Jumat, 16 Mei 2014

RAHN


RAHN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada perkuliahan Hadis-hadis Ekonomi, dibawah bimbingan Drs. Muntasir, M.Ag.

Disusun Oleh:
            Lina Fatinah                  1123020052

 



PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013

Kata pengantar

            puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan  makalah ini tepat pada waktunya.
            Makalah ini berisi tentang Rahn (Gadai) meliputi pengertian, sifat, jenis, syarat, rukun, dasar dan hokum Rahn.
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.


                                                                                                                    Bandung, 25 Juni 2013

                                                                                                                             Penyusun                



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang…………………………………………………………1
  2. Rumusan Masalah………………………………………………...……2
  3. Tujuan………………………………………………………………….2

BAB II RUANG LINGKUP RAHN
  1. Pengertian Rahn…………………………………………………….…3
2.      Dasar Hukum Rahn………………………………….……...………...5
  1. Hukum Rahn………………………………………………………….7
  2. Rukun-rukun Rahn ………………………………….……………..…8
  3. Syarat Rahn………………………………………….………………..8
  4. Jenis-Jenis Rahn………………………………………………………9
  5. Pemanfaatan Barang Gadai……………………………………….....12

BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………….14
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.  Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.


B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat kami rumuskan adalah:
  1. Apa yang di maksud dengan Rahn ?
  2. Apa dasar hukum Rahn ?
  3. Bagaimana hukum  Rahn ?
  4. Ada berapa macam dan jenis Rahn ?
  5. Apa saja pemanfaatan barang Gadai?
C.    Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui pengertian Rahn
2.      Mengetahui dasar hukum Rahn
3.      Mengetahui Hukum Rahn
4.      Mengetahui macam dan jenis Rahn
5.      Mengetahui pemanfaatan barang Gadai



BAB II
RUANG LINGKUP RAHN
A.    Pengertian Rahn (gadai)
Secara etimologi, rahn berarti الثبوت والدوام (tetap dan lama) yakni tetap berarti الحبس واللزوم (pengekangan dan keharusan). Sedangkan menurut istilah ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sbagai pembayaran dari barang tersebut. Akan tetapi menurut ulama hanafiyah Gadai secara istilah ialah mnjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ktika berhalangan dalam membayar utang.
Transaksi hukum gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.[1] Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam (الثُّبُوْتُ وَالدَّوَامُ), yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin (مَاءٌرَاهِنٌ), yang berarti air tenang.
Secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.[2] Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan, sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.
Namun pengetian gadai yang terungkap dalam pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu makna gadai (rahn) dalam bahasa perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan.[3]
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum islam, Zainudin Ali berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.[4]
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) diatas, maka tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan.karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial.
Jika Pengertian gadai syariah (rahn) menahan harta salah satu milik nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang atau pinjaman atau marhun bih  yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.[5]

Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang di berikan murtaqin kepada rahn adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikannya.
Rhan juga termasuk juga akad yang ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesuadah menyerahkan benda yang dijadikan akad, sperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al qabdu)

 B.     Dasar Rahn (gadai)
Al Qur’an
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ …. (البقرة : ۲۸۳)
Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di pegang” (Q.S. 2: 283)
Assunnah

عن عائسة ر.ع. ان رسول الله ص.م. أشتر ى من يهودي طعاما ورهنه درعا من حديد. (روه البخارى والمسلم)

“Dari Siti Ai’sah r.a. bahwa rasulullah saw bersabda: pernah membeli makanan dengan baju besi”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ مِنْ حَدِيدٍ.[6][1]
Terjemahannya:
Meriwayatkan Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.”



Hadis A’isyah ra yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
حدثاإسحاق بن إبراهيم الحنظلي وعلي بن حشرم قال:اخبرناعيسى بن يونس بن العمش عن إباهيم عن الأسوادعن عا ئشة قالت:اشترى رسول الله صلى الله عليه وسلم من يهودي طعاماورهنه درعا من حديد (رواه مسلم)
Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hazhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah SAW. Membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya. (HR. Muslim)[7]
Dalam suatu hadis juga disebutkan:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : اَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اشْتَرى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ اِلى اَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخا رى والمسلم)
“Dan dari Aisyah r.a., bahwa sesungguhnya Nabi saw. pernah membeli makanan dari seorang yahudi secara bertempo, sedang Nabi saw. menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi itu.” (HR Bukhori dan Muslim).[8]

Dari Imam Syafi’i dan Sunan Ibnu Majah:
أﺧﺒﺮﻧﺎﻋﺒﺪاﻟﻌﺰﻳﺰﺑﻦﻣﺤﻤﺪاﻟﺪراﻮرديﻋﻦﺟﻌﻔﺮﺑﻦﻣﺤﻤﺪﻋﻦأﺑﻴﻪﻗﺎلرﻫﻦرﺳﻮلﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢدرﻋﻪﻋﻨﺪأﺑﻲاﻟﺸﺤﻢاﻟﻴﻬﻮدي
“Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada Abu Asy-Syahm, seorang Yahudi.” (Musnad Imam Syafi’i).
ﻋﻦأﻧﺲﻗﺎلﻟﻘﺪرﻫﻦرﺳﻮلﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢدرﻋﻪﻋﻨﺪﻳﻬﻮديﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﻪﻓﺄﺟﺬﻟﺄﻫﻠﻪﻣﻨﻪﺷﻌﻴﺮا
“Dari Anas bin Malik RA ia berkata, “ Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan darinya beliau telah mengambil gandum untuk keluarganya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah. Ket: (Hadis) Shahih).
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Sistem utang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan ijmakaum muslimin..

انه صلي الله عليه وسلم رهن درعه عند يهودي علي ثلاثين صاعا من شهر لاهله

Bahwanya Rasulullah Saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi dengan tiga puluh gantang gandumuntuk keluarganya”
أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya Nabi SAW membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya”. (HR Al Bukhori)

C.    Hukum Rahn
Para ulama sepakat bahwa rahn di bolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah diatas hanyalah irsad (anjuran baik saja) kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan, yang artinya “akan tetapi, jika sabagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya). (Q.S.Al baqarah :283).
Hukum rahn secara umum terbagi dua yaitu: shahih dan ghair shahih (fasid). Rahn shahih adalah rahn yang memenuhi persyaratan. Sedangkan Rahn Fasid ialah rahn yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.


D.    Rukun-rukun Rahn (gadai)
  1. Akad ijab dan qabul seperti seseorang berkata “aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp.10.000, dan yang satu lagi menjawab “aku terima gadai mejamu seharga Rp.10.000, atau bisa pula dilakukan selain dngan kata-kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
  2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rabin) dan yang menerima gadai (murtabin). Adapun sarat  yang berakad adalah ahli tasauf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
  3. Barang yang diajadikan jaminan (borg) sarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji uang harus dibayar. Rasul bersabda:

كل ما جازبيعه جازرهنه

 “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”.

Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam masalah gadai ada tiga macam yaitu kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.

E.     Syarat Rahn
  1. Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang yang  telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
  2. Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
  1. Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

F.     Jenis-Jenis Rahn
Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah RAHN. Rahn yang diatur menurut Prinsip Syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:
  1. Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Maksudnya bagaimana ya? Jadi begini:
Tenriagi memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tenriagi menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.
Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
  1. Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif.  Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil kembali mobil tersebut.
Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.
Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor.  Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.
Sebagai contoh:
Putri sudah merencanakan untuk memasukkan anaknya ke Universitas yang bermutu pada tahun ajaran baru ini. Namun demikian, ternyata anaknya hanya bisa diterima melalui jalur khusus. Uang pangkal untuk masuk ke jurusan favorit anaknya adalah sebesar Rp. 30 juta, sedangkan Putri hanya memiliki uang tunai sebesar Rp. 20 juta. Untuk mengatasi masalah tersebut, Putri mencari alternative dengan cara menggadaikan perhiasan emasnya ke Bank Syariah terdekat. Emasnya sebesar 50gram dan untuk itu, Putri berhak untuk mendapatkan pembiayaan sebesar Rp. 15juta. Karena Putri merasa hanya membutuhkan uang sebesar Rp. 10juta, maka Putri juga bisa hanya mengambil dana tunai sebesar Rp. 10 juta saja.
Oleh Bank Syariah, dibuatkan Akad Qardh untuk memberikan uang tunai kepada Putri, dan selanjutnya dibuatkan akad Rahn untuk menjamin pembayaran kembali dana yang dierima oleh Putri. Sebagai uang sewa tempat untuk menyimpan emas tersebut pada tempat penitipan di Bank sekaligus biaya asuransi kehilangan emas dimaksud, Bank berhak untuk meminta Ujrah (uang jasa), yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 3.500,– per hari. Dengan demikian, jika Putri baru bisa mengembalikan uang tunai yang diterimanya pada hari ke 30 (1 bulan), maka uang sewa sekaligus asuransi yang harus dibayar oleh Putri adalah sebesar:
Rp. 3.500,–  X  30 hari     =    Rp. 105.000,–
Jadi, pada saat pengembalian dana yang diterima olehnya, Niken harus membayar uang sebesar:
Rp. 10 jt  +  Rp. 105.000,–   = Rp. 10.105.000,–
Bagaimana kalau ternyata dalam waktu 2 bulan Putri belum bisa mengembalikan dana tersebut? Jika demikian, maka  Putri dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu gadai tersebut kepada Bank yang berkenaan. Perpanjangan tersebut dapat dilakukan secara lisan, dengan mengajukan pemberitahuan kepada Bank tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika baru 1 minggu Putri sudah bisa mengembalikan dana yang diterimanya, maka Putri tinggal menghubungi Bank dimaksud, dan membayar biaya sewa tempat sekaligus asuransi tersebut selama 1 minggu saja.
Jadi, prinsip pokok dari Rahn adalah:
  1. Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
  2. Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.
  3. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan tersebut.

G.        Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam pemanfaatan barang gadai, terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama’, diantaranya:
1.                  Jumhur Fuqoha’berpendapat bahwa murtahin tidak diperbolehkan memakai barang gadai dikarenakan hal itu sama saja dengan hutang yang mengambil kemanfaatan, sehingga bila dimanfaatkan maka termasuk riba. Berdasar hadits nabi yang artinya: “setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”(HR. Harits Bin Abi Usamah)[9]
2.                   Menurut Ulama Hanafi, boleh mempergunakan barang gadai oleh murtahin atas ijin rahin, dan itu bukan merupakan riba, karena kemanfaatannya diperoleh berdasarkan izin dari rahin.
3.                   Menurut Mahmud Shaltut, menyetujui pendapat dari Imam Hanafi dengan catatan: ijin pemilik itu bukan hanya sekedar formalitas saja, melainkan benar benar tulus ikhlas dari hati saling pengertian dan saling tolong menolong.
4.                  Menurut Imam Ahmad, Ishak, Al Laits Dan Al Hasan, jika barang gadaian berupa barang gadaian yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka murtahin dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Sesuai dengan hadits nabi yang artinya:”binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan dagi orang yang memegang yang memegang dan meminumnya  wajib memberikan biaya”(HR.  Bukhari)[10]










BAB III
KESIMPULAN
Secara etimologi, rahn berarti الثبوت والدوام (tetap dan lama) yakni tetap berarti الحبس واللزوم (pengekangan dan keharusan). Sedangkan menurut istilah ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sbagai pembayaran dari barang tersebut. Akan tetapi menurut ulama hanafiyah Gadai secara istilah ialah mnjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ktika berhalangan dalam membayar utang.
Rukun-rukun Rahn (gadai)
  1. Akad ijab dan qabul
  2. Aqid,.
  3. Barang yang diajadikan jaminan (borg).
Syarat Rahn
  1. Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang yang  telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
  2. Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
  3. Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.


[1] Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hlm.1
[2] Ibid, hlm 1
[3] Ibid, hlm 2.
[4] Ibid, hlm 3
[5] Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: UI-Press 2005), hlm 38
[6][1] http://www.ensiklopedi9.com diakses tanggal 22 Desember 2012
[7] Zainudin Ali, Op.Cit.,hlm 7.
[8] Hussein Bahreisj, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Terj. Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hlm. 173.
[9] Drs. H. Hendi Suhendi, M.SI, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hal 108
[10] H. Moh anwar. Fiqh islam. (bandung. PT. Al ma’arif:1998). Hal. 58

 
DAFTAR PUSTAKA


Prof. Dr.H. Rachmat Ayaf’I, MA. Fiqh Muamalah, Pustaka Setia Bandung,cet 10 2001,
Drs. H. Hendi Suhendi, M.SI, Fiqh Muamalah, PT Raja Grapindo Persada Jakarta, cet I Juli 2007.
Dr. H. Nasution Haroen, MA. Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama Jakarta, 2007
Sayid Sabiq. Fiqh Al-Sunnah
Ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: pustaka Amani
Ibrahim. khasiyah baijuri.
Muhammad bin Umar. Nihayatul Zain
Ascarya. 2008. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta : RajaGrafindo Persada
H. Moh anwar. Fiqh islam. (bandung. PT. Al ma’arif:1998)
Drs. H. Hendi Suhendi, M.SI, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
Hussein Bahreisj, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Terj. Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987)
Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, s2008)
A. Zainuddin S.Ag dan jamhuri M. Ag. Al islam 2 muamalah dan akhlak (bandung: CV. Pustaka setia, 1998)
Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan sistem operasional, (Jakarta: UI-         Press, 2005),
Alqur’an dan Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar