METODOLOGI STUDI ISLAM
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Ujian Tengah
Semester Mata Kuliah Dirasah Islamiyah
Disusun Oleh:
Lina Fatinah
1123020052
Mu’amalah/I/B
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT
atas segala curahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam pembuatan makalah ini, penyusun sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang dapat bermanfaat
dengan sebaik-baiknya.
Penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun agar lebih baik lagi untuk selanjutnya.
Akhir kata, terima kasih penyusun ucapkan kepada Bapak
Dosen atas perhatiannya.
Bandung, 30 Oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.
Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................... 1
C.
Tujuan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A.
Islam Dalam
Wacana Agama-Agama................................................................... 2
B.
Hubungan
Tauhid Dengan Ilmu Pengetahuan...................................................... 6
C.
Islam Dan
Kebudayaan Islami.............................................................................. 8
D.
Islam Dan
Kebudayaan Indonesia........................................................................ 10
E.
Hakikat Al-Quran sebagai Sumber Agama Islam................................................. 13
F.
Hakikat Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam........................................................ 14
G.
Hakikat Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam....................................................... 17
H.
Hakikat Ritual dan Institusi Islam........................................................................ 21
BAB III PENUTUP............................................................................................ 22
A. Kesimpulan............................................................................................................ 22
B. Saran..................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam perkembangan Indonesia terdapat perkembangan
agama, budaya, dan ilmu pengetahuan. Perkembangan agama meliputi aspek
al-quran, hadits, ritual Islam dan tidak terlepas dari para mujtahid dalam
melakukan ijtihad. perkembangan ini seiring dengan perkembangan-perkembangan
yang terjadi di seluruh belahan dunia. Faktor perkembangan agama terutama agama
islam tidak terlepas dari agama-agama lain dan perkembangan agama Islam juga
berpengaruh terhadapa kebudayaan serta kebudayaan dan agama pun berpengaruh
bagi ilmu pengetahuan. Maka dari itu, ketiga aspek tersebut saling berkaitan
untuk menjadi bahan penelitian.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Islam dalam Wacana Agama-agama ?
2.
Bagaimana Hubungan Tauhid dengan Ilmu Pengetahuan ?
3.
Bagaimana Islam dan kebudayaan Islami ?
4.
Bagaimana Islam dan kebudayaan Indonesia
5.
Bagaimana Hakikat Al-Quran sebagai Sumber Agama Islam ?
6.
Bagaimana Hakikat Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam ?
7.
Bagaimana Hakikat Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam ?
8.
Bagaimana Hakikat Ritual dan Institusi Islam ?
C. Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi
Ujian Tegah Semester mata kuliah Dirasah Islamiah, selain itu agar kita
dapat mengetahui bagaimana agama Islam didepan agama-agama lain, dan bagaimana
kita dapat mengaplikasikan tauhid di dalam kehidupan sehari-hari, mengerti akan
kebudayaan Islam, mengerti kebudayaan Islam yang ada di Indonesia, dapat
mengaplikasikan Al-Quran, hadis, dalam kehidupan sehari-hari, mengerti ijtihad,
ritual dan institusi Islam, oleh karena itu diharapkan mahasiswa/mahasiswi
dapat memaknai agama dalam kehidupannya bukan hanya sebagai sebuah identitas
atau jati diri saja.
Oleh karena
itu, kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan hanya pada dataran eksoterik[1][2], melainkan
juga pada dataran esoteris[2][3].
Kebenaran
dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran
sosiologis. Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal,
dan tidak majemuk, yakni sesuai dengan realitas. Tetapi, pencapaian kebenaran
pada setiap orang berbeda. Dalam konteks agama, semua agama—Yahudi, Kristen,
Islam, Budha, Hindu, termasuk aliran kepercayaan—ingin mencapai Realitas
Tertinggi (the Ultimate Reality). Kristen dan Islam menerjemahkan
Realitas Tertinggi sebagai Allah (dengan pelafalan yang sedikit berbeda),
Yahudi sebagai Yehova, juga dengan keyakinan yang lain. Ini berarti bahwa yang
dikejar sebagai Realitas Tertinggi itu sebenarnya adalah satu. Itulah yang
menyebabkan Frithjof Schoun mengatakan bahwa semua agama itu sama pada alam
transendental[3][4]. Pada alam
itu, semua agama mengejar Realitas Tertinggi. (Husein Shahab dalam Andito
[ed.], 1998: 21)
Sisi kedua
adalah sisi sosiologis. Ditinjau dari sisi sosiologis, proses pencapaian dan
penerjemahan Realitas Tertinggi membuat klaim tentang kebenaran menjadi
berbeda. Islam mengatakan bahwa agamanyalah yang paling benar; begitu juga,
Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan aliran kepercayaan menyatakan demikian.
Padahal, perbedaan yang terjadi secara hakiki bukan terletak pada Realitas
Tertinggi. Di sinilah mulai timbul konflik kebenaran, baik ekstra-agama maupun
intra-agama.
Dalam
Al-Qur’an terdapat tuntunan yang banyak membicarakan Realitas Tertinggi yang
menunjukan bahwa ia, secara filosofis, tidak menerima kebenaran selainnya.
Namun di sisi lain (sosiologis), ia juga dengan sangat toleran menerima
kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum wa liy al-din)[4][5].
Atas dasar
dua kebenaran tersebut, sebaiknya Relitas Tertinggi dijadikan ugeran atau
patokan. Jika Realitas Tertinggi pada hakikatnya adalah satu, maka secara
otomatis prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama adalah juga satu.
Yang sebaiknya dipertahankan bukan simbol agama, melainkan kebenaran yang
sebenarnya dikejar oleh setiap agama. (Husein Shahab dalam Andito (ed.), 1998:
23)
Menurut
Sugiharto, tantangan yang dihadapi setiap agama sekarang ini sekurang-kurangnya
ada tiga. Pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai
disorientasi nilai dan degradasi moralitas, agama ditantang untuk tampil
sebagai suara moral yang otentik. Kedua, agama harus menghadapi
kecenderungan pluralisme, mengolahnya dalam kerangka “teologi” baru dan
mewujudkannya dalam aksi-aksi kerja sama plural. Ketiga, agama tampil
sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.
(Bambang Sugiharto dalam Andito (ed.), 1998: 29-30)
Ketiga
tantangan di atas menjadi lebih sulit dijawab karena beberapa faktor. Pertama,
kemelut dalam masing-masing tubuh agama seringkali muncul ke permukaan. Sikap
agresif yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain sering kali merupakan
ungkapan yang tidak disadari akibat ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri. Kedua,
paham tentang kemutlakan Tuhan juga memudahkan orang untuk mengidentikkan
kemutlakan itu dengan kemutlakkan agamanya. Ketiga, keyakinan bahwa
segala tindakan seperti di atas akan dibalas oleh Tuhan dengan pahala,
menyebabkan kekerasan terhadap pemeluk agama lain justru dianggap sebagai
bagian dari keutamaan moral—suatu ironi yang bukan saja kontradiktif[6][7], melainkan
juga berbahaya, baik bagi pemeluk agama lain
Pluralisme
berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai suatu
realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat
misionaris atau dakwah dianggap “tidak relevan.” Eklektivisme adalah sikap
keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama
yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah
agama menjadi semacam mozaik yang bersifat elektik.
Universalisme
beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya karena
faktor historis-antropologis, agama kemudian tampil dalam format plural.
Di negara
kita, Indonesia, kelihatannya umat Islam masih didominasi pandangan
eksklusivisme. Hal ini, di satu sisi dipandang wajar, karena warisan historis
tentang persentuhan Islam-Kristen, terutama Perang Salib. Oleh karena itu, kita
perlu mempertimbangkan format-format lain sebagai alternatif wajah keberagamaan
Islam di Indonesia.
B.
HUBUNGAN
TAUHID DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah
mengesakan Tuhan dan cegahan melakukan tindakan syirik. Tauhid dan syirik
adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, meskipun antara yang satu dengan
yang lainnya sangat berbeda.
Dalam Al-qur'an (Al-Ikhlas: 1-4), Allah berfirman: "katakanlah:
"Dia-lah Allah Yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu
bergantung kepada-Nya. Dia tidak melakhirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia".
Sebagaimana
dikatakan di atas, sisi kedua adalah cegahan syirik. Dalam Al-Qur'an (Luqman:
13), Allah berfirman: "Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya
ketika ia memberi pelajaran kepada anaknya: Hai anakku, jangalah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kezaliman yang besar.")
Perintah mengesakan Tuhan mengandung arti bahwa manusia hanya boleh tunduk
kepada Tuhan. Ia tidak boleh tunduk pada selain-Nya karena ia adalah puncak
ciptaan-Nya. Karena ia hanya boleh tunduk kepada Tuhan, manusia oleh Allah
dijadikan sebagai khalifah (Al-baqarah : 30). Karena manusia adalah khalifah di
bumi, maka alam selain manusia ditundukkan oleh Allah untuk manusia. seperti
firman Allah dalam Ibrahim : 32-33, An-Nahl :12-13.
Firman Allah di atas, menunjukkan bahwa bumi, langit, laut serta segala
yang ada dibumi dan laut telah ditundukkan Allah untuk kepentingan manusia.
Apabila tunduk kepada selain ALlah, berarti manusia telah menyalahi fungsinya
sebagai khalifah, tunduk kepada alam berarti tunduk kepada selain Allah, tunduk
kepada selain Allah berarti syirik (mempersekutukan Allah).
Dengan demikian, tauhid mendorong manusia untuk menguasai dan memanfaatkan
alam karena sudah dituntukkan untuk manusia. Perintah mengesakan Tuhan di
barengi dengan cegahan mempersekutukan Tuhan. Jika manusia mempersekutukan
Tuhan, berarti ia dikuasai oleh alam, padahal
manusia
adalah yang harus menguasai alam karena alam telah ditundukkan oleh Allah.
Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram
tunduk kepada alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam dan dari
hukum alam ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan.
Dengan demikian, sumbangan atau peran Islam dlaam kehidupan manusia adalah
terbentuknya suatu komunitas yang berkecenderungan progresif, yaitu suatu
komunitas yang dapat mengendalikan, memelihara dan mengembangkan kehidupan
melalui pengembangan ilmu dan sains. Penguasaan dan pengembangan sains bukan
saja termasuk alam saleh, melainkan juga bagian dari komitmen keimanan kepada
Allah.
C.
ISLAM DAN
KEBUDAYAAN ISLAMI
Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama
dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi dapat dipisahkan.
Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan
budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah
terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah
sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat
terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya (Nurcholish Madjid dalam
Yustion dkk. (Dewan Redaksi, 1993: 172-3)
Dalam pandangan Harun Nasution (lihat Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18),
agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran
dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusia.
Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat
dalam kitab suci itu memerlukan penjelasan baik mengenai arti maupun cara
pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli
agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok
kedua dari ajaran agama.
Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan bersifat absolut,
mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua,
karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada
hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok
kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan
perkembangan zaman. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18)
UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN ISLAMI
Cultural
universalSistem
----------------------------Kemasyarakatan
|
Cultural
activity---------------------------------------Perkawinan
Trait
complex------------------------------------------Khitbah
|
Items----------------------------------------------------Muda-mudi
yang hendak menikah
|
Sistem
kemasyarakatan dalam Islam kita disebut sebagai culture universals karena
ia terjadi disetiap tempat dan setiap waktu. Perkawinan kita sebut cultural
activity karena perkawinan merupakan unsur yang lebih kecil daripada unsur
sistem kemasyarakatan. Salah satu kegiatan dalam perkawinan adalah khitbah (lamaran
atau pinangan). Ia sebut trait complex karena merupakan unsur yang lebih
kecil dari perkawinan. Dalam khitbah terdapat muda-mudi yang hendak
menikah; mereka disebut items karena dalam khitbah masih terdapat
unsur wakil pelamar (biasanya tidak langsung oleh yang bersangkutan),
benda-benda yang dibawa ketika melamar seperti daun sirih, pinang, ragi, dan
kapur sirih. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pada tingkat praktis,
agama Islam merupakan produk budaya karena ia tumbuh dan berkembang melalui
pemikiran ulama dengan cara ijtihad; di samping itu, ia tumbuh dan berkembang
karena terjadi interaksi sosial di masyarakat.
D.
ISLAM DAN
KEBUDAYAAN INDONESIA
1. Persentuhan Islam dengan Kebudayaan
Melayu dan Jawa
Dalam Islam terhadap ajaran tauhid, sesuatu
konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu, dan
manusia haraus mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada-NYA. Konsep ini dijelaskan
dalam beberapa literatur dengan penjelasan yang berbeda. Di pesantren-pesantren
tradisional salafi, kalimat lailaha illa Allah sering ditafsirkan
sebagai berikut: pertama, la mujudu illa Allah (tidak ada yang “wujud”
kecuali Allah); kedua, la ma'buda illa Allah (tidak ada yang disembah
kecuali Allah); ketiga, la maqsud illa Allah (tidah ada yang dimaksud
kecuali Allah); dan keempat, la mathlub illa Allah (tidak ada yang
diminta kecuali Allah).
Indonesia pernah mengalami dualisme[7][11] kebudayaan,
yaitu antara kebudayaan keraton dan kebudayaan populer. Dua jenis kebudayaan
ini sering dikategorikan sebagai kebudayaan tradisional.
Konsep kekuasaan Jawa sungguh berberbeda dengan konsep
kekuasaan islam. Dalam kebudayaan Jawa dikenal konsep Raja Absolut, islam
justru mengutamakan konsep Raja Adil, al-Malik al-Adil. Akan tetapi,
sesuatu hal yang perlu dicatat adalah kebudayaan karaton diluar jawa memiliki
konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh, misalnya, raja memiliki
sebutan al-Malik al-Adil. Ini berarti kebudayaan keraton di Jawa lebih
mengutamakan kekuasaan, sedangkan kebudayaan kerabudayaan keraton diluar pulau
Jawa lebih mengutamakan keadilan. Perbedaan lain antara kebudayaan masyarakat
berdasarkan atas kemutlakan kekuasaan raja, ketertiban masyarakat berdasarkan atas
kemutlakan kekuasaan raja, sedangkan dalam islam, ketertiban sosial akan
terjamin jika peraturan-peraturan syariat ditegakan.
[1][2]
Eksoterik: pengetahuan yang boleh diketahui atau dimengerti oleh siapa saja
[2][9]
Kumpulan orang, sifat, atau benda yang berhubungan
[3][10]
Ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut watak
masing-masing
[4][5]
Terjemahan ayat Al-Qur’an surat Al-Kafirun:6 “Untukmu agamamu, untukku agamaku”
Dengan kata lain,
kebudayaan karaton di Jawa mementingkan kemutlakan kekuasaan raja untuk
ketertiban sosial, sedangkan Islam mementingkan hukum yang adil untuk diteganya
ketertiban sosial. Karna terjadi perbedaan yang begitu tajam, yang sering
terjadi ketegangan antara Isalam dengan kebudayaan keraton jawa.
(Kuntowijoyo,1991: 232)
2. Inovasi
Dan Pengaruh Islam Dalam Sastra, Seni, Dan Arsitek
Ekspresi astentik
Islam di Indonesia, paling tidak, dapat dilihat dalam dua bidang: sastra dan
arsitek. Kecendrungan sastra sufistik (transendental) telah muncul di Indonesia
sekitar tahun 1970. kemunculan sastra berkecendrungan sufistik ditandai
munculnya karya-karya yang ditulis pada tahun tuju puluhan, di antaranya Godlod
dan Alam Makrifah kumpulan cerpen Danarto; Khotbah di atas bukit karya
kuntowijoyo, dan Arafah karya M. Fudoli Zaini. Disusul karya-karya
berikutnyaseperti Sanu Infinitina Kembar (1985) karya Motinggo busye
(alm) (Abdul Hadi WM dalam Yustino dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 74)
Eksperesi estetik
Islam lainnya tergambarkan dalam arsitek masjid-masjid tua. Citra masjid tua
adalah contoh dari interaksi agama dengan teradisi arsitek pra-Islam
diIndonesia dengan konstruksi kayu dan atap tumpang bentuk limas. Umpamanya
Masjid Demak, Masid Kudus, Masjid Cirebon, dan masjid Banten sebagai cikal-bakal
masjid di Jawa. Sedangkan di Aceh dan Medan, corak masjid tua memperhatikan
sistem atap kubah. Menurut para ahli, masjid-masjid tua di Aceh dan Medan
merupakan penerus dari gaya masjid Indo-Persi dengan ekspresi struktur bangunan
yang berbeda dengan corak masjid atap tumpang (Wiyoso yodoseputro dalam Yustino
dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 11-3)
Menurut Nurcholish
madjid (dalam budhy Munawar Rachman (ed.), 1994: 463-4), asitektur masjid
indonesia banyak diilhami oleh gaya arsitektur kuil Hindu yang atapnya bertingkat
tiga. Seni arsitektur sering ditafsirkan sebagai lambang tiga jenjang
perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau pemulaan (purwa),
tingkat menengah (madya), tingkat terakhir yang maju dan tinggi (wusana).
Damnbar itu dianggap
sejajar dengan vertikal islam, iman, dan ihsan. Selain itu, hal itu
dianggap sejajar dengan syari'at, thariqat, dan ma'rifat.
3. Islam
Dan Adat Melayu Di Sulawesi Selatan Dan Aceh
Pengaruh islam
dalam kebudayaan Sulawesi selatan antara lain tergambarkan dalam sulapa eppa'e
(pepatah orang tua kepada anaknya yang hendak merantau. Bunyi sulapa eppa'e adalah
sebagai berikut.
Abu bakkareng tettong riolo
Ummareng tettong di atau
Bagenda Ali tettong ri abeo
Usmang tettong ri munri
Kun fayakun
Barakka la illaha illa'llah
muhammadun rasulullah
Abu Bakar berdiri
didepan
Umar berdiri sebelah kanan
Baginda Ali berdiri sebelah kiri
Usman berdiri di belakang
Kesusastraan Aceh banyak berbentuk pepatah, pantun,
syair, dan hikayat. Salah satunya sastra dalam bentuk pepatah adalah:
Uang habis, gaseh pun kurang
mana mau pakai lagi, aku sudah hina
(Tgk. H.Muslim Ibrahim dalam Yustino dkk.,(Dewan Redaksi), 1993: 277)
Itulah akultarasi Islam denmgan kebudayaan Indonesia
Yang didominasi oleh kebudayaan Melayu dan Jawa. Kebudayaan Melayu lebih mudah
menerima Islam, sedangkan kebudayaan Jawa --yang oleh kuntowijoyo dibagi
menjadi dua: budaya keraton dan budaya populer-- cenderung berwajah ganda,
terutama budaya keraton, dalam menerima islam. Budaya karaton Jawa yang
mewarisi tradisi Hindu-Budha berintegrasi dengan budaya Islam sehingga para abdi
dalem membuat sesuatu silsilah membuktikan bahwa raja adalah keturunan para
dewa di satu sisi, dan di sisi lain mereka juga mengaku sebagai keturunan para
nabi. Lebih dari itu, raja di Jawa ada yang mengaku sebagai wali Tuhan untuk
menanamkan loyalitas rakyat kepadanya dan pempertahankan atatus quo.
E. Hakikat
Al-Quran sebagai Sumber Agama Islam
1. Definisi Al-Quran
Al-Quran
berarti bacaan. Atau dalam pengertian lain Al-Quran adalah kalam Allah yang
tiada tandingannya (mu’jizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. penutup
para Nabi dan Rasul, dengan perantara Malaikat Jibril, ditulis dalam
mushhaf-mushhaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang
banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat
Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Naas.
2.
Keutamaan Al-Quran
Sungguh
banyak hadis-hadis yang menunjukan kelebihan-kelebihan Al-Quran dan
keagungannya. Diantaranya ada yang berhubungan dengan keutamaan mempelajari dan
mengajarkannya, ada yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan membaca dan
memperhatikannya, dan ada pula yang berhubungan dengan keutamaan tentang
penghafalan dan pemantapannya, sebagaimana tidak sedikit tertera dalam kitab
Allah tentang ayat-ayat yang menyerukan kepada orang mukmin untuk menghayati
dan menerapkan hkum-hukumnya, di samping seruan untuk mendengarkan bacaannya
dengan penuh perhatian ketika dibacakan ayat-ayatnya.
3. Proses
Pembukuan Al-Quran
Al-Quran dijadikan sebagai sumber hukum utama dalam agama Islam, setelah
Nabi Muhammad s.a.w meninggal dunia, terjadi banyak sekali perang, yang dimana
perang tersebut melibatkan para penghafal Al-Quran yang menjadi korban jiwa,
mulai dari itu para sahabat mengumpulkan Al-Quran, yang tempatnya tidak
beraturan, mulai pada zaman Abu Bakar, dimana Al-Quran dikumpulkan berupa
mushhaf, yang masih gundul sekali belum ada syakal ataupun tanda bacanya,
setelah itu para sahabat mulai menyebarkan Al-Quran , tetap banyak para sahabat
yang pada pembacaan Al-Quran masih berbeda dam menimbulkan konflik, untuk itu
Usman mencoba kembali merevisi Al-Quran yang masih berupa mushhaf, dengan
memberi tanda banca dan syakal.
F. Hakikat
Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam
1. Pengertian
Hadis
Hadits
menurut bahasa yaitu jadid, lawan qadim = yang baru, Qarib = yang
dekat; yang belum lama lagi terjadi, seperti dalam perkataan “haditsul ahdi
bi’l-Islam”= orang yang baru memeluk agama Islam. Sedangkan menurut istilah
ahli hadits adalah segala ucapan Nabi, segala perbuatan Nabi, dan segala
keadaan Nabi.
Sebagian
ulama seperti Ath Thiby berpendapat, bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda
Nabi, perbuatan Nabi dan taqrir Nabi :
melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula
perkataan, perbuatan dan taqrir tabi’in. Sedangkan menurut istilah ahli ushul
Hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi, yang bersangkut paut
dengan hukum.
2. Sejarah
Kodifikasi Hadits
Penulisan
resmi hadits dalam dalam kitab-kitab hadits, seperti dijumpai sekarang baru
dimulai pada masa Bani Umayah, yaitu pada zaman Umar bin Abd al-Aziz. Penulisan
secara resmi disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz kepada para pakar hadits untuk menuliskannya.
Dengan demikian, penulisan Hadits yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya
perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi.
Periode
pertama adalah periode Nabi dan disebut masa Wahyu dan Pembentukan (‘ashr
al-wahy wa al-takwin). Pada periode ini Nabi melarang para sahabat untuk
menulis Hadits, karena disamping adanya rasa takut bercampur antara Hadits dan
Al-Quran, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah pada Al-Quran. Namun,
walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisatif menuliskannya
untuk berbagai alasan.
Periode
kedua adalah pada zaman khulafa rasyidin. Masa ini dikenal
dengan periode pembatasan Hadits dan penyedikitan riwayat (zaman al-tatsabut
wa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-usaha para sahabat di dalam membatasi
hadits dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Periode
ketiga adalah penyebaran Hadits ke berbagai wilayah (zaman intisyar
al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan
tabi’in besar. Periode keempat adalah periode penulisan
dan pembukuan hadits secara resmi (‘ashr al-kitabat wa al-tadwin).
Penulisan dimulai setelah perintah resmi dari kalifah Umar bin Abd. Aziz
(717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Periode kelima adalah
periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (‘ashr al-tajrid wa
al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai
akhir abad ke-3 Hijriah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh
Khalifah Ma’mun sampai al-Mu’tadir (201-300 H)
Periode
keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan
penghimpunan (‘ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u).
Periode ini berlagsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat
sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiah ke
tangah Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M. Periode ketujuh adalah
periode persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahd al-syarh wa
al-jamu’ wa al-takhrij wa al-baths). Periode ini merupakan kelanjutan
periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan
hadits-hadits. Ulama pada periode ini mulai mensistemisasi hadits-hadits
menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan
cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyususn hadits
sesuai dengan topik pembicaraan.
3. Fungsi
Hadits
Umat
Islam sepakat bahwa Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah
Al-Quran. Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang tedapata dalam
Al-Quran maupun Hadits. Keberadaan Hadits sebagai sumber hukum ke dua setelah
Al-Quran, selainketetapan Allah, ysng dipahami dari ayat-Nya secara tersirat,
juga merupakan ijma’ (konsensu) seperti terlihat dalam prilaku sahabat.
Misalnya penjelasan Usman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam
salat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Saw.
4.
Istilah-istilah untuk Hadits
Kebanyakan
para Muhadditsin, baik yang termasuk aliran modern maupun yang termasuk aliran
kuno (salaf), berpendapat bahwa istilah Al-Hadits, Al-Khabar, Al-Atsar
dan As-Sunnah. Al-Hadits hanya terbatas kepada apa yang datang dari Nabi
Muhammad s.a.w. saja, sedangkan Al-Khabar terbatas kepada yang datang dari
selainnya. Karena itu, orang yang tekun kepada ilmu Hadits saja disebut dengan
Muhsddits, sedang orang yang tekun pada Khabar disebutnya dengan Akhbary.
Ada pula pendapat yang membedakannya dari segi umum dan khusus muthlaq,
yakni tiap-tiap Hadits itu Khabar, tetapi sebaliknya bahwa tidak tiap-tiap
Khabar itu dapat dikatakan Hadits. Di samping ada yang mengatakan, bahwa
istilah Atsar itu ialah yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang orang
sesudahnya, juga ada pendapat yang mengatakan, bahwa istilah Atsar itu lebih
umum penggunaannya dari pada istilah Hadits dan Khabar, karena istilah Atsar
itu mencakup segala berita dan prilaku para sahabat, tabi’in dan lainnya.
5.
Unsur-unsur Hadits
Hadits
terbagi kedalam 3 unsur, yaitu:
a.
Sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l-Hadits kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
b.
Matan adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh
sanad yang terakhir, baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi perbuatan
sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.
c.
Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu
kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterima dari seseorang (gurunya) atau
Nabi.
G. Hakikat
Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam
1. Pengertian Ijtihad
Dari
segi bahasa, arti ijtihad ialah
mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan “ijtihad” tidak
digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah.
Menurut istilah ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan unruk menetapkan
hukum-hukum syari’at.
2. Syarat-syarat Ijtihad
Orang yang
berijtihad harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
a.
Mengetahui nas Al-Quran dan hadits. Kalau tidaj mengetahui salah
satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad.
b.
Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga
ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan ijma’, kalau ia memegani
ijma, dan memendangnya sebagai dalil syara’.
c.
Mengetahui bahasa Arab sehingga
dapat mengerti idem-idemnya. Mujtahid juga harus mengerti pembicaraan yang
jelas, yang zhahir, yang mujmal, uang hakikat, yang majaz, yang ‘aam, yang
khas, yang mukhkam, yang mutasyabih, yang mutlaq, yang muqaiyad, yang mantuq,
dan yang mathum.
d.
Mengetahui ilmu ushul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu
ushul fiqih menjadi dasar dan pokok ijtihad.
e.
Mengetahui nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum
berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.
3. Hukum
Ijtihad
a. Wajib ‘ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa
sedang peristiwa tersebut akam
hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian pula wajib ‘ain, apabila
peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui
hukumnya.
b. Wajib kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu peristiwa
dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang
selain dia sendiri masiha ada mujtahid lain, apabila semuanya meninggalkan
ijtihad, maka mereka berdosa.
c. Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu peristiwa yang belum terjadi,
baik dinyatakan atau tidak.
4.
Tingkatan-tingkatan Mujtahid
Ibnu Qayyim
membagi para mujtahid dalam 4 tingkat:
a.
Mujtahid yang mengetahui Kitabullah, Sunnah Rasulnya dan
pendapat-pendapat sahabat. Dialah mujtahid untuk menetapkan hukum dalam segala
rupa kejadian.
b.
Mujtahid yang terkait dalam madzhab
imam yang diikutinya
c.
Mujtahid dalam madzhab imam yang diikuti berusaha menguatkan madzhab
dengan dalil dan mengetahui dengan baik fatwa-fatwa imamnya.
d.
Orang yang mempelajari suatu madzhab, mahrajny, fatwa-fatwanya dan
segala cabang-cabang hukumnya, serta mengaku dirinya muqallid.
5.
Ijtihad bagi Nabi-nabi
Para ulama telah sepakat
bolehnya berijtihad bagi Nabi-nabi dalam hal-hal yang berhubungan dengan
kepentingan dunia dan soal-soal peperangan. Nabi pernah hendak berdamai dengan
Bani Ghathafan dengan memberikan buah kurma Madinah. Adapun ijtihad Nabi-nabi
dalam hukum-hukum syari’at, maka menjadi perselisihan. Menurut golongan Asy’ari,
Nabi-nabi tidak boleh berijtihad sebab mereka bisa menanti wahyu.
Menurut Jamhur,
Nabi-nabi boleh berijtihad. Kalau seseorang boleh berijtihad sedang ia tidak
terhidar dari kemungkinan luput, mengapa Nabi-nabi tidak boleh berijtihad, pada
hal mereka terjamin dari keluputan
6.
Ijtihad bagi Sahabat-sahabat
Para ahli usul tidak sama pendapatnya tentang kebolehn
ijtihad bagi sahabat-sahabat dimasa
Rasul. Pendapat yang kuat membolehkan ijtihad sahabat-sahabat, baik dikala
berdekatan dengan Rasulullah ataupun ketika berjauhan.
Nabi berkata kepada Amr bin Ash: “Putuskan beberapa perkara”
Amr berkata: “Apabila saya boleh berijtihad sedang tuan masih ada ?” Jawab
Nabi: “Ya, apabila benar, kamu mendapat dua pahala”. Apabila tidak benar kamu
mendapat satu pahala. Nabi pernah menyerahkan putusan tentang Yahudi Bani
Quraizhah kepada Sa’ad.
7.
Ijtihad Sumber Dinamika
Sekarang ini umat
Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa yang menyangkut berbagai aspek
kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian yang seksama,
lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas ditunjuk oleh nas. Melihat banyaknya
persoalan-persoalan yang muncul ke permukaan, umat Islam dituntut untuk keluar
dari masaalah itu, yaitu dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu,
ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.
Ijtihad juga berperan
sebagai interpreter terhadap dalil-dalil zhanni al-wurud atau zhanni
al-dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil tersebut merupakan kerja
ijtihad dalam rangka menyelesaikan persoalan kehidupan manusia yang senantiasa
berubah dalam nuansa perkembangan. Ijtihad juga adalah saksi bagi keunggulan
Islam atas agama-agama lainnya.
H. Hakikat Ritual dan Institusi Islam
1. Ritual Islam
Secara umum ritual dalam Islam dapat
dibedakan menjadi dua ritual, yaitu: ritual yang mempunyai dalil dan sunah dan
ritual yang tidak mempunyai dalil dan sunah. Selain perbedaan tersebut ritual
dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dalam segi ini ritual dlam
Islam dapat dibedakan menjadi:
a.
Primer adalah ritual yang wajib
dilakukan umat Islam, umpamanya solat wajib lima waktu dalam sehari semalam,
berdasakan Al-Quran.[5][1]
b.
Sekunder adalah ibadah shalat
sunnah, umpamanya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah, salat tahajud
dan shalat duha.[5][2]
[5][1].
“tegakanlah salat sejak matahari tergelincir hingga gelap malam (dan dirikanlah
salat) subuh......” (QS al-Isra
(17): 78).
[6][2] .
ibadah ini memiliki dalil dari al-Sunnah, tetapu ulama menyebutnya ibadah
sunah. Oleh karena itu, meninggalkan ibadah tersebut tidak diancam dengan
siksa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Dalam studi keagamaan sering
dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Kata yang
pertama, religion, yang biasa dialihbahasakan menjadi “agama”, pada
mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap
keberagaman atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata
benda”; ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku
yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Sedangkan religiositas
lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan
nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.
b. Manusia harus menguasai alam dan
haram tunduk kepada alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam dan
dari hukum alam ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan.
c. Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa dan cita-cita manusia. Yang dapat
berubah setiap waktu, ruang dan tempat. Dengan adanya budaya, kehidupan manusia
menjadi lebih terarah dan mendapat tempat yang semestinya dimata manusia itu
sendiri.
Islam bukan
produk budaya, seperti apa yang sering kita dengar sekarang ini. Namun budaya
timbul merupakankan efek dari adanya agama itu sendiri.
d. Salah satu akulturasi yang ada dan
berkembang di indonesia yaitu sebuah kesenian. Dan salah satunya yaitu tari saman
yang ada di aceh. Tarian yang di padukan dari tarian khas aceh di tambah
dengan sedikit dari budaya arab yaitu di dalam tarian tersebut di sisipkan
sebuah syair yang di tujukan kepada Allah, seperti pujian-pujian kepada-Nya.
B.
Kesimpulan
Semoga
dengan adanya makalah ini dapat membantu kita dalam proses pembelajaran mata
kuliah Dirasah Islamiah, selain itu saya sebagai penulis makalah ini meminta
maaf apabila pada pada isi makalah ini banyak sekali kekurangan dan jauh dari
kata sempurna, dengan itu saya, mengharapkan kritik dan saran, agar dikemudian
hari dapat menyusun makalah dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim Atang Abd. Jaih Mubarok 2011. Metodologi Studi Islam. Bandung:
PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Ashari. Endang Saefudin 1986. Wawasan Islam. Jakarta: CV. RAJAWALI.
Ash-Shabuny. Muhammad Aly 1996. Pengantar Study Al-Quran. Bandung: PT. Alma’arif.
Ash-Shiddieqi. Hasbi 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta:
Bulan Bintang.
Rahman. Facthur 1970. Ikhtisar Mushtalahul Hadits. Bandung: PT ALMA’ARIF.
Hanafie. Abu 1981. Usul Fiqih.
Jakarta: WIDJAYA.
Ash-Shiddieqi. Hasbi 1974. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.
Ingatjalinus.blogspot.com/2007/04/hubungan-tauhid-dengan-ilmu-pengetahuan
yahyaandri.blogspot.com/2011/01/islam-dan-kebudayaan
sinforan.blogspot.com/2012/01/islam-dan-kebudayaan-indonesia
blackbiox.blogspot.com/2012/03/akulturasi-kebudayaan-islam
bocahsastra.wordpress.com/2012/01/06/islam-dan-kebudayaan-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar