keberatan. Mengapa hanya tujuh? Padahal, kajian tentang pertumbuhan
qira’at yang sudah muncul semenjak masa Nabi yang kemudian melalui jalur
periwayatan tersebar ke berbagai pelosok, akan membawa kesimpulan begitu banyak
qira’at yang pernah lahir. Oleh karena itu, keberatan sebagian ulama di atas
–dilihat dari konteks di atas—memang cukup beralasan.
c.
Istilah qira’ah
sab’ah belum masyhur sampai pada masa Ibn Mujhaid. Padahal, qira’at itu sendiri
sebenarnya sudah akrab semenjak abad II H. Ada kecenderungan dari ulama saat
itu unutk hanya mengambil satu jenis qira’at dsaja. Sementara qira’at-qira’at
lainnya –kalau tidak dianggap salah—ditinggalkan.
Ada
beberapa pertimbangan mengapa Ibn Mujahid hanya memilih tujuh qira’at dari
sekian banyak qira’at. Ketujuh tokoh qira’at itu dipilihnya dengan pertimbangan
bahwa merekalah yang paling terkemuka, paling masyhur, paling bagus bacaannya,
dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang. Yang tak kalah penting adalah
bahwa mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat merka masing-masing.
Dengan
demikian, bila hanya tujuh tokoh yang diturunkan Ibn Mujahid, tidaklah hanya
ulama-ulama itu yang menguasai qira’at. Masih banyak ulama lain yang sangat
berkompeten dalam hal ini, misalnya Khalaf bin Hisyam dan Yazid Al-Qa’qa. Usaha
Ibn Mujahid untuk sampai pada imam yang tujuh, menurut Subhi Ash-Shalih, hanya
merupakan kebetulan saja. oleh karena itu, menurut Al-Zarqani, seseorang tidak
harus terpaku pada jumlah itu saja, tetapi ia pun harus menerima setiap qira’at
yang sudah memenuhi tiga persyaratan, yakni sesuai dengan salah satu Rasm
Utsmani, sesuai dengan kaidah Arab, dan sanadnya shahih.
2.
Latar Belakang
Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada’)
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan
qira’at itu bermula dari cara seorang guru membacakan qira’at itu kepada
murid-muridnya. Kalau diruntut, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu,
sebagaimana dalam kasus Umar dan Hisyam, diperbolehkan oleh Nabi. Lalu,
beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan
Al-Quran itu sebagai berikut:
a.
Perbedaan dalam
i’rab atau harakat kaliamat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Misalnya
pada firman Allah:
“..(yaitu
orang-orang yang kikir, dan menyuru orang lain berbuat kikir..”). (Q.S An-Nisa
[4]:37)
Kata Al-Bakhl
yang berarti kikir di sini dapat dibaca fathah pada huruf ba’-nya sehingga
dibaca “bi Al-bakhli”; dapat pula dibaca dhammah pada ba’-nya shingga menjadi
“bi Al-bukhli.”
b.
Perbedaan pada
i’rab dan harakat (baris) kaliamat sehingga mengubah maknanya. Misalnya pada
firman Allah:
“Ya Tuhan kami,
jauhkan lah jarak perjalanan kami.” (Q.S Saba’ [34]:19).
Kata yang
diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah ba’id karena statusnya sebagai
fi’il amr; boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il
madhi, sehingga artinya telah jauh.
c.
Perbedaan pada
perubahan huruf antara perubahan i’rab dan bentuk tulisannya, sementara
maknanya berubah. Misalnya pada firman Allah:
“..dan lihatlah
kepada tulang belulang itu, kemudian Kami menyusunnya kembali” (Q.S Al-Baqarah
[2]:259)
Kata nunsyizuha
(Kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf zay () diganti
dengan huruf ra () sehingga menjadi berbunyi nunsyiruha yang berarti “Kami
hidupkan kembali.”
d.
Perubahan pada
kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.
Misalnya pada firman Allah:
“..dan
gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (Q.S Al-Qari’ah [101]:5)
Beberapa
qira’at mengganti kata ka “al-‘ihin” dengan ka “ash-shufi” sehingga yang
mulanya bermakna “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba”. Perubahan
seperti ini, berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan, karena bertentangan
dengan mushaf Utsmani.
e.
Perbedaan pada
kaliamat di mana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada ungkapan
thal’in mandhud menjadi thalhin mandhud.
f.
Perbedaan pada
mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firman Allah:
“Dan datanglah
sakaratul maut dengan sebenar0benarnya.” (Q.S. Qaf [50]:19)
Konon, menurut
suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi Wa ja’at sakrat Al-haqq bi
Al-maut. Abu Bakar menggeser kata
“al-maut” ke belakang, sementara kata “al-haqq” dimajukan ke tempat yang
ia geser ke belakang. Setelah mengalami pergeseran ini, bila diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, kaliamat itu menjadi: “Dan datanglah sekarat yang
benar-benar dengan kematian.”
Qira’at semacam
ini, juga tidak dipakai, karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku.
g.
Perbedaan
dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah:
“...surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:25)
Kata min pada
ayat ini dibuang, dan pada ayat serupa yang tanpa min justru ditambah.
B.
Sebab-sebab Perbedaan Qira’at
Di antara sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda
adalah sebagai berikut.
1.
Peerbedaan
qira’at Nabi. Artinya dalam mengerjakan Al-Quran kepada para sahabatnya, Nabi
memakai beberapa versi qira’at. Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-Sajdah
(32) ayat 17 sebagai berikut:
Qira’ah versi
mushaf Utsmani adalah:
2.
Pengakuan dari
Nabi terhadap berbagi qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu.
Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam
Al-Quran. Contohnya:
a.
Ketika seorang
Hudzail membaca di hadapan Rasul atta hin
(), padahal ia menghendaki hatta hin (), Rasul pun membolehkannya sebab
memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.
b.
Ketika orang
Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh (), huruf “ta” pada kata
“tiswaddu” dikasrahkan. Dan alam i’had ilaikum (), huruf “hamzah” pada kata
“i’had” (dikasrahkan), Rasul pun membolehkannya, sebab memang demikianlah orang
Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
c.
Ketika seorang
qari’ membaca wa idza qila lahumm () dan ghidha Al-ma’u () dengan menggabungkan
dhamah kepada kasrah, Rasul pun membolehkannya sebab memang demikianlah ia
menggunakan dan mengucapkannya.
3.
Adanya riwayat
dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
4.
Adanya lahjah
atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Quran.
C.
Macam-macam Qira’at
1.
Dari Segi
Kuantitas
a.
Qira’ah Sab’ah
(Qira’ah Tujuh). Maksud sab’ah adalah imam-imam qira’at yang tujuh. Mereka
adalah:
1)
Abdullah bin Katsir
Ad-Dari (w. 120. H.) dari Mekah. Ad-Dari termasuk generasi tabiin. Qira’at yang
ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Jubair dan lain-lain. Sahabat
Rasulullah yang pernah ditemui Ad-Dari, di antaranya Anas bin Malik, Abu Ayyub
Al-Anshari, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah.
2)
Nafi’ bin
Abdurrahman bin Abu Na’im (w. 169 H.) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira’at
kepada 70 orang tabi’in. Para tabi’in yang menjadi gurunya itu belajar kepada
Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah.
3)
Abdlullah
Al-Yahshibi, terkenal dengan sebutaqn Abu ‘Amir Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari
Syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi, dari
‘Utsman bin ‘Affan. Tokoh tabi’in ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah
yang bernama Nu’man bin Basyir dan Wa’ilah bin Al-Asyqa’. Sebagian riwayat
mengatakan bahwa ‘Abdullah Al-Yashibi sempat berjumpa dengan ‘Utsman bin ‘Affan
secara langsung.
4)
Abu ‘Amar
(wafat 154 H) dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adlah Zabban bin Al-A’la bin
‘Ammar. Ia meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin Jabr.
5)
Ya’qub (wafat
205 H), dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah Ibnu Ishak Al-Hadhrami.
Ya’kub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawi yang mengambil qira’at
dari ‘Ashim dan Abu Amar.
6)
Hamzah (wafat
188 H). Nama lengkapnya adalah Ibnu Habib Az-Zayyat. Hamzah belajar qira’at
pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin
Hubaisy, dari ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.
7)
Ashim. Adapun
nama lengkap Ashim adalah Ibnu Abi An-Najud Al-Asadi (wafat 127 H). Ia belajar
qira’at kepada Dzar bin Hubaisy, dari ‘Abdullah bin Mas’ud.
b.
Qira’at Asyarah
(Qira’at Sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang
disebutkan di atas ditambah dengan tiga qira’at berikut :
1)
Abu Ja’far.
Nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa’qa Al-Makhzumi Al-Madani. Ia memperoleh
qira’at dari Abdullah bin ‘Abbasa, dan Abu Hurairah. Mereka bersua
memperolehnya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari
nabi.
2)
Ya’kub
(117-205H). Nama lengkapnya adalah Ya’kub bin Ishaq bin Yazid bin ‘Abdlullah
bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak orang
yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibnu ‘Abbas, yang membacanya
langsung dari Rasulullah SWA.
3)
Khallaf bin
Hisyam (wafat 229 H). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin
Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Bagdadi. Ia menertima qira’at dari Sulaiman bin ‘Isa bin
Habib.
Berkaitan denang kualitas riwayat qira’at sab’ah, Az-Zarqani menutukan
lima pendapat, dari yang ekstrem sampai yang moderat.
1.
Abu Sa’ud farj
bin Lubb, seorang mufi Andalusia, berpendapat bahwa penolakan terhadap qira’at
sab’ah dapat membawa pada kekafiran karena akan menimbulkan konsekuensi pada
penolakan kemutawatiran Al-Quran.
2.
Sebagian ulama
menyamakan qira’at sab’ah dengan qira’at-qira’at lainnya. Tingkat keakurasian
qira’at sab’ah, seperti halnya qira’at-qira’at lainnya, hanya sampai pada
derajat ahad.
3.
Ibnu As-Subuki,
dalm Jam ‘ Al-Jawami’, menjelaskan bahwa qira’at sab’ah merupakan riwayat
mutawatir nabi.
4.
Ibnu Al-Hajib
juga berpendapat bahwa riwayat qira’at sab’ah adalah mutawatir, tetapi ia
mengecualikan persoalan-persoalan yang menyangkut Al-‘ad, madd, imalah, dan
takhfif hamzah. Al-Banani menjelaskan bahwa persoalan-persoalan yang
dikecualikan Ibnu Al-Hajib adalah persoalan yang masuk pada ruang lingkup
ijtihadi.
5.
Abu Syamah,
dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz, berpendapat bahwa kemutawatiran qira’at
sab’ah hanya menyangkut jalan-jalan periwayatan yang telah disepakati datang
dari para imam qira’at. Adapun qira’at yang jalan periwayatannya masih
diperselisihkan datangnya dari mereka, qira’at itu tidaklah mutawatir.
c.
Qira’at Arba’at
Asyrah (Qira’at Empat Belas). Yang dimaksud qira’at empat belas adalah qira’at
sepuluh yang telah disebutkan diatas ditambah dengan empat qira’at berikut :
1.
Al-Hasan
Al-Bashri (wafat 110 H). Salah seorang tabi’in besar yang terkenal
kezahidannya.
2.
Muhammad bin
‘Abdirrahman, yang terkenal dengan nama Ibnu Mahishan (wafat 123 H). Ia adalah
guru Abi ‘Amr.
3.
Yahya bin
Al-mubarak Al-Yazidi an-Nahwi Al-Baghdadi (wafat 202 H). Ia mengambil qwira’at
dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4.
Abu Al-Farj
Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (wafat 388 H).
2.
Dari Segi Kualitas
Berdasarkan
penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam
lima bagian :
a.
Qira’at
Muttawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir
sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
Umumnya, qira’at yang ada masuk ke dalam bagian ini.
b.
Qira’at
Masyhur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas
mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf ‘Utsmani,
Masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan
Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang. Umpamanya,
qira’at dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbda-beda. Sebagian
perowi misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya
tidak. Qira’at semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qira’at,
misalnya At-Taisir karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syathibi, Au’iyyah
An-Nasyr fi Al-Qira’ah Al-‘Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir Ibnu
Al-Jazari).
c.
Qira’at Ahad,
yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf ‘Utsmani dan
kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana
ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. Al-Tirmidzi dalam kitab Jami’nya dan
Al-Hakim dalam Mustadraknya menempatkan qira’at seperti ini dalam bahasan khususnya,
diantaranya riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari
Abu Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. Membaca ayat :
arab
Artinya :
“mereka bertelekah pada bantal-bantal yang hiaju dan
permadani-permadani yang indah.” (QS. Ar-Rahman[55]:76)
Qira’at versi mushaf ‘Utsmani :
arab
Dari abu hurairah, al-Hakim mengeluarkan riwayat bahwa nabi membaca
ayat :
arab
Artinya :
“ seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka,
yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata.” (QS. As-Sajdah
[32]:17).
Qira’at versi mushaf ‘utsmani :
Arab
Juga dari Abu Hurairah , Al-Hakim mengeluarkan sebuah riwayat bahwa
nabi membacakan ayat :
Arab
Artinya :
“ sesungguhnya datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri.”
(QS. Yunus[10]:128).
Huruf fa dibaca fathah/anfasikum. Qira’at versi mushaf ‘Utsmai :
Arab
Dari ‘Aisyah, Hakim mengeluarkan riwayat bahwa Nabi membaca ayat :
Arab
Artinya :
“ – maak dia memperoleh ketentraman dan rezeki –“ (QS. Al-Waqi’ah
[56]:89).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
d.
Qira’at Syadz
(menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah bnyak kitab yang ditulis
untuk jenisnqira’at ini. Diantara macam qira’at ini adalah :
Arab
Artinya :
“ yang menguasai hari
pembalasan.” (QS. Al-Fatihah [1]:4).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
Contoh lainnya adalah :
Arab
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
e.
Qira’at Maudhu’
(palsu), seperti qira’at Al-Khazzani. Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at
yang keenam, yaitu:
f.
Qira’at yang
menyerupai hadits mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan
tujuan penafsiran. Umpamanya, qira’at Abi Waqqash :
Arab
Artinya :
“ tetapi mempunyai seorangh saudara laki-laki (seribu saja) atau
seorang saudara perempuan (seribu saja).” (QS> An-Nisa [4]:12).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
Juga seperti qira’at Ibnu ‘Abbas :
Arab
Artinya :
“ tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) hasil
perniagaan) dari Tuhanmu pada musim haji.” Al-Baqarah [2]:198).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
Juga seperti qira’at Ibnu Zubair:
Arab
Artinya :
“ Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
dan memohon pertolongan kepada Allah atas musibah yang turun.” (QS. Ali Imran
[3]104).
Qira’at mushaf ‘Utsmani :
Arab
Tolak ukur yang dijadikan pegangann para ulama dalam menetapkan
qira’at sahih adalah sebagai berikut :
a.
Bersesuaian
dengan kaidah bahasa Arab, baik yagn fasih atau paling fasih.
b.
Bersesuaian
dengan salah satu kaidah penulisan mushaf ‘Utsmani walaupun hanya kemungkinan
(ihtimal).
c.
Memiliki sanad yang sahih.
E.
Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam istinbath
(penetapan) Hukum
1.
Urgensi Mempelajari Qira’at
a.
Dapat
menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
Misalnya, berdasarkan surat An-nisa [4] ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa
yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut,
yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira’at syadz,
Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “min umm” sehingga ayat itu
menjadi :
Arab
Artinya
:
‘ jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta.” (QS. An-Nisa’ [4]:12).
Dengan demikian, qira’at Sa’ad bin
Abi Waqqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah
disepakati.
b.
Dapat mentarjih
hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah [5] ayat
89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekakan budak. Namun,
tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung
perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu
memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi :
Arab
Artinya:
“ – maka kifarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang bisa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak mukmin.” (QS.Al-Maidah [5] :89).
Tambahan kata mukminatin berfungsi
mentarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan
memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu
alternatif bentuk kifaratnya.
c.
Dapat
menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat
Al-Baqarah ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan
seksual tatkala istrinnya sedang haid, sebelum haidnya berakhir. Sementara
qira’at yang membacanya dengan “yuththahhirna”
(di dalam mushaf ‘Utsmani tertulis “yathhurna”),
dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual
sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d.
Dapat
mununjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6. Ada dua bacaan
mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum”
dan yang membaca “arjulikum”.
Perbedaan qira’at ini tentu saja mengonsekuensikan kesimpulan hukum yang
berbeda.
e.
Dapat
memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit
dipahami maknanya. Misalnya, didalam surat Al-Qari’ah [101] ayat 5. Allah
berfirman :
Arab
Dalam sebuah qira’at yang syadz
dibaca :
Arab
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan kata “Al-‘ihri”
adalah “Al-shuf”.
2.
Pengaruhnya dalam Istinbath (Penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at terkadang berpengaruh pula dalam
menetapkan
ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh
itu.
a.
Surat
Al-Baqarah [2] : 222 :
Arab
Artinya
:
“ mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab
itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah bersuci,
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan munyukai orang-orang
yang menyucikan diri.” (QS.Al-Baqarah[2] : 222).
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’ah tujuh, yaitu
Abu Bakar Syu’bah (qira’at Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’i
membaca kata “yathhurna” dengan
memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan
qira’at ini, para ulama fiqh berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan
qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak
diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci
atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang
suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah
bersih.
b.
Surat An-Nisa’
[4] : 43 :
Arab
Artinya
:
“ dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat ari, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tangnmu.
Sesungguhnya Allah Maha pemaaf lagi maha pengampun.” (QS.An-Nisa [4] :43).
Berkaitan
dengan ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’i memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”,
sementara imam-imam lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at
iini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu
bersetubuh, bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at itu
pula, para ulama fiqh ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan
perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa
bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
c.
Surat
Al-Ma’idah [5] :6 :
Arab
Artinya
:
“hai
orang-orang yang beriman,apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al-Ma’idah [5]:6).
Berkaitan
dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang
lain membacanya dengan “arjulikum”.
Dengan membaca “arjulakum”, amyoritas
ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan
menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadits. Ulama-ulama
Syi’ah Imamiyah berpegang pada bacaan “arjulikum”
sehingga mereka emwajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu’. Pendapat yang sama
diriwayatkan juga dari Ibn ‘Abbas dan Anas bin Malik.
DAFTAR BACAAN
Abu
Hafs ‘Umar, Al-Mukarrar fi Ma taeatara min Al-Qira’at Al-Sab’i, Al-Haramain,
Singapura.
Badr
Ad-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘ulum Al-Quran.
Hassanuddin
A.F, Anatomi Al-Quran : perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath
Hukum dalam Al-Quran, Raja Grafindo, Persada, Jakarta.
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Quran, Bulan-Bintang, Jakarta, 1972.
Ibrahim
Al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Quran, Rajawali Press, Jakarta, 1988.
Jalaluddin
As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.
Kamaluddin
Marzuki, ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-‘Ashr Al-hadits, ttp, 1973.
Muhammad
‘abd al-‘Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-Irfan, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.
Muhammad
‘Ali Ash-Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum Al-Quran, Maktabah Al-Ghazali, Damaskus,
1390.
Muhammad
bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Quran, terj. Rosihon
Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
Rujdi
Ahmad Khalil, Dirasat fi Al-Quran, Dar Al-Ma’arif, t.t.
Subhi
Shahih, Mabahits fi ‘ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar