RAHN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada perkuliahan Hadis-hadis Ekonomi, dibawah bimbingan Drs. Muntasir,
M.Ag.
Disusun Oleh:
Lina Fatinah 1123020052
PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
Kata
pengantar
puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini berisi tentang Rahn
(Gadai) meliputi pengertian, sifat, jenis, syarat, rukun, dasar dan hokum Rahn.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Amin.
Bandung, 25 Juni
2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………i
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………ii
BAB
I PENDAHULUAN
- Latar Belakang…………………………………………………………1
- Rumusan Masalah………………………………………………...……2
- Tujuan………………………………………………………………….2
BAB
II RUANG LINGKUP RAHN
- Pengertian Rahn…………………………………………………….…3
2.
Dasar Hukum Rahn………………………………….……...………...5
- Hukum Rahn………………………………………………………….7
- Rukun-rukun Rahn ………………………………….……………..…8
- Syarat Rahn………………………………………….………………..8
- Jenis-Jenis Rahn………………………………………………………9
- Pemanfaatan Barang Gadai……………………………………….....12
BAB
III KESIMPULAN…………………………………………………………….14
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan
dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah
(hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya
untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena
itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi
kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan
sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan
ketangan yang lainnya.
Hutang
piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena
ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang
terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan
hartanya.
Dalam
hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan
salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai
boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan
rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah
tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan
tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba
sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun masalah yang
dapat kami rumuskan adalah:
- Apa yang di maksud dengan Rahn ?
- Apa dasar hukum Rahn ?
- Bagaimana hukum Rahn ?
- Ada berapa macam dan jenis Rahn ?
- Apa saja pemanfaatan barang Gadai?
C.
Tujuan
Adapun tujuan pembuatan
makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
pengertian Rahn
2.
Mengetahui dasar
hukum Rahn
3.
Mengetahui Hukum
Rahn
4.
Mengetahui macam dan
jenis Rahn
5.
Mengetahui
pemanfaatan barang Gadai
BAB II
RUANG LINGKUP
RAHN
A.
Pengertian Rahn (gadai)
Secara
etimologi, rahn berarti الثبوت والدوام (tetap dan lama) yakni tetap berarti
الحبس واللزوم (pengekangan dan keharusan). Sedangkan menurut istilah
ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sbagai
pembayaran dari barang tersebut. Akan tetapi menurut ulama hanafiyah Gadai
secara istilah ialah mnjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat
dijadikan pembayar ktika berhalangan dalam membayar utang.
Transaksi hukum gadai dalam fikih
islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.[1]
Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab
adalah ats-tsubut wa ad-dawam (الثُّبُوْتُ وَالدَّوَامُ), yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin (مَاءٌرَاهِنٌ), yang berarti air tenang.
Secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu
barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.[2]
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa
seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan, sedangkan dalam
pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai
jaminan secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah
ditebus.
Namun pengetian gadai yang
terungkap dalam pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak
yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak,
yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh
orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai
utang. Karena itu makna gadai (rahn) dalam
bahasa perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan
rungguhan.[3]
Berdasarkan pengertian gadai yang
dikemukakan oleh para ahli hukum islam, Zainudin Ali berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang
bersifat materi milik si peminjam (rahin)
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima
tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau
sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan
tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.[4]
Jika memperhatikan pengertian
gadai (rahn) diatas, maka tampak
bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang
meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau
jaminan keamanan uang yang dipinjamkan.karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang
murni berfungsi sosial.
Jika Pengertian gadai syariah (rahn) menahan harta salah satu milik
nasabah atau rahin sebagai barang
jaminan atau marhun atas hutang atau
pinjaman atau marhun bih yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang
menahan atau penerima gadai atau murtahin
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya.[5]
Sifat Rahn
Secara umum rahn
dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
Yang di berikan murtaqin kepada rahn adalah utang, bukan penukar atas barang
yang digadaikannya.
Rhan juga termasuk juga
akad yang ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesuadah menyerahkan benda yang
dijadikan akad, sperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua
termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al
qabdu)
B.
Dasar Rahn (gadai)
Al Qur’an
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ …. (البقرة
: ۲۸۳)
“Apabila kamu dalam
perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis hendaklah ada barang yang di pegang” (Q.S. 2: 283)
Assunnah
عن عائسة ر.ع. ان رسول الله ص.م. أشتر ى من يهودي طعاما ورهنه درعا من حديد. (روه البخارى والمسلم)
“Dari Siti Ai’sah r.a.
bahwa rasulullah saw bersabda: pernah membeli makanan dengan baju besi”. (H.R.
Bukhari dan Muslim)
ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ
وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ مِنْ حَدِيدٍ.[6][1]
Terjemahannya:
Meriwayatkan
Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami
membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di
samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami
dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu
yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.”
Hadis A’isyah ra yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
حدثاإسحاق
بن إبراهيم الحنظلي وعلي بن حشرم قال:اخبرناعيسى بن يونس بن العمش عن إباهيم عن الأسوادعن عا ئشة قالت:اشترى رسول
الله صلى الله عليه وسلم من يهودي طعاماورهنه درعا من حديد (رواه مسلم)
Telah meriwayatkan kepada kami
Ishaq bin Ibrahim Al-Hazhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan
kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah
berkata: bahwasannya Rasulullah SAW. Membeli makanan dari seorang yahudi dengan
menggadaikan baju besinya. (HR. Muslim)[7]
Dalam
suatu hadis juga disebutkan:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا :
اَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اشْتَرى طَعَامًا مِنْ
يَهُودِيٍّ اِلى اَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخا رى والمسلم)
“Dan
dari Aisyah r.a., bahwa sesungguhnya Nabi saw. pernah membeli makanan dari
seorang yahudi secara bertempo, sedang Nabi saw. menggadaikan sebuah baju besi
kepada Yahudi itu.” (HR Bukhori dan Muslim).[8]
Dari
Imam Syafi’i dan Sunan Ibnu Majah:
أﺧﺒﺮﻧﺎﻋﺒﺪاﻟﻌﺰﻳﺰﺑﻦﻣﺤﻤﺪاﻟﺪراﻮرديﻋﻦﺟﻌﻔﺮﺑﻦﻣﺤﻤﺪﻋﻦأﺑﻴﻪﻗﺎلرﻫﻦرﺳﻮلﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢدرﻋﻪﻋﻨﺪأﺑﻲاﻟﺸﺤﻢاﻟﻴﻬﻮدي
“Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada Abu Asy-Syahm, seorang Yahudi.” (Musnad Imam Syafi’i).
“Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada Abu Asy-Syahm, seorang Yahudi.” (Musnad Imam Syafi’i).
ﻋﻦأﻧﺲﻗﺎلﻟﻘﺪرﻫﻦرﺳﻮلﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢدرﻋﻪﻋﻨﺪﻳﻬﻮديﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﻪﻓﺄﺟﺬﻟﺄﻫﻠﻪﻣﻨﻪﺷﻌﻴﺮا
“Dari Anas bin Malik RA ia berkata, “ Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan darinya beliau telah mengambil gandum untuk keluarganya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah. Ket: (Hadis) Shahih).
“Dari Anas bin Malik RA ia berkata, “ Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan darinya beliau telah mengambil gandum untuk keluarganya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah. Ket: (Hadis) Shahih).
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Sistem utang
piutang dengan gadai ini
diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum
muslimin..
انه صلي الله عليه وسلم رهن درعه عند يهودي علي ثلاثين صاعا من شهر لاهله
“Bahwanya Rasulullah Saw. menggadaikan baju
besinya kepada seorang yahudi dengan tiga puluh gantang gandumuntuk
keluarganya”
أنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى
أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya Nabi SAW membeli dari seorang
yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya”. (HR Al
Bukhori)
C.
Hukum Rahn
Para ulama sepakat
bahwa rahn di bolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan jika
kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah diatas hanyalah irsad
(anjuran baik saja) kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut
dinyatakan, yang artinya “akan tetapi, jika sabagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya
(utangnya). (Q.S.Al baqarah :283).
Hukum rahn secara umum
terbagi dua yaitu: shahih dan ghair shahih (fasid). Rahn shahih adalah rahn
yang memenuhi persyaratan. Sedangkan Rahn Fasid ialah rahn yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut.
D.
Rukun-rukun Rahn (gadai)
- Akad ijab dan qabul seperti seseorang berkata “aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp.10.000, dan yang satu lagi menjawab “aku terima gadai mejamu seharga Rp.10.000, atau bisa pula dilakukan selain dngan kata-kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
- Aqid, yaitu yang menggadaikan (rabin) dan yang menerima gadai (murtabin). Adapun sarat yang berakad adalah ahli tasauf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
- Barang yang diajadikan jaminan (borg) sarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji uang harus dibayar. Rasul bersabda:
كل ما جازبيعه جازرهنه
“Setiap barang
yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”.
Menurut Ahmad bin
Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam masalah gadai ada tiga macam
yaitu kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.
E.
Syarat Rahn
- Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
- Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
- Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
Dalam prinsip syariah,
gadai dikenal dengan istilah RAHN. Rahn yang diatur menurut Prinsip Syariah, dibedakan atas
2 macam, yaitu:
- Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai,
dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya
sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Maksudnya
bagaimana ya? Jadi begini:
Tenriagi memiliki
hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang
tersebut, Tenriagi menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar.
Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda,
namun mobil tersebut tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya
untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas
mobil di maksud.
Konsep ini dalam hukum
positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau
penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia
tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut,
sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat
dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
- Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi
inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam
hukum positif. Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak
kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai
oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam
contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka
Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan
hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa
mengambil kembali mobil tersebut.
Sebagaimana halnya
dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai
macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa
benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.
Dalam praktik, yang
biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan
kendaraan bermotor. Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai
jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada
Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif
seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya
pulang kampung pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek
(biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.
Sebagai contoh:
Putri sudah
merencanakan untuk memasukkan anaknya ke Universitas yang bermutu pada tahun
ajaran baru ini. Namun demikian, ternyata anaknya hanya bisa diterima melalui
jalur khusus. Uang pangkal untuk masuk ke jurusan favorit anaknya adalah
sebesar Rp. 30 juta, sedangkan Putri hanya memiliki uang tunai sebesar Rp. 20
juta. Untuk mengatasi masalah tersebut, Putri mencari alternative dengan cara
menggadaikan perhiasan emasnya ke Bank Syariah terdekat. Emasnya sebesar 50gram
dan untuk itu, Putri berhak untuk mendapatkan pembiayaan sebesar Rp. 15juta.
Karena Putri merasa hanya membutuhkan uang sebesar Rp. 10juta, maka Putri juga
bisa hanya mengambil dana tunai sebesar Rp. 10 juta saja.
Oleh Bank Syariah,
dibuatkan Akad Qardh untuk memberikan uang tunai kepada Putri, dan selanjutnya
dibuatkan akad Rahn untuk menjamin pembayaran kembali dana yang dierima oleh
Putri. Sebagai uang sewa tempat untuk menyimpan emas tersebut pada tempat
penitipan di Bank sekaligus biaya asuransi kehilangan emas dimaksud, Bank
berhak untuk meminta Ujrah (uang jasa), yang besarnya ditetapkan
berdasarkan pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 3.500,– per hari. Dengan demikian,
jika Putri baru bisa mengembalikan uang tunai yang diterimanya pada hari ke 30
(1 bulan), maka uang sewa sekaligus asuransi yang harus dibayar oleh Putri
adalah sebesar:
Rp. 3.500,–
X 30 hari = Rp. 105.000,–
Jadi, pada saat pengembalian
dana yang diterima olehnya, Niken harus membayar uang sebesar:
Rp. 10 jt +
Rp. 105.000,– = Rp. 10.105.000,–
Bagaimana kalau
ternyata dalam waktu 2 bulan Putri belum bisa mengembalikan dana tersebut? Jika
demikian, maka Putri dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu gadai
tersebut kepada Bank yang berkenaan. Perpanjangan tersebut dapat dilakukan
secara lisan, dengan mengajukan pemberitahuan kepada Bank tersebut. Begitu pula
sebaliknya, jika baru 1 minggu Putri sudah bisa mengembalikan dana yang
diterimanya, maka Putri tinggal menghubungi Bank dimaksud, dan membayar biaya
sewa tempat sekaligus asuransi tersebut selama 1 minggu saja.
Jadi, prinsip pokok
dari Rahn adalah:
- Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
- Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.
- Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan tersebut.
G. Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam pemanfaatan barang gadai, terdapat perbedaan
pendapat dalam kalangan ulama’, diantaranya:
1.
Jumhur Fuqoha’berpendapat bahwa murtahin tidak diperbolehkan memakai barang
gadai dikarenakan hal itu sama saja dengan hutang yang mengambil kemanfaatan,
sehingga bila dimanfaatkan maka termasuk riba. Berdasar hadits nabi yang
artinya: “setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”(HR. Harits
Bin Abi Usamah)[9]
2.
Menurut Ulama Hanafi, boleh
mempergunakan barang gadai oleh murtahin atas ijin rahin, dan itu bukan
merupakan riba, karena kemanfaatannya diperoleh berdasarkan izin dari rahin.
3.
Menurut Mahmud Shaltut, menyetujui
pendapat dari Imam Hanafi dengan catatan: ijin pemilik itu bukan hanya sekedar
formalitas saja, melainkan benar benar tulus ikhlas dari hati saling pengertian
dan saling tolong menolong.
4.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, Al Laits Dan Al Hasan, jika barang gadaian
berupa barang gadaian yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat
diambil susunya, maka murtahin dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai
tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama
kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Sesuai dengan hadits nabi yang
artinya:”binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila
digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya
bila digadaikan dagi orang yang memegang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”(HR. Bukhari)[10]
BAB III
KESIMPULAN
Secara
etimologi, rahn berarti الثبوت والدوام (tetap dan lama) yakni tetap berarti
الحبس واللزوم (pengekangan dan keharusan). Sedangkan menurut istilah ialah
penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sbagai pembayaran dari
barang tersebut. Akan tetapi menurut ulama hanafiyah Gadai secara istilah ialah
mnjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ktika
berhalangan dalam membayar utang.
Rukun-rukun Rahn
(gadai)
- Akad ijab dan qabul
- Aqid,.
- Barang yang diajadikan jaminan (borg).
Syarat Rahn
- Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
- Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
- Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
[1] Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
hlm.1
[2] Ibid, hlm 1
[3] Ibid, hlm 2.
[4] Ibid, hlm 3
[5] Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional,
(Jakarta: UI-Press 2005), hlm 38
[7] Zainudin Ali, Op.Cit.,hlm
7.
[8] Hussein Bahreisj, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Terj. Shahih
Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hlm. 173.
[9] Drs. H. Hendi Suhendi, M.SI, Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010) hal 108
[10] H. Moh anwar. Fiqh islam. (bandung. PT. Al ma’arif:1998).
Hal. 58
Prof.
Dr.H. Rachmat Ayaf’I, MA.
Fiqh Muamalah, Pustaka Setia Bandung,cet 10 2001,
Drs. H. Hendi Suhendi, M.SI, Fiqh Muamalah, PT Raja
Grapindo Persada Jakarta, cet I Juli 2007.
Dr.
H. Nasution Haroen, MA. Fiqh
Muamalah, Gaya Media Pratama Jakarta, 2007
Sayid Sabiq. Fiqh Al-Sunnah
Ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul
Mujtahid. Jakarta: pustaka Amani
Ibrahim. khasiyah baijuri.
Muhammad bin Umar. Nihayatul Zain
Ascarya. 2008. Akad dan Produk
Bank Syariah. Jakarta : RajaGrafindo Persada
H. Moh anwar.
Fiqh islam. (bandung. PT. Al ma’arif:1998)
Drs. H. Hendi
Suhendi, M.SI,
Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
Hussein
Bahreisj, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Terj. Shahih Muslim,
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1987)
Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, s2008)
A.
Zainuddin S.Ag dan jamhuri M. Ag. Al islam 2
muamalah dan akhlak (bandung: CV. Pustaka setia, 1998)
Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan sistem operasional, (Jakarta: UI- Press, 2005),
Alqur’an dan Terjemahnya, (Kudus: Menara
Kudus, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar