BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Adakah pajak dalam Islam? Pertanyaan yang mungkin sering diutarakan
orang yang mengkaji beberapa disiplin ilmu yang erat hubungannya dengan Tata
Negara Islam. Seperti penghasilan Negara kita yang faktanya mencapai 78% dari
pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Tidak adanya definisi pajak dalam Undang-undang Perpajakan. Maka bisa
dipastikan semua orang mendefinisikan pajak sebagai alat kepentingan penguasa,
kembali ke pertanyaan awal, pajak dalam Islam Gusfahmi dalam bukunya, Pajak
atau Dharibah menurut Syariah adalah berbeda dengan pajak atau tax dalam
ekonomi kapitalis dan sosialis. Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya
kondisi tertentu juga dengan syarat tertentu, seprti harus adil merata dan tidak
membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan
pemerintah mencukupkan diri dari sumber sumber pendapatan yang jelas.
Lebih lanjut akan dijelaskan dalam makalah yang kami susun mengenai
Dharibah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah yang
dimaksud Dharibah?
2.
Apasajakah
macam-macam Dharibah itu?
3.
Bagaimanakah
pengguanaan pajak dalam sistem pemerintahan Islam?
C.
Tujuan Penulisan
Sejalan
dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk
mengetahui dan mendeskripsikan:
1.
Mengetahui
Definisi Dharibah;
2.
Mengetahui dan
memahami macam-macam Dharibah, dan
3.
Menegtahui
pengguanaan pajak dala sistem pemerintahan Islam.
D.
Manfaat Penulisan
Makalah
ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembang
konsep-konsep penelitian tindakan kelas. Secara praktis makalah ini diharapkan
bermanfaat bagi:
1.
Penulis,
sebagai wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang
konsep Dharibah;
2.
Pembaca,
sebagai media informasi tentang konsep Dharibah.
E.
Prosedur Penulisan
Makalah
ini disusun dengan menggunakan metode pengumpulan data secara kualitatif baik dari buku atau dari media internet.
Kemudian data tersebut sebelum disusun, diolah dan dianalisis secara relevan
sehingga menjadi satu kesatuan pembahasan teoritis dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
1.
Pengertian Dharibah
Dalam istilah bahasa
Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah, yang artinya adalah: “Pungutan
yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” Para pemungutnya disebut
Shahibul Maks atau Al-Asysyar.
Sedangkan, menurut ahli
bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal
menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.”[1]
Ketentuan-ketentuan
syar’I, baik yang tertuang di dalam Alqur’an maupun Hadits Nabi SAW, yang
mengatur pajak secara langsung memang tidak ada[2]yang ada
adalah atsar para sahabat yang berbentuk praktek penyelenggaraan Negara yang
dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin, sejak Khalifah Umar bin Khattab. Itupun
terbatas pada pajak yang wajib dibayarkan oleh warga Negara non muslim yang
menggarap tanah Negara.
Diluar kenyataan
tersebut timbul beberapa perbedaan dari kalangan ahli hukum tentang
boleh-tidaknya pajak sebagai sumber pendapatan Negara, salah satu pendapat yang
dapat dambil adalah pendapat dari M. Yusuf Qardawi “Tidak diragukan lagi bahwa
mencari hukum melalui kaidah syarat ini tidak hanya berakhir pada pembolehan
pajak semata-mata tapi menetapkan kewajiban serta memungutnya untuk
merealisasikan kepentingan umum dan Negara serta guna menolak segala yang
membahayakan kepadanya, apabila sumber-sumber lain tidak mencukupinya.”[3]
Menilik sejarah, pada
masa awal pemerintahan, pendapatan, dan pengeluaran hampir tidak ada.
Rasulullah tidak mendapatkan gaji atau upah sedikitpun dari Negara maupun
masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa makanan. Pada masa yang
sama pula tidak ada tentara formal, semua muslim yang mampu boleh menjadi
tentara. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan
mendapatkan bagian dari rampasan perang. Rampasan perang tersebut meliputi
senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya yang didapatkan dalam
perang.
2. Macam-Macam Dharibah
Adapun macam-macam
pajak yang pernah dipraktekkan dalam pemerintahan Islam, juga yang pernah dipraktekkan
Rasulullah SAW, adalah sebagai berikut:
A.
Pajak kepala (al-Jizyah)
Kata jizyah diambil
dari kata jaza’ yang artinya imbalan.[4] Jizyah adalah
pajak kepala yang dibayarkan oleh penduduk dar al-Islam yang bukan
muslim kepada pemerintah Islam. Jizyah ini dimaksudkan
sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah Islam dan konsekuensi dari
perlindungan (rasa aman) yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka.[5]
Pada masa Rasulullah,
besarnya jizyah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu
membayar, sedangkan perempuan, anak-anak, pengemis, orang tua, penderita sakit
jiwa dan semua yang menderita sakit jiwa dan semua yang menderita sakit
dibebaskan dari kewajiban ini. [6]
Menurut Hasbi
Ash-Shiddieqy mengistilahkan jizyah dengan pajak kepala yang
diwajibkan kepada semua orang non Islam laki-laki, merdeka dan sudah dewasa,
sehat dan kuat serta masih mampu bekerja.[7]
Jizyah didasarkan kepada firman Allah di dalam al-Qur’an:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا
بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا
يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا
الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Artinya : Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh
Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (QS. Al-Taubah: 29)[8]
Dalam sejarah, jizyah telah
lama dipraktekkan jauh sebelum kedatangan Islam. Dalam hubungan internasional
ketika itu, Negara-negara seperti Romawi, Persia dan Yunani, mewajibkan
penduduk Negara yang mereka taklukkan untuk membayar pajak kepada mereka.
Setelah Islam datang, Islam melakukan perubahan dengan membebaskan
penduduk yang kalah perang dari wajib militer. Bila mereka masuk militer, maka
mereka dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah.
Perubahan lain yang
dilakukan Islam dalam hal ini adalah memformat jizyah menjadi suatu
sistem sosial yang memberikan peluang bagi warga Negara non-muslim di dar
al-Islam untuk memperoleh tunjangan dari Negara. Oleh karenanya,
jizyah tidak diambil dari non-muslim yang miskin dan
anak-anak.
Besarnya
jumlah jizyah sangat relatif, tergantung pada kebijaksanaan
pemerintah. Pembayarannya pun bersifat fleksibel, tidak harus dengan dengan
uang melainkan bisa juga dibayar dengan binatang ternak dan kewajiban ini hanya
diberlaukan sekali setahun. [9]
Kharaj secara sederhana dapat diartikan sebagai pajak tanah. Pajak tanah ini
dibebankan atas tanah non-muslim dan dalam hal-hal tertentu juga dapat
dibebankan atas umat Islam. [10]
Berbeda dengan jizyah yang
ditetapkan oleh nash, kharaj ditetapkan oleh ijtihad.[11] Oleh karena itu, penanganan kharaj diserahkan
sepenuhnya kepada ijtihad imam.
Kharaj pertama kali dikenal dalam Islam setelah perang Khaibar, yaitu pada
saat Rasulullah SAW memberikan dispensasi kepada penduduk Yahudi Khaibar
untuk tetap memiliki tanah mereka, dengan syarat mereka membayar sebagian hasil
panennya kepada pemerintah Islam. Dalam sejarah Pemerintahan Islam, kharaj merupakan
sumber keuangan Negara yang dikuasai pemerintah, bukan oleh sekelompok orang.
Adapun kewajiban membayar kharaj hanya sekali satu tahu.
Jumlah kharaj yang
pernah dipraktekkan dalam Pemerintahan Islam beragam, sesuai dengan kondisi
sosial masyarakat yang wajib membayarnya dan tanah pertaniannya. Adapun
menyangkut teknis pengumpulannya kharaj biasanya dilakukan
oleh sebuah tim atau dewan yang diberi wewenang oleh pemerintah dalam
melaksanakan tugasnya. [12]
C.
‘Ushur at-Tijarah
‘Ushur at-Tijarah adalah pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang non-muslim
yang melakukan transaksi bisnis di Negara Islam. Pajak perdagangan ini tetap
diberlakukan dalam dunia internasional hingga saat sekarang.
Dalam Negara Islam,
kebijakan pemberlakuan pajak perdagangan ini dimulai pada Pemerintahan ‘Umar
ibn Khathab. Ketika wilayah kekuasaan Islam mengalami perluasan yang
pesat, sebagian kaum muslimin melakukan perdagangan internasional dengan
Negara-negara non Muslim. Dalam perdagangan tersebut, ternyata umat Islam yang
melakukan transaksi di Negara non-muslim dikenakan pajak oleh Pemerintahan yang
bersangkutan. Dari hal tersebut, akhirnya ‘Umar pun memberlakukan pajak
perdagangan bagi non-muslim warga negara asing yang melakukan transaksi
bisnis di Negara Islam. Adapun pemberlakuan pajak ini dimaksudkan untuk menambah
devisa Negara dalam rangka mengelola dan menjalankan roda Pemerintahan.
Seperti halnya jizyah,
kewajiban pajak perdagangan ini juga hanya setahun sekali. Namun berbeda
dengan jizyah, pajak perdagangan masih tetap diberlakukan dalam
masa modern ini yang tentu saja dengan penerapan yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman, contohnya dengan memberlakukan bea masuk barang-barang
impor.[13] Bea
import adalah aturan siyasah syar’iyah yang diserahkan kepada
kebijaksanaan pemerintah demi kemaslahatan umat.[14]
Sumber-sumber Pendapatan Negara pada Masa Rasulullah dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :[15]
Dari Kaum Muslim
|
Dari Kaum Non Muslim
|
Umum (Primer Sekunder)
|
·
Zakat
·
Ushr (5-10%)
·
Ushr (2,5 %)
·
Zakat Fitrah
·
Wakaf
·
Amwal Fadhilah
Nawaib
·
Sedekah lain
·
Khums
|
·
Jizyah
·
Kharaj
Ushr (5%) |
·
Ghanimah
·
Fai
·
Uang Tebusan
Pinjaman dari kaum Muslimin atau non-Muslim
·
Hadiah dari pemimpin atau pemerintahan Negara lain
|
3. Penggunaan Pajak dalam Sistem Pemerintahan Islam
Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian Islam adalah pembagian
kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Pembagian kekayaan ini dilakukan
dalam tiga tahap, pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Dalam hal
pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan, penyusunan
kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena
itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan
negara dan kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan
dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula
kekayaan milik umum seperti hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang menurut
Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi tidak berada dalam kepemilikan negara.
Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur pemanfaatannya, yang
hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, kekayaan ini tidak
jatuh dalam monopoli segelintir orang tertentu.
Distribusi dan pembagian kesempatan berproduksi di tengah masyarakat adalah
salah satu masalah inti dalam setiap sistem ekonomi. Sistem yang berdiri
di atas landasan pembagian yang benar adalah sistem ekonomi yang bisa memberi
kesempatan dan membagi kekayaan secara adil kepada seluruh anggota masyarakat.
Dengan demikian, selain mencegah penistaan hak oleh sebagian pihak, sistem ini
juga mempertahankan hak-hak generasi mendatang akan kekayaan negeri. Untuk
menegakkan keadilan pada tahap ini negara harus membuka peluang bagi kalangan
masyarakat lemah untuk bisa memperoleh fasilitas yang layak di bidang
pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan semisalnya. Dengan demikian, mereka
bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan pendapatan yang lebih besar. Allah
Swt di surat al-Hasyr ayat 7 berfirman
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ
فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ
وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya(QS Al Hasyr : 7).[16]
Ayat ini menegaskan, jangan sampai kekayaan tertumpuk dan berputar hanya di
tangan segelintir orang kaya. Dalam kebanyakan kasus, kekayaan yang hanya
dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu akan menciptakan satu kutub kekuatan
tersendiri di tengah masyarakat. Orang-orang yang memperoleh kekayaan berlimpah
lewat cara-cara yang tidak benar akan menguasai masyarakat yang miskin. Kondisi
seperti ini bertolak belakang dengan ajaran Islam. Karena itu, dalam sistem
pemerintahan Islam, negara harus turun tangan dengan membuka pintu bagi
masyarakat untuk bisa terlibat dalam proses produksi.
Kewenangan negara di bidang ekonomi berguna untuk mengatur aktivitas
ekonomi di sektor swasta. Untuk mewujudkan keadilan, negara melakukan tiga hal,
membuat undang-undang, serta bertindak dalam kapasitas pelaksana dan
pengawasan. Islam tidak mengizinkan perolehan kekayaan dengan segala cara.
Terkait pemerataan pendapatan, negara menerapkan aturan yang mengatur
berdasarkan kelayakan. Negara memegang tugas dalam hal pemberian gaji secara
adil, pengawasan terhadap pendapatan dari aktivitas ekonomi dan pencegahan
terhadap aktivitas ekonomi yang merusak yang bisa mendatangkan kekayaan
berlimpah yang tidak masuk akal.
Sistem perpajakan dalam Islam memiliki peran penting dalam hal ini. Secara
umum, ada dua macam pajak yang diatur oleh sistem ekonomi Islam.[17]
1) Pajak dalam bentuk khumus dan zakat
Khumus adalah kewajiban yang mesti dibayarkan sebesar 20 persen dari hasil
usaha selama satu tahun, pertambangan, ghanimah perang, dan penemuan harta
karun. Sedangkan zakat adalah kewajiban yang harus dibayarkan dari beberapa
item kekayaan seperti emas, perak, ternak, gandum dan lainnya yang sudah diatur
dalam ketentuan fikih. Khumus dan zakat ibarat pajak harta yang harus dibayar
oleh setiap muslim. Dengan membayarnya, orang yang memiliki kelebihan harta
bisa menyantuni kelompok masyarakat yang kurang mampu. Hal itu juga menjadi
salah satu cara untuk mencegah terkumpulnya harta di tangan segelintir orang.
2) Pajak yang kebijakannya ditentukan oleh pemerintahan Islam sesuai dengan
situasi dan kondisi.
Jenis pajak kedua yang ditetapkan dalam Islam adalah
pajak yang ditentukan oleh pemerintahan Islam. Negara memerlukan pendanaan
untuk membiayai sektor investasi, manajemen dan membangun sistem ekonomi yang
sehat. Sementara, dana yang didapat dari zakat dan khumus tidak mencukupi.
Pajak ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan dana bagi negara. Suntikan dana ini
berarti distribusi kekayaan dan pendapatan di tengah masyarakat dengan cara
yang lebih adil yang diawasi dan dikelola oleh negara.
Syarat-syarat Pajak dimana sistem pajak yang di akui dalam sejarah Islam
dibenarkan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Tidak ada sumber pendapatan lain.
2.
Pembagian beban pajak yang adil
3.
Di pergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat.
4.
Persetujuan para ahli dan cendekia
Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan Negara yang merupakan wewenang
penuh pemerintah dalam pengeluaran dan pendistribusiannya. Adapun prinsip
penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah bahwa pengelolaan
tersebut harus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan Negara.
Diantara pos-pos pengeluaran Negara yang terpenting adalah:
a.
Memberantas kemiskinan
Tugas pemerintah Islam adalah memberantas kemiskinan dalam masyarakat dan
memenuhi kebutuhan pokok hidup mereka melalui belanja Negara.
b.
Pertahanan Negara
Pemerintah harus mengalokasikan belanja Negara untuk kepentingan pertahanan
dan keamanan Negara yang secara khusus berada dalam tanggung jawab militer,
karena salah satu ciri Negara yang kuat adalah kuatnya sektor militer dan
tingginya tingkat komitmen mereka dalam pertahanan dan keamanan Negara.
c.
Pembangunan hukum
Pembangunan hukum merupakan hal yang penting dalam menata kehidupan dan
ketertiban suatu Negara, sehingga tidak tegaknya hukum dalam sebuah Negara
mengakibatkan kehancuran dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Oleh sebab
itu, Pemerintah harus mengalokasikan belanja Negara untuk pembanguan hukum.
d.
Pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial
Pengeluaraan Negara dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan
fasilitas sosial guna untuk mendukung pertumbuhan dan perkebangan ekonomi
masyarakat yang makmur.
e.
Pendidikan
Pemerintah sepatutnya memberikan perhatian yang lebih besar pada sektor
pendidikan, karena pendidikan merupakan hal penting dan syarat mutlak bagi
peningkatan SDM. Adapun wujud perhatian tersebut dapat dilihat dari berapa
besar dana belanja Negara untuk kepentingan sektor ini.[18]
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pajak adalah : “ Suatu
pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa
untuk kepentingan umum.”
Macam-macam yang pernah
dipraktekkan pada Pemerintahan Islam, berupa
1.
Jizyah (pajak perlindungan),
2.
Kharaz (pajak tanah), dan
3.
‘Ushur al tijarah (pajak perdagangan).
Adapun penggunaan pajak
ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan Negara. Diantara
pos-pos pengeluaran Negara yang terpenting adalah: memberantas kemiskinan,
pertahanan Negara, pembangunan hukum, pembangunan infrastruktur dan fasilitas
sosial, dan pendidikan.
2. Saran
Agar pembaca tidak hanya mendapatkan
pengetahuan mengenai Dharibah ini tidak hanya dalam makalah ini saja, melainkan
membaca dari sumber-sumber buku yang lainnya. Agar dapat dijadikan tambahan
wawasan dan pembanding.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Imam,
Terjemah Al-Ahkam As-Sulthaniyyah(Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara
dalam Syariat Islam), Jakarta: Darul Falah, 2007
Azwar, Adiwarman Karim,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : The International Institute of
Islamic Thought, Cet II), 2002
Azwar, Adiwarman Karim,
Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet III), 2004
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putra, tt
Djazuli, Ahmad, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam
Rambu-rambu Syariah, Bogor: Kencana, Cet I, 2003
Iqbal, Muhammad, Fiqh
Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001
Abu Ibrahim Muhammad
Ali “Pajak dalam Islam” dalam http://www.almanhaj.or.id/content/2437/slash/0 diakses
pada 17 Mei 2012
Dalam “Sistem
Ekonomi Islam dan Keadilan (Bagian Ketiga)” http://indonesian.irib.ir/equilibrium/-/asset_publisher/yB7o/content/sistem-ekonomi-islam-dan-keadilan-bagian-ketiga diakses pada 8 April 2012
[1] Abu Ibrahim Muhammad
Ali “Pajak dalam Islam” dalam http://www.almanhaj.or.id/content/2437/slash/0 diakses
pada 17 Mei 2012
[2] Abdul Qadin Djaelani,
Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya : PT. BIna Ilmu. 2005), 410
[3] Ibid, 410
[4]
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah, yang diterjemahkan oleh Fadli Bahri dengan
judul Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, (Jakarta:
Darul Falah, 2007), 261
[6]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT, Cet II), 31
[7] H. A. Djazuli, Fiqh
Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, (Bogor:
Kencana, 2003), 359
[8] http://quran.ittelkom.ac.id/?sid=59&aid=7&pid=arabicid
[9]
Muhammad Iqbal, Fiqh
Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
2001), 279-280
[11] H. A. Djazuli, Fiqh
Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, (Bogor:
Kencana, Cet I, 2003), 356-357
[15] Adiwarman Azwar Karim,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet III),
48
[16]
Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, TT),
916
[17] Dalam “Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan (Bagian Ketiga)” http://indonesian.irib.ir/equilibrium/-/asset_publisher/yB7o/content/sistem-ekonomi-islam-dan-keadilan-bagian-ketiga diakses pada 8 April
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar